Distopia Bagi Kia

Bagian 15 Sejarah Kecil Dunia Ini

Published

on

Telah diputuskan bahwa kegiatan mengajar yang dipimpin oleh Kia akan diadakan setiap hari Rabu dan Minggu. Akan tetapi, sebagai permulaan, Kia akan mengajar di internal Karang Taruna terlebih dahulu sebelum mengajar anak-anak yang lebih kecil. Keputusan ini diambil Yoga dengan dasar mengambil kepercayaan warga terlebih dahulu. Ketika dampak positif dari kegiatan ini sudah bisa dirasakan, maka Kia dan Karang Taruna akan membuka kelas mengajar untuk anak-anak, bahkan orang tua sekalipun.

Hari ini adalah hari pertama kegiatan mengajar dimulai. Lokasi yang dipilih adalah balai RW karena bisa menampung banyak orang sekaligus. Kia tidak sendirian karena ia akan dibantu oleh Yoga, yang katanya masih libur kuliah. Mereka sepakat untuk membagi tugas. Yoga akan mengajar anak-anak yang tidak sekolah, sedangkan Kia mengajar sisanya. Keputusan ini diambil untuk mempermudah mereka mengira-ngira apa yang harus diajarkan.

Pukul tujuh malam, Yoga dan Kia sudah berada di balai RW, menanti kedatangan anggota yang lain. Kursi sudah mereka atur sedemikian rupa sehingga jelas mana yang ikut kelompok Yoga dan mana yang ikut kelompok Kia. Sambil menunggu kedatangan anggota lainnya, Kia ingin bertanya kepada sang ketua tentang sejarah kecil tempat ia berada sekarang.

“Kak Yoga, aku boleh tanya?”

“Boleh dong, tanya apa?”

“Kak Yoga kuliah jurusan apa?”

“Jurusan Hubungan Internasional sih, dari dulu suka belajar tentang kerajaan-kerajaan gitu, hahaha.”

“Oh gitu. Aku boleh tahu enggak kak sejarah kerajaan kita ini? Soalnya aku enggak ingat sama sekali, siapa tahu habis dengar kak Yoga cerita ingatanku bisa pulih.” kata Kia dengan sedikit berbohong, dengan harapan Yoga akan menceritakan semuanya dengan lengkap.

“Boleh dong, apalagi aku suka sejarah. Kamu udah siap dengerin?”

Kia menganggukan kepala dengan antusias. Sejak mendengar dari keluarga Kusno tentang kerajaan Jawa dan lain sebagainya, ia sering penasaran dengan sejarah dunia ini. Kia yakin Yoga mampu melegakan dahaga keingintahuannya.

“Jadi pada jaman dahulu kala, seluruh kerajaan yang tersebar di kepulauan Nusantara ini pernah menjadi satu kerajaan berkat usaha keras seorang raja. Ia mengubah nama kerajaannya menjadi Indonesia, di mana di dalam nama tersebut tersimpan keinginan kuat agar negara ini akan tetap bersatu sampai kapanpun.

“Rakyat hidup makmur di bawah kepemimpinan raja yang bijak ini, hingga pada akhirnya terjadi kudeta dan pengkhianatan yang menyebabkan kematian sang raja. Kudeta ini memicu pemberontakan di mana-mana, sehingga pada akhirnya Indonesia pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Untuk menghentikan dan mencegah terjadi peperangan di masa depan, akhirnya dibuatlah perjanjian untuk membagi wilayah berdasarkan pulau-pulau besar di kepulauan Nusantara. Maka dari itu ada kerajaan Jawa, Celebes, dan lain sebagainya.

“Akan tetapi, perjanjian tersebut terbukti tidak efektif karena sampai saat ini peperangan masih terus terjadi. Tidak hanya antar kerajaan, bahkan di dalam kerajaan pun selalu ada saja usaha untuk menggulingkan kekuasaan. Untunglah di kerajaan kita ini relatif aman karena raja yang memimpin kita sekarang begitu memahami perasaan rakyatnya, sehingga kita bisa hidup damai seperti sekarang. Ketika rakyat bahagia, maka sektor-sektor lain ikut terpengaruh termasuk ekonomi dan pembangunan. Kesuksesan inilah yang memantik rasa cemburu dari kerajaan lain, sehingga banyak yang berusaha memprovokasi kita.

