Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 72 Bertemu dengan Ayah Lagi
Mungkin sekitar 15 menit kami hanya saling berdiam diri di ruang tamu rumahku. Gisel terlihat sedang memainkan jari-jari kakinya yang kecil dengan kepala menunduk. Kenji terlihat sibuk dengan menulis sesuatu di buku catatannya, entah apa yang sedang ia catat. Paman masih menelepon seseorang di luar sana, kemungkinan besar menghubungi rekan kerjanya. Laki-laki itu, atau ayahku, hanya duduk terdiam dengan tatapan kosong seolah rohnya sedang berada di alam lain. Aku sendiri dari tadi melipat tangan di depan dada sambil memperhatikan mereka semua satu persatu tanpa tertarik untuk memecah kesunyian.
Pada akhirnya paman kembali masuk ke dalam rumah dengan mimik wajah yang berusaha dibuat seceria mungkin. Ia cukup lihai untuk berusaha tersenyum dalam keadaan sesulit apapun, membuatku teringat kepada Rika.
“Maaf ya Leon, ada telepon penting tadi jadi agak lama teleponnya. Tapi sekarang sudah selesai kok.”
“Iya paman,” jawabku singkat.
“Mungkin kita bisa mulai ya, om?” tanya Kenji sembari menutup buku catatannya dan meletakkannya di atas pangkuannya.
“Iya iya, silakan. Paman tahu, pasti kalian punya banyak pertanyaan buat kami. Mungkin paman juga tidak bisa banyak membantu, tapi ayah Leon dan Gisel pasti bisa menjawab semua pertanyaan kalian.
Mendengar paman mengatakan ayah Leon dan Gisel, darah di dalam nadiku seolah-olah naik ke bagian kepala secara tiba-tiba. Aku mencengkeram lenganku keras-keras agar tidak lepas kendali. Gisel menyadari hal ini dan memutuskan untuk meletakkan tangannya di lenganku. Entah bagaimana, hal tersebut berhasil menyurutkan emosiku.
“Sebelumnya perlu kamu ketahui Le, ketika di hari itu kamu masuk ke kamar, sebenarnya paman dan ayahmu tidak ingin pulang. Namun setelah kami diskusikan, ada sebaiknya mereka pulang terlebih dahulu dengan aku dan Gisel yang akan menjagamu,” ujar Kenji dengan mimik wajah meneduhkan seperti biasa. Nampaknya ia ingin menyingkirkan pikiran negatif kalau aku tidak dipedulikan oleh keluargaku sendiri.
“Iya Kenji, aku paham.”
“Dengar Leon, meskipun kamu bukan anak kandung dari kakakku, kamu sudah paman anggap sebagai anak sendiri. Kenyataan itu enggak akan berubah dari dulu sampai detik ini,” paman mulai buka suara.
“Lantas mengapa paman menyembunyikan kenyataan ini sebegitu lamanya?” tanyaku dengan nada yang sangat ketus. Sangat susah untuk mengendalikan emosi yang telah bergejolak dari tadi.
“Karena paman belum menemukan waktu yang tepat untuk memberitahumu. Setelah, setelah ibumu meninggal dan ayahmu pergi, paman benar-benar bingung harus berbuat seperti apa. Paman mau mengajak kalian tinggal bersama di Surabaya, tapi..,”
“Tapi Bondan sama sekali tak berkenan dengan kehadiran kami, aku tahu,” aku menuntaskan kalimat Paman yang menggantung. Lenganku mulai terasa sakit akibat cengkeraman tanganku sendiri.
“Iya, maafkan paman untuk Leon. Kamu baru saja lulus SD, harus tinggal seorang diri bersama Gisel dan pembantu. Bahkan selepas SMP kamu harus ditinggal oleh pembantu.”
“Oh, jadi paman tahu tentang dia?”
“Tentu Leon. Dulu Paman ingin membayarnya setiap bulan, namun ia menolaknya. Paman sempat bingung ketika ia memutuskan untuk berhenti, tapi nampaknya kalian bisa menjaga diri baik-baik.”
“Kalau bukan karena kesabaran Gisel, mungkin aku tidak bisa berada di titik ini paman.”
Ketika aku mengucapkan kalimat tersebut, Gisel secara otomatis menggamit lenganku dan menyandarkan kepalanya. Air matanya sudah tumpah dari tadi. Sekuat apapun Gisel, ia hanyalah seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun.
“Iya, paman mengerti itu. Paman menyesal karena tidak bisa memberikan perhatian secukupnya ke kalian. Paman minta maaf.”
Paman mengusap matanya yang mulai berair, nampak benar penyesalannya. Melihat situasi ini, emosiku pun perlahan-lahan lenyap.
“Enggak usah dipikirkan paman. Semua yang sudah berlalu biarlah berlalu. Setidaknya, aku banyak belajar dari kejadian beberapa tahun terakhir ini. Semua pengalaman itu aku yakin akan membantuku di masa depan,” kataku berusaha meredakan rasa bersalah Paman.
