Sosial Budaya

Corat-Coret Seragam Setelah Hardiknas

Published

on

Hingga kini, penulis masih belum dapat menemukan arti dari tradisi kelulusan yang dilakukan oleh pelajar: Corat-coret Seragam. Ketika penulis lulus pun sama sekali tidak ada ketertarikan untuk melakukannya. Biarlah penulis dianggap culun, melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas bukan gaya penulis.

Ada yang menganggap itu merupakan ekspresi kebebasan mereka setelah menjalani masa-masa sekolah selama 12 tahun (atau lebih, bagi yang pernah tinggal kelas). Hubungan antara kebebasan dan corat-coret apa? Bebas mencorat-coret di seragam maksudnya?

Ada yang menganggap itu merupakan aspirasi pelajar setelah ujian yang begitu menyita waktu dan tenaga. Penulis pun tidak sepakat dengan sistem kelulusan yang dimiliki oleh kita, akan tetapi bagaimana aspirasi tersampaikan jika bentuknya corat-coret?

Emangnya kenapa? Toh enggak ada salahnya.

Salah atau tidak kalau kita melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya? Coba sebutkan satu saja manfaat corat-coret seragam.

Jadi kenang-kenangan masa SMA yang warna-warni.

Kenapa kenang-kenangannya berupa seragam yang dicoret-coret? Kenapa bukan berupa sumbangan seragam kita kepada anak-anak yang membutuhkan? Ambil foto waktu menyerahkan, jadi kenang-kenangan deh.

Satu Hari Setelah Hardiknas

Pengumuman kelulusan tahun ini tepat satu hari setelah hari pendidikan nasional (hardiknas). Entah ini hardiknas yang ke berapa, yang jelas corat-coret seragam perlu kita masukkan ke dalam renungan.

Seandainya Ki Hadjar Dewantara masih hidup, bagaimana ekspresi beliau melihat siswa-siswa yang dulu ia perjuangkan agar mendapatkan pendidikan mencorat-coret seragam yang selama ini telah menemani mereka belajar? Sedihkah, atau malah justru senang melihat euforia mereka?

Selain itu, setelah meninggalkan bangku sekolah, justru mereka akan memasuki dunia yang benar-benar baru, dunia yang terkadang membuat kita berpikir bahwa fisika maupun kimia yang telah dipelajari tidak akan berguna. Mereka akan menghadapi kenyataan sebagai orang dewasa, bukan lagi anak-anak yang digandeng orang tuanya.

Lantas, bukankah kelulusan sekolah seharusnya tidak dirayakan? Justru, kita harus banyak berusaha dan berdoa agar dapat bertahan di antara kerasnya persaingan hidup. Sehingga, alangkah lebih baik jika kelulusan diwarnai dengan kegiatan doa bersama, memohon kemudahan untuk menghadapi apa yang merintang di depan.

 

 

Jelambar, 11 Mei 2018, terinspirasi setelah jalan-jalan di dalam kampus IPB

Sumber Foto: http://ranahkehidupanku.blogspot.co.id/2016/04/tradisi-corat-coret-seragam-selepas-uan.html

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version