“Yang terakhir ya perebutan sumber minyak di Selat Sunda itu. Padahal jika dilihat dari batas teritorial, jelas sumber tersebut merupakan hak kita. Akan tetapi, pihak kerajaan Andalas tetap ngotot dengan berbagai alasan yang tak masuk akal. Maka dari itu banyak pasukan kita berjaga di sana, lengkap dengan armada lautnya. Eh, maaf ya Kia, aku kalau ngomongin sejarah suka lupa diri, hahaha.” tandas Yoga menyadari dirinya berbicara terlalu banyak.

“Enggak apa-apa kok kak, aku malah tertarik sama cerita kakak. Lanjutin aja kak.”

“Baiklah kalau begitu. Tapi bagian mana lagi yang mau kamu tahu?”

“Eh, kita enggak pernah dijajah sama bangsa Eropa kayak Belanda gitu kak?”

“Dijajah bangsa Eropa? Enggak mungkin lah, mereka itu peradaban manusia yang paling primitif dan miskin di muka Bumi ini. Benua Eropa itu tidak punya sumber daya alam yang melimpah sehingga mereka tidak bisa membuat inovasi-inovasi. Beda sama kerajaan-kerajaan di Afrika yang kekayaannya melimpah ruah dan orang-orangnya juga cerdasnya bukan main. Bahkan dari yang aku baca di koran, katanya ada wacana untuk menyatukan Afrika menjadi satu kerajaan utuh di mana pemimpinnya digilir ke masing-masing kerajaan yang dianggap paling maju.”

“Tapi mereka enggak pernah menjajah kerajaan lain kak?” tanya Kia dengan antusias. Kegemaran Kia membaca buku sejarah ketika masih berada di dunia asalnya adalah alasan mengapa ia bisa sesemangat ini.

“Buat apa Kia menjajah kerajaan orang jika mereka sudah kaya? Yang ada mereka malah memberi bantuan ke sana ke mari, terutama ke kerajaan yang hidupnya susah. Ya, kayak kerajaan-kerajaan di Eropa itulah.”

“Aku jadi penasaran nih kak, ada enggak kerajaan yang bentuknya Republik gitu, jadi sebuah negara.”

“Republik? Maksudmu negara yang dipimpin oleh presiden dan diganti setiap berapa tahun itu ya? Hahaha, enggak ada yang berhasil Kia. Beberapa kerajaan sudah mencoba dan gagal. Inginnya menghentikan kekuatan absolut, akan tetapi ketika pemilihan pemimpin malah ribut sendiri sampai perang saudara. Aku sih selama rajanya bener dan bisa mimpin, mau berkuasa seumur hidup juga enggak masalah.”

“Emang raja di Jawa ini sebagus itu ya kak?”

“Ya mungkin aku sedikit berlebihan karena aku sangat menghormati beliau. Akan tetapi, beliau memang orang yang sangat hebat. Segala keputusan yang diambil selalu memikirkan kepentingan rakyat terlebih dahulu. Enggak semua kerajaan memiliki pemimpin seperti itu, apalagi jika dibandingkan dengan kerajaan tetangga.”

“Lalu, kalau rakyat menghendaki rajanya turun, gimana kak?”

“Tergantung rajanya juga sih. Ada yang secara gagah berani menerima keputusan tersebut dan mengundurkan diri. Ada juga yang justru menangkap semua yang menentang kekuasaannya, bahkan hingga dieksekusi mati.”

“Kalau raja di sini berarti termasuk kategori yang pertama ya?”

“Tentu saja dong Kia. Ah itu sudah datang si Firman, kita lanjut ngobrolnya nanti ya Kia!”