“Terima kasih, nak.”
Aku menyunggingkan senyum untuk paman, namun mataku melirik ke arah laki-laki yang duduk di sebelahnya. Tatapan bahkan posisi duduknya tidak berubah dari tadi. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
“Kau,” panggilku tanpa sopan santun memanggil ayahku. Nampaknya ia merasa panggilan itu untuk dirinya sehingga ia menolehkan kepalanya ke arahku.
“Sebaiknya kau jawab pertanyaan-pertanyaanku dengan benar. Hanya untuk itulah keberadaanmu dibutuhkan di sini,” aku menyadari ucapanku sudah kelewat batas. Sayangnya, aku tak bisa menahan lidah ini untuk bisa berucap lebih sopan. Baik paman maupun Kenji nampaknya tidak ada yang ingin menegur kekurangajaranku.
“Iya Leon, ayah akan jawab semampu ayah,” ia akhirnya bersuara. Dengan satu tarikan napas panjang, aku pun mengeluarkan foto yang berisikan tujuh orang itu.
“Pertama-tama, aku butuh tahu siapa saja orang yang ada di dalam foto ini. Apakah di antara mereka masih ada yang hidup?”
Ayah mengambil foto itu dan memperhatikannya dengan saksama. Ia nampak mengingat-ingat siapa saja yang ada di dalam foto itu.
“Kemarin ayah sudah memberitahu kalau dua orang ini,” katanya sambil menunjuk ayah dan ibu kandungku,” adalah orangtua kandungmu. Yang ini adalah ibu angkatmu dan ini adalah ibu Kenji. Ayah tak bisa mengingat dua orang ini, tapi yang berambut keriting panjang ini bernama Awan.”
“Apakah dia masih hidup? Kalau iya di mana ia sekarang?”
“Entahlah, ayah tak pernah tahu. Kabarnya, ia juga termasuk salah satu aktivis yang hilang, entah ia masih hidup atau tidak.”
Aku merasa kecewa dengan jawaban ini. Aku berharap jawaban yang lebih banyak dari ini. Seandainya salah satu dari mereka masih hidup, aku akan mendapatkan banyak sekali informasi berharga mengenai misteri ini.
“Ada hal lain dari foto ini yang bisa kau sebutkan? Fakta apapun, sekecil apapun.”
Ayah kembali tenggelam dan fokus memperhatikan foto tersebut. Ia terlihat benar-benar berpikir keras agar jawabannya tidak mengecewakan.
“Kalau tidak salah, foto ini diambil hanya beberapa bulan sebelum, sebelum..,” ayah menggantung kalimatnya.
“Sebelum apa?” desakku karena tidak suka dengan kalimat yang tidak tuntas.
Ayah melirik ke arah Kenji dan berkata, “…sebelum Kenji lahir, atau sebelum ibunya meninggal. Mungkin sekitar tahun 1993 atau 1994. Mereka semua sudah lulus kuliah dan semakin getol menjadi seorang aktivis. Foto ini diambil sebagai permintaan dari ibunda Kenji, namun meminta ibumu untuk menyimpannya. Ayah ingat karena ayahlah yang mengambil foto ini.”
Kenji terlihat tetap tenang ketika mendengarkan fakta ini, namun aku yakin ada kesedihan yang menghampiri relung hatinya. Mau bagaimanapun, ia tak pernah melihat sosok ibunya seumur hidup kecuali dari sebuah foto.
“Ah, mungkin karena itulah ibu menuliskan kalimat itu di belakang fotonya sendiri,” kata Kenji sembari menoleh ke arahku. Aku menangkap adanya kegetiran di matanya, meskipun berusaha ia tutupi dengan senyuman di wajahnya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa di posisi ini.
“Iya Kenji,” hanya itu yang bisa aku ucapkan.
“Maaf Leon, nampaknya tidak ada informasi lagi yang bisa ayah berikan terkait foto ini. Kejadiannya sudah berlangsung lama sekali,” ayah meletakkan foto itu di atas meja.
“Sebenarnya, apa yang mereka inginkan? Siapa yang mereka usik hingga ada pihak-pihak yang mengincar nyawa mereka?” aku melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama menggantung di benakku.
“Karena ayah termasuk apatis dan ibumu jarang bercerita, tidak banyak hal yang bisa ayah beritahu. Seingat ayah, salah satu kasus yang diusut paling kencang adalah masalah penggusuran warga secara paksa dan melanggar hukum. Tanah yang digusur akhirnya jadi pusat perbelanjaan modern kalau tidak salah, lokasinya di kota. Kasus itu sudah banyak dilupakan oleh orang. Masih banyak kasus-kasus serupa yang tidak bisa ayah ingat.”
