Distopia Bagi Kia

Bagian 1 Distopia Bagi Kia

Published

on

Rintik hujan menyapa pagi pada hari Minggu, ketika Kia genap berusia 17 tahun. Gadis yang sedang beranjak dewasa itu sama sekali tidak antusias dengan peringatan hari lahirnya. Ia mengintip keluar dari jendela kamarnya yang terletak di lantai tiga, memandangi suasana kelabu. Langit seolah memahami isi hatinya.

Sarapan telah tersedia di samping tempat tidurnya. Tak jarang Kia hanya meliriknya dengan acuh. Tidak dimakan pun tak ada yang peduli. Para pembantunya kadang mengingatkannya untuk makan, namun Kia yakin itu karena perintah orangtuanya, bukan karena murni perhatian.

Setelah puas memandangi jalanan yang semakin basah, Kia duduk di depan meja riasnya yang penuh dengan berbagai peralatan kosmetik. Kia jarang merias dirinya, kosmetik tersebut kebanyakan hanya oleh-oleh dari mamanya setelah berkeliling dunia. Ia bukannya merasa dirinya sudah cantik, ia hanya tidak peduli dengan penampilannya. Lebih tepatnya, ia seringkali tidak peduli dengan apapun yang ada di sekitarnya.

Kia mengamat pinggiran kaca, yang terbuat dengan ukiran kayu mahoni dengan motif yang melingkar-lingkar. Ia sebenarnya sama sekali tidak menyukai perabotan dengan bentuk yang demikian. Ia menyukai benda yang lurus dan minimalis. Kia tak pernah memberitahukan hal tersebut kepada orangtuanya karena ia merasa hal tersebut tidak penting. Toh orangtuanya juga jarang di rumah karena sibuk mengurusi kerajaan bisnisnya. Tak akan ada waktu untuk membicarakan hal remeh temeh seperti itu.

Ketukan pintu membuat lamunan Kia terpecah. Dengan bergumam masuk, salah seorang pembantunya masuk sambil membawa setumpuk pakaian.

“Non, ini baju-baju punya non yang kemarin saya cuci, saya taruh lemari ya.”

Kia tidak mengiyakan maupun mengucap tidak. Tanpa direspon pun si pembantu akan tetap masuk ke dalam kamarnya yang luas dan menyusun pakaiannya di lemari. Tidak ada yang beda antara menjawab dan tidak menjawab. Semua akan tetap berjalan sebagimana mestinya. Bumi akan tetap berotasi pada porosnya sembari berevolusi mengelilingi Matahari.

Setelah pembantunya selesai dan pamit, Kia kembali melihat pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya ia cantik, apalagi ditambah poni yang menutupi dahinya. Hanya saja, ia tak pernah tersenyum. Ia selalu menampilkan wajah murung seolah dilanda duka tiada akhir. Garis di bibirnya menunjukkan konsistensi garis lurus. Sangat jarang berubah bentuk menjadi sebuah garis lengkung, baik ke atas maupun ke bawah.

Banyak yang beranggapan menjadi anak seorang konglomerat merupakan impian dari setiap orang. Dengan melimpahnya harta, apapun dapat dilakukan. Kia tidak merasakan itu. Justru, kehidupan bak putri dalam dongeng dengan belasan pembantu yang ia jalani sangat menyiksa dirinya. Ia tidak lagi memiliki keinginan karena semua yang inginkan dapat terkabul dengan mudah.

“Seandainya aku tidak ada pun, tidak akan ada yang berubah dengan dunia ini.”

Keyakinan itu terus ia ulang-ulang setiap hari. Kia tidak punya tujuan khusus melakukan rutinitas itu. Pikiran-pikiran itu muncul begitu saja, menggambarkan apa yang dirasakan oleh Kia setiap saat. Ia hidup tanpa tahu untuk apa ia hidup. Ia tidak memiliki ambisi apapun, apalagi mimpi. Ia hanya mengerjakan apa yang diperintahkan kepadanya untuk dikerjakan. Ia sekolah bukan karena ia ingin sekolah. Ia belajar bukan karena ia ingin belajar. Ia meraih prestasi bukan karena ia ingin meraihnya.