Maka dimulailah hari pertama kegiatan mengajar yang sudah lama diimpikan oleh Kia. Sayangnya, pikirannya masih takjub dengan sejarah kecil dunia ini yang diceritakan oleh Yoga. Ia menjadi agak susah untuk fokus mengajar. Untunglah, semua pertanyaan yang diajukan kepadanya masih bisa ia jawab dengan baik. Kia merasa begitu bahagia ketika mengajar, mungkin karena merasa bahwa keberadaan dirinya dibutuhkan oleh orang lain.

***

Seusai kegiatan mengajar perdana yang dihadiri oleh cukup banyak anggota Karang Taruna, Kia mendadak mendapat serbuan pertanyaan. Ia yang belum terbiasa mendapatkan perhatian menjadi sedikit merasa canggung.

“Kak Kia jago banget ngajarnya, jelas banget. Aku langsung paham lo!” celetuk Ana, seorang perempuan yang memakai kacamata.

“Terima kasih.” jawab Kia dengan pelan.

“Kak Kia sekarang umur berapa sih?” tanya Setiawan, anggota Karang Taruna yang bermata sipit dan berambut jabrik.

“17 tahun.”

“Kak Kia hebat ya, meskipun hilang ingatan tapi masih ingat sama pelajaran-pelajaran.”

Kalimat yang diucapkan secara polos oleh laki-laki bernama Firman tersebut sontak membuat suasana menjadi hening. Tentu mereka semua masih ingat bagaimana Kia pulang dengan membawa kesedihan pada hari Sabtu kemarin. Kia bisa memahami apa yang mereka rasakan dan berusaha menetralkan suasana.

“Enggak apa-apa kok, aku enggak bakal pergi kayak dulu lagi. Iya, untung ya aku masih ingat pelajaran, hahaha.”

Yang lain berusaha menimpali tawa Kia dengan sedikit canggung sembari memberi tatapan ingin membunuh kepada Firman. Yang diberi tatapan hanya bisa cengar-cengir karena menyadari kesalahan yang dibuatnya. Yoga yang dari tadi diam sambil memperhatikan hanya bisa tersenyum. Sudah saatnya ia angkat bicara untuk menegaskan permasalahan ini.

“Teman-teman, minta perhatiannya sebentar.”

Wibawa yang dimiliki oleh Yoga membuat semua anggotanya patuh untuk fokus kepada sang ketua. Mereka sudah hafal jika Yoga sudah berkata seperti itu, akan ada sebuah hal penting yang akan diucapkan.

“Kita semua tahu bahwa teman baru kita, Kia, sedang mengalami musibah dengan hilangnya ingatan yang dimilikinya. Mungkin itu sejenis hilang ingatan sebagian, sehingga ia masih bisa mengingat beberapa hal. Hari ini Kia telah membuktikan bahwa keterbatasannya tersebut tidak menghalangi niat baiknya untuk mengajar di kampung ini. Kalian sudah menyaksikan sendiri bagaimana cerdasnya ia sehingga bisa menjawab hampir semua pertanyaan kalian. Maka dari itu, aku minta kalian untuk berhenti mengungkit-ungkit hal ini.”

Semua serempak mengatakan iya dengan kepala sedikit tertunduk. Yoga sama sekali tidak ada niatan untuk melakukan intimidasi kepada anggotanya sendiri, akan tetapi ketegasan seperti ini perlu dilakukan sesekali. Hal ini membuat Kia merasa takjub kepada Yoga. Ia membandingkan ketegasan yang dimiliki Yoga dengan papanya. Bedanya, tidak ada ancaman yang keluar dari Yoga.

“Enggak apa-apa kok kak Yoga, aku maklum kalau mereka penasaran. Mungkin yang waktu itu memang akunya yang agak berlebihan.” ujar Kia berusaha memberi pembelaan.

“Kamu enggak salah Kia, kita memang kurang sopan ke kamu.”

