Distopia Bagi Kia

Bagian 24 Pulang

Published

on

Alice mengantar Kia ke kamar di mana ia akan bertemu dengan tamunya. Kia tak berhenti menangis hingga Alice bingung harus melakukan apa. Apalagi, Rosi sudah pergi entah ke mana. Sebelum pergi, Rosi mengatakan bahwa Kia dan tamunya akan bertemu di kamar 1245.

“Kia, udahan dong nangisnya, aku jadi bingung nih.” kata Alice berusaha menghibur Kia.

Kalimat yang keluar dari mulut Alice sama sekali tidak membuat Kia merasa tenang. Bayangannya tentang apa yang akan terjadi pada dirinya sesaat lagi membuatnya sedih. Alice yang sebenarnya baik hati memutuskan untuk mengambilkan sekotak tisu yang terdapat di atas meja kamar. Kia mengambil dua lembar untuk menyeka kedua matanya yang pasti sudah terlihat sembab tak karuan.

“Udah, kamu nunggu di sini aja sambil nonton TV. Kamu bisa ya aku tinggal? Nanti kalau tamunya datang, bukakan pintunya. Lakukan apa yang udah aku ajarin tadi dan jangan lupa untuk selalu tersenyum, walaupun kayaknya kamu sama sekali enggak memperhatikan aku tadi.”

Kia tidak mengangguk ataupun menggelengkan kepala. Ia tak merasa pernah menyetujui pekerjaan kotor ini. Ia dipaksa, bahkan dijual bagaikan benda mati. Setelah mengalami semua hal ini, bagaimana ia bisa memberikan senyum kepada orang asing?

“Sebenarnya memang agak aneh sih, biasanya tamu itu datang malam hari. Eh, ini ada orang datangnya siang. Udah gitu, mintanya ketemu sama gadis baru. Kok ya kebetulan pas kamu datang. Semoga orangnya normal ya Kia. Aku tinggal dulu, ini TV-nya aku nyalakan, bye.”

Terdengar suara bising televisi yang sama sekali tidak dihiraukan Kia. Matanya telah berhenti mengeluarkan air mata, diganti dengan tatapan kosong karena semangat hidupnya telah diangkat. Ketika mengangkat kepalanya, ia melihat bayangan dirinya di sebuah cermin yang menjadi satu dengan pintu lemari. Cermin. Benda itulah yang telah membawanya kemari, ke dunia ini. Melalui cermin yang ada di museum itulah dirinya bisa bertemu dengan pak Kusno, bu Imah, Qila, bahkan Yoga.

“Mereka sedang apa ya?” gumam Kia lirih sembari memeluk lututnya.

Kurang lebih setengah jam Kia melamun. Tamu tersebut sepertinya terlambat. Bisa jadi, ia membatalkan niat atau lupa. Kia berharap itu benar-benar terjadi, meskipun ia tahu akan ada tamu-tamu lain yang akan datang. Di luar terdengar suara keramaian dan letusan kembang api. Mungkin sedang ada festival di dekat sini. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengintipnya, lebih memilih untuk melanjutkan lamunannya yang diiringi oleh suara bising televisi.

Perhatian Kia terusik ketika mendengar kata perang yang berasal dari televisi. Kia mendongakkan kepala untuk melihat apa yang terjadi. Di bagian bawah siaran breaking news tersebut, tertulis KERAJAAN ANDALAS MELAKUKAN INVASI KE BATAVIA. Kia mengambil remote TV dan memperbesar suaranya.

“Bisa di lihat dari kejauhan bahwa pasukan dari kerajaan Andalas baru saja membombardir pelabuhan melalui laut. Tidak banyak pasukan yang bersiaga di pelabuhan karena memang sejak beberapa bulan yang lalu, raja memutuskan untuk mengonsentrasikan pasukannya di selat Sunda karena perebutan wilayah minyak. Serangan mendadak yang baru terjadi sepuluh menit yang lalu ini sangat mengejutkan warga yang tinggal di daerah pelabuhan, sehingga banyak yang berusaha melarikan diri dan bersembunyi ke tempat terdekat seperti Hotel Alexa…”

Kia tidak lagi mendengarkan suara televisi. Ia beranjak dari atas kasur dan melihat ke arah jendela. Ternyata hotel ini sangat dekat dengan laut, mungkin hanya berjarak sekitar dua atau tiga kilometer. Suara-suara yang ia dengar tadi ternyata bukan festival, melainkan teriakan orang-orang yang panik dan suara tembakan kapal perang di mana-mana. Dari tempatnya berdiri sekarang, ia bisa melihat kebakaran di mana-mana. Di laut sana, berjejer kapal-kapal tempur tak henti-hentinya mengeluarkan tembakan ke segala penjuru.

