Politik & Negara

Menyorot Kebijakan Pemerintah yang Makin ke Sini Makin ke Sana

Published

on

Belakangan ini ketika sedang membaca berita, Penulis sering geleng-geleng kepala sendiri. Pasalnya, entah mengapa belakangan ini ada banyak kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkesan semakin memberatkan rakyat, yang hidupnya sudah makin berat.

Mulai dari pengumuman naiknya Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hingga yang terbaru mengenai wacana pemotongan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), bisa dibilang semua tidak pro-rakyat. Makin ke sini kok rasanya makin ke sana.

Pada tulisan kali ini, Penulis akan sedikit menyorot tentang kebijakan-kebijakan tersebut dan memberikan opininya. Selain itu, Penulis juga akan membahas mengenai nasib masyarakat menengah yang terkesan semakin tergencet dengan kebijakan-kebijakan tersebut.

Kebijakan-Kebijakan yang Bikin Rakyat Menghela Napas Panjang

Protes Kenaikan UKT (VOI)

Dalam beberapa bulan di tahun 2024 ini, sudah ada banyak kebijakan yang membuat rakyat menghela napas panjang. Suara-suara keberatan terus bermunculan di media sosial. Kekhawatiran dan ketakutan telah menjadi makanan sehari-hari.

Penulis akan memulainya dari rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada awal tahun 2025 mendatang. Padahal, kenaikan dari 10% ke 11% saja baru terjadi pada bulan April tahun 2022. Hanya dalam tiga tahun, sudah terjadi kenaikan lagi.

RUU Penyiaran yang sedang digodok oleh DPR pun menimbulkan gelombang protes dari insan pers. Poin yang paling disorot adalah adanya larangan untuk melakukan jurnalistik investigasi, yang berpotensi untuk membungkam pers.

Lalu yang juga sempat ramai beberapa waktu lalu adalah naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara ugal-ugalan. Meskipun kenaikan tahun ini sudah dibatalkan oleh pemerintah, kemungkinan besar kenaikan akan tetap terjadi tahun depan.

Tingginya biaya berkuliah jelas menjadi hal yang mengerikan bagi banyak anak muda, apalagi mengingat kebanyakan lowongan pekerjaan mewajibkan minimal gelar S1. Penulis akan membahas hal ini lebih mendalam melalui tulisan lain.

Namun, menurut Penulis, puncak dari semua kebijakan-kebijakan di atas adalah wacana mewajibkan pekerja untuk ikut Tapera. Jumlah yang dipotong lumayan, yakni sebanyak 3% dari gaji (0,5% dari perusahaan, 2,5% dari pribadi). Penulis akan membahasnya secara khusus di bawah ini.

Tapera: Tambahan Penderitaan Rakyat

Dipelesetkan Menjadi Tambahan Penderitaan Rakyat (NU Online)

Wacana pemotongan gaji sebesar 3% jelas terasa memberatkan, mengingat hingga saat ini potongan gaji sudah cukup banyak, mulai dari PP 21, BPJS Ketenagakerjaan (ada Jaminan Hari Tua, Kecelakaan Kerja, Kematian, Pensiun), dan BPJS Kesehatan.

Apalagi, jumlah potongan 3% tersebut dirasa terlalu kecil untuk bisa digunakan membeli rumah. Anggap gaji 10 juta, maka 3%-nya adalah 300 ribu setiap bulan. Dalam satu tahun, maka akan terkumpul 3,6 juta. Dalam 50 tahun, maka akan terkumpul 180 juta.

Pertanyaannya, rumah apa yang bisa dibeli dengan harga 180 juta di tahun 2074? Mau tidak mau, Penulis jadi teringat akun interior di media sosial yang kerap memberikan solusi ngawur untuk ukuran tempat tinggal yang sangat kecil.

Lebih parahnya lagi, setidaknya sampai tulisan ini dibuat, yang bisa mengambil rumah dari Tapera ini maksimal bergaji 8 juta (10 juta di Papua). Artinya, orang yang gajinya di atas 8 juta hanya ikut nyumbang tanpa bisa menikmati benefitnya.

Mungkin maksudnya adalah subsidi silang, di mana yang gajinya di atas 8 juta “dipaksa” membantu mereka yang gajinya belum sampai 8 juta. Akan tetapi, kebijakan ini jelas terasa tidak adik bagi kelas menengah. Dikira kelas menengah enggak butuh uang buat beli rumah?

Jelas saja wacana ini menuai protes dari mana-mana, termasuk pengusaha dan karyawan. Potongan ini kian mencekik, bahkan tidak bisa dinikmati oleh pesertanya. Pemerintah seolah sedang memalak rakyatnya dengan memolesnya sebagai Tapera.

Masyarakat semakin parno apabila mengingat berbagai kasus korupsi dari lembaga yang menghimpun dana rakyat. Kasus Asabri, Taspen, hingga BPJS Kesehatan menjadi bukti nyata kalau dana yang dihimpun dari rakyat tidak dikelola secara amanah.

Biasanya, setelah viral dan ramai dibicarakan seperti ini, keputusan yang telah diwacanakan akan dibatalkan, atau minimal dikaji ulang. Semoga saja itu juga terjadi pada kasus Tapera ini. Kasihan kelas menengah, jadi semakin terjepit dan terabaikan.

Kelas Menengah yang Semakin Terjepit dan Terabaikan

Kelas Masyarakat yang Disuruh Berjuang Sendirian (Inc. Magazine)

Salah satu kubu di pemilihan presiden kemarin memasukkan program kerja yang ingin lebih memperhatikan kelas menengah, yang selama ini terkesan disuruh berjuang sendirian. Kelas bawah dapat subsidi, kelas atas dapat insentif, kelas menengah dapat hikmahnya saja.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belakangan ini, terutama Tapera yang menimbulkan polemik, seolah semakin menegaskan kalau kelas menengah itu adalah kelas yang paling tidak diperhatikan oleh negara.

Mereka tidak cukup miskin untuk mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah, tapi tidak cukup kaya untuk bisa hidup dengan tenang. Desakan ekonomi dari berbagai sektor tidak sebanding dengan kenaikan gaji yang didapatkan.

Kelas menengah seolah dipaksa untuk hidup mandiri dan dianggap bisa bertahan hidup sendirian oleh pemerintah. Padahal, kenyataannya kelas menengah juga memiliki kesulitan-kesulitannya sendiri, dan seringnya negara tidak hadir untuk membantu karena alasan di atas.

Jika bukan negara, lantas siapa yang akan melindungi kelas menengah ini? Apakah kelas menengah memang harus terus berjuang sendirian di tengah banyaknya himpitan masalah?Apakah kelas menengah begitu tidak pentingnya di mata negara?

Penutup

Dalam membuat kebijakan, pastinya pemerintah telah melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu. Hanya saja, kita tidak pernah tahu sampai seberapa besar pertimbangan tersebut memprioritaskan rakyat.

Jika melihat trennya belakangan ini, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terasa memberatkan rakyat, sehingga menimbulkan gelombang protes di mana-mana. Rakyat seolah menjadi sapi peras untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

Sedihnya, 58% masyarakat memiliki keberlanjutan untuk lima tahun ke depan. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian secara blak-blakan menyebutkan kalau kenaikan PPN 12% terjadi karena masyarakat memilih keberlanjutan.

Semoga saja, bukan penderitaan rakyat yang berlanjut.


Lawang, 29 Mei 2024, terinspirasi setelah merasa kebijakan pemerintah akhir-akhir ini semakin memberatkan rakyat

Foto Featured Image:

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version