Kia tidak menjawab lagi pernyataan Yoga. Ia paham, bahwa untuk saat ini lebih baik ia diam. Selain itu, ia tidak ingin menambah beban anak-anak lain yang sudah kena semprot Yoga. Setelah beberapa kata penutupan, Yoga meminta kepada semua anggota untuk bersiap-siap pulang karena hari telah larut. Kia pun ikut membereskan barang-barangnya dengan sedikit perasaan bersalah.

***

Setelah menjawab singkat pertanyaan dari bu Imah tentang kegiatan mengajarnya, Kia langsung menuju kamar untuk istirahat. Ia sudah tidak merasa bersalah tidur di kamar ini karena pak Kusno sudah membuat kamar sendiri di belakang, memanfaatkan kasur bekas yang disumbangkan kepadanya. Awalnya, Kia mengajukan diri agar dirinya saja yang tidur di sana, yang tentunya ditolak oleh pak Kusno.

Hari pertama kegiatan mengajar yang belum diberi nama ini meninggalkan banyak kesan untuk Kia. Dirinya, yang selama ini jarang berinteraksi dengan orang lain, nyatanya mampu menyalurkan ilmunya kepada orang lain dengan baik. Ia bisa berbicara lancar dengan orang lain tanpa merasa canggung, walaupun dirinya belum terlalu mengenal para anggota Karang Taruna. Kia sama sekali tidak merasakan tekanan yang selama ini sering ia rasakan ketika harus berhadapan dengan orang lain.

Memang, Kia merasa bahwa anggota Karang Taruna masih sedikit menjaga jarak dengannya. Ia maklum, karena bagaimanapun ia adalah orang baru yang tidak jelas asal usulnya. Meskipun begitu, ia yakin seiring dengan berjalannya waktu, jarak tersebut akan terkikis. Entah mengapa, Kia merasa bahwa ia merasa cocok dengan lingkungan pertemanan ini. Teman? Selama ini ia tak pernah punya teman. Namun Yoga dan kawan-kawan seolah membuka diri untuk menjadi teman pertama Kia. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Kia, entah benar atau tidak.

Kia jadi teringat sejarah kecil dunia ini yang diceritakan oleh Yoga. Kenapa ia bisa masuk ke dalam dunia di mana kerajaan bertebaran di mana-mana? Ia berasumsi kegemarannya membaca sejarah kerajaan menjadi faktor penyebabnya. Kakek tersebut berkata bahwa ia akan memasuki dunia yang ada di bayangannya. Bacaan-bacaan sejarah itu telah memasuki alam bawah sadarnya sehingga ia memasuki dunia yang seperti ini. Kia belum menemukan perbedaan yang berarti antara dunia aslinya dengan dunia ini. Mungkin karena tempat ini tergolong jauh dari pusat pemerintahan.

“Papa dan mama gimana ya?” gumam Kia tiba-tiba.

Membandingkan dunianya membuat Kia teringat kedua orangtuanya. Meskipun membenci kedua orangtuanya, pada dasarnya ia adalah anak yang baik. Ia masih menyimpan kepercayaan bahwa orangtuanya akan khawatir atas kehilangannya, entah karena sayang ataupun demi reputasi. Kia segera membuang jauh-jauh pikiran tentang orangtuanya. Ia sudah membuat keputusan untuk memulai hidup baru di sini, di lingkungan yang membuatnya bisa merasakan kasih sayang. Ia sama sekali tidak mempermasalahkan kondisi ekonominya sekarang yang berbanding terbalik dengan kehidupannya yang asli. Ia jauh lebih bahagia seperti ini.

Kia memutuskan untuk menutup mata, berusaha menyusul Qila yang sudah terlelap dari tadi. Ia membelai dengan lembut rambut Qila. Jika ada kesempatan untuk kembali ke dunia aslinya, akankah Kia menerimanya? Jika iya, maka ia akan berpisah dengan pak Kusno, bu Imah, Qila, Yoga, dan anggota Karang Taruna. Namun jika ia menolak, apakah papa dan mamanya akan baik-baik saja? Pikiran Kia terus sibuk dengan berbagai kemungkinan tersebut, hingga akhirnya ia tertidur dengan setetes air mata.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version