“Baik saudara, kini saya di studio sudah terhubung dengan menteri keamanan pertahanan, bapak Suryadiningrat di Yogyakarta. Selamat pagi bapak.” Kia mendengarkan televisi kembali. Nampak terlihat seseorang dengan wajah garang yang tidak bisa menyembunyikan ekspresi kemarahannya. Mereka sedang melakukan teleconference.

“Serangan mendadak yang dilakukan oleh pihak musuh adalah perbuatan biadab yang tidak berperikemanusiaan. Menyerang sipil yang tak berdosa adalah tindakan yang hanya dilakukan oleh binatang.” kata bapak Suryadiningrat.

“Bagaimana bisa militer lengah terhadap serangan ini? Kenapa seolah-olah Batavia dengan mudahnya digempur tanpa pengamanan?” tanya pembawa acara dengan nada yang tajam.

“Pertama, karena kami sedang memfokuskan pertahanan di Selat Sunda. Kedua, Batavia sudah disepakati bersama dengan negara-negara lain sebagai wilayah netral karena wilayah ini adalah pusat perdagangan tidak hanya untuk Jawa, tapi untuk seluruh kerajaan di kawasan Nusantara! Kami memang melihat adanya gerak-gerik mencurigakan dari armada mereka, namun kami sama sekali tak menyangka mereka akan melakukan serangan di tengah hari seperti ini. Kami sudah lengah, kami mengakui kesalahan ini.”

“Apa yang sudah bapak lakukan untuk menahan gempuran dari pihak musuh?”

“Saya sudah kerahkan semua pasukan, baik darat, udara, maupun laut untuk melancarkan serangan balik. Selain itu, kami juga mengevakuasi semua warga yang tinggal di sana. Saat ini, beberapa pasukan sudah bersiaga di sana. Batavia utara secara resmi telah dinyatakan sebagai daerah perang oleh Yang Mulia Raja.”

“Beberapa masyarakat bersembunyi di gedung-gedung terdekat seperti Hotel Alexa, apakah tindakan ini aman?”

“Tidak, karena hotel tersebut masuk ke dalam radius serangan kapal tempur milik lawan. Hanya tinggal menunggu waktu saja misil akan meluncur untuk menghancurkan bangunan tersebut.”

Di saat Kia sedang fokus mendengarkan televisi, terdengar suara pintu terbuka. Alice terlihat sangat pucat dan ketakutan. Sebaliknya, Kia yang tadi begitu tegang justru terlihat tenang sekarang.

“Kia, ayo kita pergi dari sini. Truk tentara sudah datang untuk menjemput. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum hancur.” kata Alice tergesa-gesa.

“Maaf Alice, aku di sini aja. Terima kasih ya, walaupun kita baru sebentar, aku tahu kamu orang baik.” jawab Kia.

Alice memandang tak percaya ke arah Kia. Gadis yang ada di hadapannya terlihat begitu berbeda dengan gadis yang ia temui tadi pagi. Dengan sedikit terpaksa, Alice segera keluar kamar dan menutup pintu. Setelah Alice pergi, Kia kembali menatap ke arah jendela. Ia bisa melihat beberapa pasukan darat telah datang untuk memberikan serangan balasan sekaligus mempertahankan daerah pantai yang kata bu Imah adalah pusat perdagangan kerajaan Jawa. Mungkin, karena itulah kerajaan Andalas mengincar pelabuhan ini demi melumpuhkan sektor ekonomi kerajaan Jawa. Kia banyak membaca buku sejarah tentang kerajaan, sehingga ia mengetahui beberapa taktik perang yang pernah digunakan. Pasti akan terasa asyik untuk mendiskusikannya dengan Yoga, seandainya laki-laki tersebut ada di sini.

