Sosial Budaya

Minta Gaji 8 Juta

Published

on

Beberapa hari terakhir, media sosial riuh oleh sebuah story di Instagram mengenai mahasiswa fresh graduate yang mengeluh karena hanya ditawari gaji 8 juta rupiah oleh salah satu perusahaan lokal.

Alasan dikeluarkannya keluhan tersebut adalah ia merasa sebagai lulusan salah satu kampus terbesar di negara ini, ia layak mendapatkan gaji yang lebih tinggi, meskipun ia baru saja lulus.

Akunnya sendiri sampai saat ini belum diketahui milik siapa. Potongan story tersebut hanya diunggah oleh seseorang dengan menyensor namanya. Mungkin, yang bersangkutan ingin melindungi pemilik akun dari serangan netizen.

Bahkan, teman penulis di kantor sampai berteori bahwa sebenarnya tidak ada pemilik akun Instagram tersebut. Postingan tersebut dibuat sendiri oleh yang menyebarkan agar viral. Mungkinkah? Entahlah, bisa jadi.

Reaksi Para Netizen

Netizen pun cepat bereaksi atas kejadian ini. Ada yang marah, ada yang emosi, ada yang langsung membandingkan dengan gaji pertamanya, ada yang buat thread, macam-macam.

Reaksi seperti ini sudah penulis duga sebelumnya, sama seperti kasus Bibit Unggul yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Bedanya, waktu itu yang bersangkutan diketahui identitasnya.

Melihat kesombongan seseorang tentu membuat kita jengah dan jengkel. Pertanyaannya, apakah kita tidak pernah melakukan kesalahan yang sama?

Seperti yang pernah penulis tuliskan pada tulisan Dosa Terbesar Seorang Penjahat, kita cenderung merasa “suci” ketika melihat orang lain berbuat buruk.

Bahasa yang digunakan oleh orang tersebut memang terkesan angkuh, sombong, congkak, dan lain sebagainya. Akan tetapi, itu tidak berarti kita boleh merasa lebih baik darinya. Mungkin saja kita juga pernah sombong, hanya saja tidak sampai viral.

Gaji Pertama

Jika ingin berbaik sangka, mungkin yang bersangkutan merasa dirinya memiliki kemampuan mumpuni yang bisa diberikan kepada perusahaan. Tawaran gaji 8 juta dianggap merendahkan dirinya sehingga terbitlah story tersebut.

Beberapa netizen berkata bahwa kata-kata di story tersebut menunjukkan yang bersangkutan tidak bisa bersyukur. Lantas, beberapa netizen memberitahu nominal gaji pertama mereka sembari mensyukurinya.

Ketika mendapatkan kerja kantoran pertama, nominal yang ditawarkan penulis jauh di bawah angka 8 juta. Penulis sadar diri sebagai orang yang tidak terlalu berpengalaman.

Penulis selalu ingat petuah dari ayah, yang mengatakan jangan bekerja demi uang. Uang memang penting, tapi bukan menjadi tujuan. Uang hanyalah sarana dalam meraih tujuan yang sebenarnya.

Oleh karena itu, sewaktu menuliskan permintaan gaji, penulis menuliskano nominal yang tidak seberapa. Setidaknya, di atas Upah Minimum Kerja (UMR). Ternyata, penulis malah ditawari sedikit lebih tinggi, ya alhamdulillah.

Petuah lain yang diberikan ayah penulis adalah bekerja dengan niat lillahi ta’ala, berikan yang terbaik, berikan nilai tambah, nanti jumlah gaji akan mengikuti. Penulis berusaha betul melaksanakan nasihat tersebut, sehingga insyaallah jarang memusingkan masalah gaji.

Tapi kalau diberi kenaikan gaji, ya diterima dan mengucap syukur alhamdulillah.

Gaya Hidup yang Melebihi Gaji

Salah satu komentar yang menarik perhatian penulis adalah mengenai gaya hidup. Ada netizen yang berkomentar gaya hidup orang yang membuat story tersebut cukup hedon, sehingga gaji 8 juta tidak akan bisa memenuhi kehidupannya.

Bahkan Sujiwo Tedjo menuliskan cuitan tentang gaji sebesar apapun enggak akan pernah cukup karena akan melahirkan kebutuhan baru. Salah satunya ya gaya hidup ini.

Penulis merasakan betul tentang gaya hidup ini. Jika kita tidak bisa mengendalikan hasrat kita dan loyal menghamburkan uang, gaji berapa pun tak akan cukup. Percuma gaji naik jika gaya hidup juga ikut naik.

Godaan di ibukota terbilang cukup besar. Mau beli apa saja bisa tersedia dengan mudah. Malas keluar, bisa beli lewat daring. Sebagai Apalagi, gedung kantor penulis jadi satu dengan mal.

Penulis tidak merasa telah pandai mengendalikan gaya hidup. Justru dengan tulisan ini, penulis berharap ke depannya bisa lebih bijak dalam mengelola gaji yang diterima setiap bulan.

Penutup

Setiap ada kejadian yang viral, penulis berusaha memahaminya hanya dari satu sudut pandang. Penulis berusaha untuk melihatnya dari banyak sisi dengan harapan bisa menemukan pelajaran yang bisa dipetik.

Begitu pula dari kasus gaji 8 juta ini. Ada begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik, sehingga sayang jika hanya dijadikan sebagai wadah untuk mengeluarkan kata-kata hujatan yang belum tentu bermanfaat.

Semoga saja dengan kejadian ini, kita bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi, yang lebih mudah bersyukur daripada mengeluh.

 

 

Kebayoran Lama, 25 Juli 2019, terinspirasi dengan ramainya kasus gaji 8 juta

Foto: Alexander Mils

Fanandi's Choice

Exit mobile version