Sosial Budaya
Pro dan Kontra Boikot Produk (Pendukung) Israel
Semenjak serangan Hamas yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2023 silam, tensi dunia terhadap konflik yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel pun meninggi. Banyaknya korban yang berjatuhan membuat aksi protes terjadi di mana-mana.
Salah satu gerakan yang paling masif dilakukan adalah BDS Movement, yang merupakan singkatan dari Boycott, Divestment, Sanction. Ini sudah terjadi di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia sendiri yang merupakan negara dengan penduduk muslim terbanyak.
Namun, boikot yang dilakukan terhadap produk-produk pendukung Israel menuai pro dan kontra. Ada yang menganggap ini sebagai bentuk keberpihakan, ada yang menganggap ini tidak berpengaruh dan hanya menyusahkan tenaga kerja kita sendiri
Dalam tulisan kali ini, Penulis akan memberikan berbagai perspektif yang sudah dirinya pelajari dalam beberapa waktu terakhir ini. Disclaimer, tulisan ini tidak bertujuan untuk menggiring opini para Pembaca sekalian.
Selain itu, Penulis juga tidak akan membahas mengenai penyebab konflik Palestina dan Israel karena sudah pernah menuliskannya di tulisan lain. Untuk Pembaca yang belum sempat membacanya, tautannya Penulis letakkan di bawah ini:
Apa Itu Boikot dan Mengapa Dilakukan?
Secara sederhana, boikot adalah sebuah aksi yang dilancarkan oleh sejumlah massa untuk tidak membeli sebuah produk buatan atau yang berafiliasi dengan pihak yang diboikot. Dalam kasus ini, boikot ditargetkan kepada produk-produk buatan Israel dan yang mendukung Israel.
Boikot bisa dikatakan sebagai langkah untuk menekan Israel dari segi ekonomi atas tindakannya yang semakin menekan Gaza setelah serangan Hamas, dengan dalih ingin memberantas pasukan Hamas sampai ke akarnya.
Alhasil, sejumlah produk yang secara terang-terangan mendukung Israel pun mulai terkena dampaknya. Beberapa gerai makanan cepat saji di negara mayoritas muslim seperti Timur Tengah terlihat sepi, bahkan nyaris kosong.
Di Indonesia sendiri, dari yang sejauh Penulis amati baik di sekelilingnya maupun di media sosial, ajakan gerakan boikot ini juga terjadi cukup masif. Apalagi, telah beredar nama-nama produk yang masuk ke dalam daftar boikot.
Apakah Boikot Efektif?
Lantas, apakah boikot benar-benar efektif? Penulis, hingga artikel ini ditulis, belum menemukan data yang menjelaskan berapa kerugian yang diderita oleh Israel semenjak adanya boikot ini.
Namun, sebagian orang berpendapat kalau boikot ini memang sejak awal tidak menargetkan untuk melemahkan ekonomi Israel yang sejatinya cukup kuat dan mendapatkan backing-an dari negara-negara Barat. Boikot ini adalah tentang keberpihakan.
Penulis membuat analogi seperti ini. Misal Penulis memiliki dua orang tetangga, yang satu sahabat Penulis dan yang satu lagi pemilik toko kelontong. Penulis sering membeli di toko tersebut. Akan tetapi, suatu ketika si pemilik toko berkonflik dan menyerang sahabat Penulis.
Merasa tidak terima, Penulis pun memutuskan untuk tidak membeli lagi di toko tersebut. Penulis melakukan boikot karena solidaritas kepada sahabat Penulis yang disakiti. Toko tersebut kehilangan satu konsumennya atas konsekuensi yang dilakukan pemiliknya.
Lantas, apakah toko tersebut akan menjadi bangkrut begitu saja? Tentu tidak, karena masih ada banyak pembeli lainnya yang tetap membeli di sana karena berbagai alasan seperti harganya yang terjangkau. Penulis tidak lagi membeli di sana karena berpihak ke sahabatnya.