Mengapa ia bisa setenang ini ketika maut begitu dekat dengannya? Jawabannya adalah karena ia sudah tidak memiliki tujuan hidup lagi. Ia telah membuang dunianya, lalu ia dibuang dari keluarga barunya yang amat ia sayangi. Daripada harus menjalani hidup yang hina seperti sekarang, mati adalah opsi yang lebih baik. Apalagi, ia akan mati di medan perang. Bukankah kematian seperti ini adalah kematian yang heroik, seperti yang ia baca dari buku-buku sejarah kegemarannya?

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kia yang sedang berada di jendela pun terkejut. Pasti bukan Alice yang sudah pergi dari sini. Lalu siapa? Apakah tamu yang harus ia layani? Tapi tidak mungkin, karena dalam kondisi darurat seperti ini tidak mungkin ada orang yang berpikiran seperti itu. Lantas, siapa? Jantung Kia kembali berdebar cepat. Dengan langkah perlahan, ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana, berdirilah sang kakek tua yang membuatnya berada di dunia ini.

“Ka…kakek…” ujar Kia lirih tak percaya. Air matanya kembali keluar, entah karena terkejut atau terlalu bahagia bertemu dengan seseorang yang dikenalnya.

“Ah Kia, apa kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa. Hampir satu tahun sejak kejadian di museum itu ya? Boleh kakek masuk?”

“Kakek, kenapa hidup Kia jadi seperti ini?” tanya Kia setelah mereka berdua duduk di dalam kamar, seolah tak mempedulikan berbagai suara bising yang ada di luar.

“Kamu menginginkan hidup yang ideal, dengan keluarga yang menyayangimu. Kamu sudah mendapatkan itu kan?”

“Iya kek, tapi kenapa sekarang Kia bisa ada di sini? Kia dipaksa menjual diri untuk melayani seseorang di ruangan ini.”

“Hahaha, kakek lah yang memesan ruangan ini agar bisa bertemu dengan kamu. Tenang, kakek sama sekali tidak akan berbuat jahat ke kamu. Ada yang ingin kakek sampaikan ke kamu. Petualanganmu akan segera berakhir Kia.”

“Apa kek? Apa maksudnya petualangan akan berakhir?”

“Satu-satu ya. Coba, kamu cerita bagaimana hidupmu di dunia ini.”

Maka dengan bersemangat Kia menceritakan semuanya mulai awal, bagaimana ia tiba-tiba berada di tengah sawah, lantas bertemu dengan pak Kusno dan tinggal bersama mereka. Ia bertemu dengan Yoga dan memulai kegiatan mengajar yang diberi nama Ruang Belajar. Lalu timbullah konflik antara dirinya dan beberapa anggota Karang Taruna hingga puncaknya ia harus diusir secara keji karena fitnah yang diarahkan kepadanya.

“Kamu sudah mengalami banyak kejadian yang tidak akan pernah terjadi di dunia aslimu, kan?”

“Iya kek.”

“Lantas, mana yang lebih kamu pilih, dunia aslimu atau dunia ini?”

Kia bingung menjawab pertanyaan tersebut. Jika disuruh memilih, tentu ia akan memilih hidup bersama keluarga pak Kusno tanpa adanya konflik yang menimpa dirinya seperti ini. Akan tetapi, Kia tahu jawaban seperti itu tidak akan diterima oleh sang kakek.

“Kia enggak tahu kek. Kia hanya ingin hidup tenang dan disayang oleh orang-orang yang berada di sekitar Kia.”

“Ah, begitu ya. Lalu, kira-kira pelajaran apa yang kamu dapatkan dari ceritamu tadi?”

“Banyak kek. Kia jadi paham bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ketika masih berada di dunia tempat Kia berasal, Kia mungkin berlimpah harta tapi miskin kasih sayang. Sebaliknya, ketika berada di sini, Kia berlimpah kasih sayang meskipun tidak punya uang. Kia benar-benar merasakan perbedaan itu.”

“Ada lagi?”

“Kia jadi sadar kalau Kia berbakat untuk mengajar. Kia ternyata suka berinteraksi dengan orang dengan berbagi ilmu yang dimiliki. Kia tak menyangka hal ini karena sebelumnya Kia sangat jarang berinteraksi dengan orang lain, termasuk teman sekelas. Di sini, Kia bertemu dengan banyak orang, ada yang baik tapi ada juga yang enggak suka sama Kia. Kia jadi belajar tentang watak orang yang bermacam-macam.”