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Kenji dari tadi mencatat fakta-fakta yang diucapkan oleh ayah. Aku sama sekali tidak berpikir untuk mencatat kata-kata ayah karena merasa memiliki daya ingat yang cukup kuat. Kenji seharusnya lebih pengingat daripada aku, namun ia tetap menuliskan kata-kata ayah. Aku benar salut dengan kawanku yang satu ini.
“Seperti yang sudah ayah singgung pada pertemuan terakhir, pengusaha yang menginisiasi penggusuran tersebut merupakan rekanan rezim Orde Baru. Tempat ayah bekerja dulu juga merupakan salah satu perusahaan yang ia miliki.”
“Siapa nama pengusaha itu?” tanyaku dengan sedikit mendesak, mengingat fakta ini bisa menjadi sangat berarti.
“Namanya Wijaya Hardikusumo. Bisa dibilang dulu ia yang mengusai daerah tempat kita tinggal, meskipun kini namanya sudah jarang terdengar. Ketika reformasi pecah, usahanya banyak yang berjatuhan walaupun tak sampai membuat ia bangkrut. Bahkan ayah tak tahu apakah ia masih hidup sampai sekarang. Seandainya masih hidup, ia pasti sudah cukup tua.”
Wijaya Hardikusumo. Nama itu akan aku ingat baik-baik. Aku harap ia masih hidup, sehingga aku bisa balas dendam atas semua penderitaan yang selama ini telah aku derita.
“Banyak pelanggaran hukum yang ia lakukan, dan itu membuat para aktivis berusaha melawannya. Hasilnya, mereka satu persatu menghilang bahkan tewas.”
“Dan kau hanya bersembunyi karena merasa ketakutan. Benar-benar cocok dengan sifatmu,” aku tak tahan untuk mengolok-olok ayah ketika melihat ada kesempatan. Ia terdiam, sama sekali tidak merespon apapun atas ejekanku. Justru Gisel yang mencubit pelan lenganku untuk memberi peringatan. Baiklah, aku akui tadi sedikit keterlaluan.
“Tentang orangtua kandungku, apakah ada yang kau ketahui? Apakah aku masih punya sanak keluarga yang masih hidup?” tanyaku lagi.
“Ayah tidak pernah tahu Leon, ibumu yang lebih tahu. Ayah tidak pernah dekat dengan mereka berdua.”
Di dalam hati, aku merutuk ketidaktahuan ayahku. Kalau bukan dari dia, harus dari siapa lagi aku mendapatkan informasi mengenai keluarga kandungku?
“Rasanya hanya itu yang ayah ketahui Leon. Ayah tidak tahu banyak tentang orangtua kandungmu, jadi tidak ada yang bisa ayah ceritakan. Yang jelas, mereka berdua sama-sama orang baik, tidak seperti ayah.”
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Begitu banyak fakta baru yang perlu dicerna di dalam otakku, namun sama sekali tidak menguak apa yang ingin aku ketahui. Aku tidak tahu apakah para aktivis itu masih ada yang hidup, kasusnya sudah lama berlalu sehingga fakta pendukungnya akan sulit dicari. Aku mendapatkan nama dalang di balik semua ini, tapi aku bahkan tidak tahu apakah orang itu masih hidup. Sebenarnya, apa yang sedang aku kejar? Apa yang aku inginkan dengan sering melamunkan masalah ini? Apa yang sebenarnya aku harapkan?
“Kelulusan tinggal beberapa bulan lagi, kan?” paman tiba-tiba memecah keheningan.
“Iya paman, bulan April nanti Ujian Nasionalnya,” Kenji menjawab pertanyaan paman.
“Kalian daftar jalur undangan?”
“Sepertinya begitu paman, pihak sekolah yang akan mendaftarkan. Kami dan teman-teman kelas sudah sering mendiskusikannya.”
Aku menoleh ke arah Kenji. Kapan kami membicarakan masalah di mana kami akan melanjutkan studi? Aku tidak merasa pernah terlibat dalam percakapan seperti itu. Kenji melihat gelagat keherananku, sehingga ia meneruskan kalimatnya.
“Leon ingin masuk jurusan kedokteran paman. Kemungkinan besar, ia akan bisa diterima karena nilai rapotnya yang tinggi dan stabil. Kalau saya sih menyarankannya untuk kuliah di Universitas Indonesia, Leon lebih dari layak untuk masuk ke sana.”
Aku semakin memandangi Kenji dengan tatapan keheranan. Memang aku pernah bilang ingin menjadi seorang dokter, tapi belum pernah membicarakannya lagi akhir-akhir ini.
“Paman juga mendukung. Nanti urusan biaya, semua paman yang akan menanggung. Kamu jangan khawatir. Omong-omong, kalau Kenji rencananya ingin kuliah di jurusan apa?”
Kenji tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Ia hanya tersenyum dan berkata pelan.
“Rasanya saya tidak akan kuliah paman.”