Itu pula yang terjadi saat ini di antara konflik Palestina dan Israel. Kaum Pro-Palestina melakukan boikot terhadap produk-produk yang menyatakan dukungan kepada Israel secara terang-terangan dan memberikan bantuan dalam peperangan.
Apa yang dilakukan oleh mereka adalah bentuk solidaritas kepada Palestina. “Karena kamu mendukung Israel yang merupakan musuh Palestina, maka kami tidak akan membeli lagi produk-produkmu,” kurang lebih seperti itu premisnya.
Kalaupun ada yang berniat ingin melumpuhkan ekonomi Israel, ya tidak apa-apa. Ketika Nabi Ibrahim dibakar, sekelompok semut berusaha memadamkannya dengan tenaganya yang kecil, menyiprat-nyipratkan air ke api tersebut.
Usaha mereka pun ditertawakan oleh burung gagak karena dianggap tidak akan memberikan pengaruh apa-apa. Namun, semut berkata, “Walaupun upayaku ini tidak terlalu berdampak, setidaknya Allah tahu di mana kami berpihak.”
Boikot kok Pilih-Pilih?
Bagi mereka yang kontra terhadap boikot, sering muncul pertanyaan, “Kalau begitu, boikot semuanya dong, jangan pilih-pilih!” Sebenarnya ekspresi ini wajar saja, di mana pihak pro-boikot dituntut untuk menunjukkan konsistensinya.
Seperti yang kita tahu, produk-produk teknologi dan digital seperti Google, Microsoft, Meta (Facebook) juga menjadi salah satu pendukung Israel yang paling vokal. Namun, produk-produk mereka masih digunakan untuk mereka yang mengklaim dirinya pro-boikot.
Mengutip dari berbagai ustaz yang Penulis lihat di media sosial (yang merupakan buatan Meta dan Google), pada dasarnya boikot yang dilakukan ini adalah meminimalisir penggunaan produk yang menjadi pendukung Israel.
Harus diakui kalau ada banyak sektor yang di mana kita sangat tergantung padanya. Contoh gampangnya adalah Instagram dan YouTube yang sudah menjadi keseharian kita. Apakah ada media lain yang sebanding dan bisa menggantikannya? Sampai saat ini belum ada.
Contoh lainnya adalah Windows buatan Microsoft atau Android buatan Google. Apakah ada sistem operasi alternatif yang bisa jadi penggantinya? Belum ada. Lantas, apakah kita bisa hidup tanpa produk tersebut? Bagi sebagian orang termasuk Penulis, jawabannya tidak.
Mengutip perkataan kawan Penulis, kita bisa menggunakan produk-produk tersebut untuk menyerukan kebaikan. Kita buat hal yang bermanfaat atau bahkan menyerukan kemerdekaan Palestina menggunakan media-media tersebut.
Nah, kalau sudah ada produk yang sebanding, maka para pro-boikot menganjurkan untuk menggantinya. Lebih baik lagi kalau menggantinya dengan produk-produk lokal, hitung-hitung mendukung produk buatan negeri sendiri.
Lantas, Bagaimana dengan Nasib Pekerja?
Salah satu dilema yang dihadapi oleh pro-boikot adalah dampak yang diterima oleh para pekerjanya, yang notabene menggantungkan hidup melalui produk-produk yang diboikot. Padahal, mereka semua belum tentu menjadi pendukung Israel.
Jika boikot berlangsung masif, bukan tidak mungkin omset perusahaan akan menurun yang akan memicu layoff besar-besaran. McDonald’s di Mesir mengatakan penjualan turun hingga 70%, sedangkan di Malaysia turun di kisaran 20%.
Harus diakui kalau boikot akan memengaruhi kehidupan banyak orang. Penulis pernah menemukan sebuah curhatan dari abang Grab yang mengatakan pendapatannya menurut drastis karena aksi boikot ini, apalagi Grab juga jadi salah satu sasaran boikot.