Terkadang Kia merasa dirinya sudah selayaknya robot, hanya bisa bergerak jika diberi program tertentu. Orangtuanya, terutama papa, selalu menuntut Kia menjadi juara sekolah karena ia adalah calon penerus kerajaan bisnisnya, Labdajaya Group. Perusahaan ini bergerak di berbagai bidang termasuk properti dan masuk lima besar perusahaan yang paling berpengaruh di Indonesia.

Sayang, semua kekayaan itu sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap Kia. Ia selalu tidak bahagia dengan keadaannya. Kia anak yang pendiam, hampir tak pernah bersuara, sehingga segala keluhannya hanya ia dengungkan dalam hati. Atau mungkin sebaliknya, karena ia terbiasa memendam segala sesuatu, membuat ia menjadi orang yang pendiam.

Terkadang Kia masih menyimpan asa untuk kebahagiannya. Ia pernah berandai-andai untuk memiliki saudara, tidak masalah laki-laki maupun perempuan. Seandainya itu benar-benar terjadi, setidaknya ia akan memiliki teman bermain sehingga ia tidak punya waktu untuk bermuram durja. Ia tidak akan terlalu kesepian dengan tidak hadirnya orangtuanya. Seiring berjalannya waktu dan bertambah usianya, Kia mengubur dalam-dalam bayangan memiliki saudara. Orangtuanya terlalu sibuk untuk bisa memberikannya adik.

Yang lebih menyedihkan, Kia tidak bisa bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Semenjak tingkat dasar hingga akan melanjutkan ke bangku kuliah, ia tidak memiliki seorangpun kawan untuk sekedar diajak mengobrol. Kia selalu merasa kesulitan untuk memulai percakapan. Lama-kelamaan, kesulitan tersebut membuatnya semakin menutup diri. Teman-teman sekolahnya pun tidak ada yang berusaha mendekati Kia. Ketika berada di dalam kelas, ia seolah berada di dalam kotak kaca yang menghalanginya berinteraksi dengan orang lain.

Kia sering dipuji oleh guru karena ia selalu menjadi juara di sekolahnya, walaupun Kia tak terlalu mempedulikan hal tersebut. Baginya, segala sanjungan tersebut kosong tanpa makna berarti. Sama seperti kekayaan yang ia miliki, prestasi yang ia dapatkan juga tidak bisa memberikan kebahagiaan. Ia merasa prestasinya ia raih karena orangtuanya menuntut seperti itu, bukan karena keinginan Kia sendiri.

Kia mengalihkan pandangannya dari cermin dan kembali menatap jendela. Dunia yang ia tinggali sekarang adalah distopia bagi Kia, tempat yang menakutkan untuk ditinggali. Ia memiliki harapan kosong untuk keluar dari semua ini. Sering ia berharap seperti itu, terkadang tercetus pikiran untuk mengakhiri hidupnya. Toh, kalaupun ia mati dengan cara paling mengenaskan sekalipun, tak akan ada satu orang pun yang peduli.

***

Setelah selesai mandi dan memasukkan beberapa sendok sarapan ke mulutnya, Kia berjalan menuju teater mini yang ada di lantai dua. Hiburannya di kala libur hanya menonton film, terkadang juga membaca buku di perpustakaan. Ia bisa berjam-jam menonton serial-serial televisi yang tersedia secara online. Tema favoritnya adalah berbagai macam hal yang berbau kerajaan, apalagi jika dibumbui perang. Melihat pembantaian sesama manusia.

Di ruangan seluas enam kali delapan meter tersebut, tersimpan rapi koleksi film orangtuanya. Jika sedang malas streaming, Kia suka menelusuri daftar film tersebut. Kia melihat-lihat film apa yang belum pernah ia lihat dan terlihat menarik. Setengah jam ia habiskan untuk melihat-lihat. Pada akhirnya, Kia memutuskan untuk membatalkan niatnya untuk menonton film. Mood-nya benar-benar tak karuan hari itu.