“Ada lagi?”

“Rasanya masih banyak kek, tapi yang paling penting adalah dua hal itu. Jika masih berada di dunia asal Kia, pasti Kia tidak akan menyadari kedua hal tersebut.”

“Begitu ya, kalau begitu, sekarang kakek akan kasih kamu dua pilihan.”

“Apa kek?”

“Pilih salah satu, kamu ingin pulang ke dunia asalmu, atau tetap di tempat ini.”

Kia begitu terkejut mendengar ucapan kakek. Ketenangan menghadapi kematian yang sudah ia kumpulkan tadi tiba-tiba sirna. Ia melihat ada kesempatan untuk bertahan hidup.

“Aku bisa pulang ke duniaku?” tanya Kia.

“Bisa, semua tergantung keinginanmu Kia. Hidup ini adalah pilihan, dan terkadang kita harus memilih pilihan yang diberikan oleh orang lain. Waktumu untuk memilih tidak banyak nak, kakek akan segera pergi dari kamar ini. Jika kamu ingin tetap di dunia ini, maka berbaringlah di atas kasur dan tunggu gedung ini hancur tidak lama lagi. Jika kamu ingin tetap hidup dan kembali ke dunia asalmu, masuklah ke dalam cermin di lemari itu, sama seperti yang kamu lakukan dulu.” kata kakek sambil menunjuk cermin yang tadi sempat dilihat oleh Kia. Setelah mengucapkan hal tersebut, sang kakek berdiri dan memegang kepala Kia dengan lembut.

“Kakek meralat ucapan tadi, petualanganmu belum berakhir.”

Setelah itu, kakek tersebut melangkah keluar kamar. Kia yang sempat terpaku dalam duduknya segera mengejar sang kakek. Ketika Kia berada di luar kamar, sang kakek telah lenyap. Tidak ada satu manusia pun berada di lorong hotel tersebut. Ia kini sendirian, dihadapkan oleh dua pilihan yang harus ia tentukan segera. Kakek tersebut nampaknya tidak main-main dengan ucapannya, karena suara ledakan semakin keras terdengar. Gedung tersebut juga mulai berguncang karena terkena serangan.

“Astaga, mana yang harus aku pilih.”

Kia hilir mudik di kamar sambil menimbang-nimbang pilihan. Apakah kembali ke dunia aslinya adalah pilihan yang lebih baik daripada mati di sini? Apakah ia siap melupakan segala kenangan tentang keluarga pak Kusno dan kembali ke keluarga Labdajaya yang tidak menyayanginya? Apakah ia siap melupakan Karang Taruna dan kembali bertemu dengan teman-teman sekolahnya yang jahat?

Api mulai menjalar ke mana-mana. Hotel Alexa telah terbakar dan tak butuh waktu lama lagi untuk rubuh. Setelah melakukan berbagai pertimbangan di dalam pikirannya, Kia akhirnya memutuskan untuk kembali ke dunianya. Setidaknya, ia akan hidup dengan membawa berbagai kenangan indah di dunia ini. Itu sudah cukup sebagai modal hidupnya. Selama ada kenangan tersebut, Kia yakin ia akan bisa hidup seperti biasa dengan lebih bahagia.

Tapi, apa yang harus ia katakan kepada orangtuanya? Ia telah menghilang hampir satu tahun. Betapapun tidak pedulinya mereka kepada anaknya sendiri, hilang dalam waktu selama itu tentu akan membuat mereka khawatir. Tapi sudahlah, itu bisa ia pikirkan nanti. Yang harus ia lakukan sekarang adalah masuk ke dalam cermin tersebut.         Ia berusaha mengingat apa yang terjadi di museum waktu itu. Ia coba mengulangi peristiwa tersebut dengan mengganti apa yang ia inginkan sekarang.

“Aku ingin pulang, aku ingin pulang.”

Kia menutup mata, berusaha menembus cermin kamar hotel tersebut. Sama seperti sebelumnya, ia tak pernah menyentuh cermin tersebut. Ia telah pulang ke dunia asalnya, tanpa tahu apa yang sedang menunggunya di sana.

Fanandi's Choice

Exit mobile version