Namun, ini opini pribadinya, Penulis meyakini kalau rezeki itu diatur Tuhan, bukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Penulis meyakini kalau Tuhan tidak akan diam saja jika boikot ini sampai membuat banyak saudara kita kehilangan pekerjaan.
Ketika kita melakukan boikot terhadap sebuah produk, otomatis kita akan beralih ke produk lain. Jadi, secara hitung-hitungan matematis sebenarnya kebutuhan masyarakat tidak berkurang, hanya berpindah saja.
Idealnya, ketika kita beralih ke produk lain (termasuk produk lokal), maka omset mereka naik. Karena demand naik, maka mereka akan membuka lowongan-lowongan pekerjaan baru. Ini memang too good to be true dan utopis, tapi Penulis meyakini kalau hal ini bisa terjadi.
Mungkin ada yang beranggapakan kalau Penulis bisa ngomong seenteng itu karena tidak bekerja di sana, dan itu ada benarnya. Jika Penulis bekerja di sana dan terancam terkena layoff karena boikot, mungkin Penulis tidak akan berpikir setenang itu.
Namun, sejauh yang Penulis temukan lewat media sosial, justru mereka yang bekerja di sana terlihat lebih legawa. Abang Grab yang Penulis sebutkan tadi justru berkata dirinya ikhlas karena itu bagian dari perjuangannya mendukung Palestina.
Dalam kasus lain, beberapa toko kelontong dan swalayan memutuskan untuk tidak menjual (bahkan membuang) produk-produk yang masuk ke dalam daftar boikot sebagai bentuk dukungan nyata mereka ke Palestina (walau ada yang tidak setuju karena jadi mubazir).
Pasti akan ada yang mengeluh mengapa di saat pekerjaan susah didapatkan seperti sekarang, kita justru membuat mereka kehilangan pekerjaan. Tak sedikit yang menuntut kepada pendukung boikot untuk “bertanggung jawab” atas hilangnya pekerjaan mereka.
Penutup
Jika sudah membaca sampai sini, mungkin para Pembaca akan menyimpulkan Penulis pro-boikot, dan itu memang benar. Jadi Penulis minta maaf jika Pembaca merasa opininya digiring, meskipun di atas sudah ada disclaimer kalau tidak ada niatan ke sana.
Yang perlu Pembaca ketahui, awalnya Penulis pun tidak pro-boikot. Sudah dampaknya tidak seberapa, yang kena getahnya justru masyarakat kita sendiri karena mereka berpotensi kehilangan pekerjaannya.
Hanya saja, semakin Penulis mendalami masalah perboikotan ini, hati nurani Penulis semakin terdorong untuk mendukung boikot yang sebenarnya bisa dianggap sebagai aksi paling damai dibandingkan mengangkat senjata yang belum tentu kita mampu.
Memang masih banyak aksi lain yang bisa kita lakukan untuk mendukung Palestina, seperti bersuara di media sosial dan memberikan sumbangan semampunya. Namun, tidak ada salahnya juga untuk menunjukkan keberpihakan kita dengan mendukung boikot.
Penulis juga berusaha mendengar bagaimana pendapat para ahli agama yang jelas iman dan ilmunya lebih tinggi dari Penulis. Karena mayoritas mendukung boikot, maka Penulis pun semakin mantap untuk pro-boikot.
Lantas, apakah yang kontra dengan boikot itu salah? Jelas tidak sama sekali. Mereka juga punya pertimbangan masing-masing yang Penulis yakini juga didasari atas kebaikan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu, silakan mau pro ataupun kontra terhadap gerakan boikot produk-produk Israel dan pendukungnya. Mari kita saling menghargai pilihan masing-masing tanpa menghakimi dan merasa dirinya yang paling benar.
Foto Banner: Middle East Monitor
Sumber Artikel:
You must be logged in to post a comment Login