Kia beralih menuju perpustakaan yang terletak di lantai satu. Beberapa pembantu -atau pelayan, sebutan yang lebih disukai oleh Kia- menyapanya ketika ia lewat, yang hanya dibalas dengan anggukan samar. Matanya senantiasa memancarkan kekosongan, merepresentasikan kekosongan pada hatinya yang membutuhkan kasih sayang yang tulus.

Orangtuanya menyerahkan tanggungjawab mengasuh dan mendidik Kia ke tangan orang lain. Mereka menyediakan guru privat, guru piano, koki, sopir, hingga tukang cuci untuk menjamin kehidupan yang layak untuk Kia. Sayang, mereka tidak menyadari bukan itu yang dibutuhkan oleh Kia. Ia hanya butuh perhatian dari orangtua kandungnya, secara langsung. Dari hati ke hati tanpa perantara pihak ketiga.

Kia menyusuri rak bagian sejarah. Sama seperti film, Kia sangat suka membaca buku-buku yang berhubungan dengan kerajaan. Tentu buku sejarah banyak menyediakan hal tersebut. Kerajaan-kerajaan di Eropa, Timur Tengah, hingga peradaban kuno seperti Mesir dapat memuaskan hasrat Kia terhadap minatnya. Kali ini ia memilih buku sejarah Prancis di era kepemimpinan Napoleon Bonaparte dan memutuskan untuk membacanya di kamar.

Baru beberapa lembar ia jelajahi ketika terdengar suara ketukan pintu. Kia menjadi sedikit gusar karena aktivitas di hari liburnya terganggu. Ia ingin sekali saja bebas dari orang-orang dan bebas melakukan apa yang ia inginkan. Dengan terpaksa, ia menyuruh masuk orang yang mengetuk pintunya. Ternyata guru piano pribadinya.

“Nona, jangan lupa nanti setelah makan siang kita ada latihan ya. Tuan kemarin pesan jangan sampai nona tidak latihan karena dua bulan lagi nona akan tampil.”

“Iya.” jawab Kia dengan datar.

Kia tak pernah ingin dipanggil sebagai nona. Baginya, panggilan tersebut terlalu berlebihan. Ia lebih senang jika dipanggil nama, atau setidaknya mbak. Nona jelas terlalu berbau asing. Tapi, sekali lagi, Kia merasa tidak perlu untuk memberitahukan hal tersebut kepada orang lain. Terserah ia mau dipanggil apa, toh ia juga tidak terlalu mempedulikan hal tersebut.

Kia merasa semakin kesal. Papanya ingat acara keluarga besar yang masih akan dilaksanakan beberapa bulan ke depan, sedangkan ulang tahun anaknya sendiri tak ingat. Ia merasa hanya dijadikan sebagai alat untuk membanggakan papanya. Kia ingin menangis, tapi ia tahu hal tersebut tak akan berguna. Tidak ada yang akan peduli walaupun tangisnya tumpah hingga membanjiri Jakarta.

Kia bukannya tidak suka bermain piano. Ia suka dengan musik dan memiliki jiwa seni yang cukup tinggi. Jari-jari tangannya begitu lentik ketika Kia memainkan Piano Stems Dresden yang dibeli oleh mamanya duabelas tahun lalu. Asli Jerman, kalau Kia tak salah mengingat. Ketika merasa sedih, Kia akan bermain piano untuk menenangkan dirinya. Bisa berjam-jam ia habiskan untuk memainkan beberapa lagu klasik favoritnya.

Akan tetapi, sesuka apapun Kia terhadap piano, ia tidak suka jika hobinya tersebut hanya digunakan sebagai ajang pamer. Ia bermain musik bukan untuk menunjukkan dirinya hebat. Ia bermain musik karena ia menikmati tiap nada yang ia ciptakan. Ia menyukai piano karena suara yang dihasilkan olehnya begitu indah. Papanya tidak akan pernah paham tentang ini.

Buku tentang kekaisaran yang dipimpin oleh Napoleon ia tutup. Nafsu membacanya surut seketika. Ia memutuskan untuk berbaring di tempat tidurnya sembari melamun. Terkurung di dunia yang tidak ia inginkan membuat Kia sering berimajinasi, membayangkan seandainya ia terlahir bukan sebagai bagian dari keluarga Labdajaya. Akankah hidupnya lebih bahagia walaupun hidup serba kekurangan? Akankah sifat pemurungnya akan hilang? Akankah ia bisa memiliki teman seperti orang lain?

Pertanyaan demi pertanyaan saling menimpa di dalam pikiran Kia, hingga akhirnya ia terlelap.

***

Kia tidak begitu menyukai Beethoven. Ia lebih menyukai lagu-lagu Mozart yang cenderung lebih menenangkan. Tapi papanya memaksa ia memainkan moonlight sonata yang dibuat Beethoven untuk kekasihnya, walaupun setelah itu kekasihnya meninggalkannya. Papanya tak tahu kisah pedih tersebut. Papanya hanya tahu bahwa musik itu enak dan terkenal. Baginya, perasaan komposer sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan ketika memilih lagu. Berbeda dengan Kia.

Guru piano Kia berkali-kali menegur kesalahan yang dibuat oleh Kia. Tentu ia tidak berani terlalu galak, karena mau tidak mau Kia adalah anak dari majikan yang membayarnya. Ia merasa bahwa pada latihan kali ini, Kia dengan jelas menunjukkan keengganan untuk latihan. Daripada terus mengoreksi kesalahan yang dilakukan Kia, guru piano yang bernama Thomas tersebut mencoba untuk berbicara dengannya.

“Nona, apa nona ada masalah? Permainan nona hari ini tidak seperti biasa.”

“Enggak pak.”

Menghadapi gadis berusia belasan tahun jelas bukan keahlian Thomas, seorang laki-laki berusia 34 tahun. Istrinya menjadi guru kesenian di salah satu sekolah dasar negeri dekat rumahnya. Ia memiliki dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Semua anaknya selalu nampak bahagia meskipun fasilitas yang dimiliki tak selengkap yang dimiliki oleh Kia. Thomas sering heran, apa yang menyebabkan anak majikannya tersebut selalu terlihat murung dengan segala yang dimilikinya.

“Ya udah, kita lanjutkan latihannya. Kesalahan yang tadi jangan sampai terulang ya. Nanti saya dimarahi papamu.”

Kia berharap ada orang yang bisa memahaminya, bukan sekedar takut dimarahi oleh papanya. Memang, papanya terkenal galak dan tak segan mengeluarkan amarahnya jika suasana hatinya sedang buruk. Akan tetapi, Kia merasa dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan amarah papanya. Hampir setiap kali ketika Kia terlihat enggan melakukan sesuatu yang diinginkan oleh papanya, orang-orangnya di rumah selalu berkata “nanti saya dimarahi papa lo”.

Mau siapapun yang dimarahi, sebenarnya Kia merasa bodo amat. Toh yang dimarahi bukan dirinya, walaupun ujung-ujungnya juga dirinya pasti kena semprot. Jika sudah seperti itu, papanya akan menceramahi panjang lebar tentang “demi kebaikanmu” atau “masa depan yang lebih baik”. Papanya merasa ia adalah orang yang paling tahu tentang Kia dan paling paham apa yang dibutuhkan Kia, tanpa bertanya langsung kepada sang anak.

Sedangkan mama, walaupun sebenarnya ia adalah wanita yang baik, merupakan wanita yang gila kerja. Dulu keluarga papa dan mama merupakan saingan bisnis di bidang retail pakaian, hingga akhirnya mereka menikah dan terjadilah merger perusahaan. Labdajaya Group membeli semua saham perusahaan milik keluarga mama dan menjadikannya anak perusahaan. Banyak yang beranggapan bahwa pernikahan tersebut hanya berlandaskan bisnis semata tanpa adanya cinta, sehingga setelah menikah pun mereka sibuk kerja sendiri-sendiri.

Kia kembali meletakkan jemarinya di atas tuts piano. Ia berharap, ada seseorang yang bisa memahami perasaannya. Seseorang yang cukup peka bahwa ia tidak menginginkan fasilitas lengkap dan harta melimpah. Ia hanya menginginkan perhatian dan kasih sayang yang tulus dari orang-orang yang seharusnya menyayanginya.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version