Distopia Bagi Kia
Bagian 25 Anak yang Hilang
“Dek, kamu enggak apa-apa?”
Samar-samar Kia mendengar suara tersebut. Dengan memegangi bagian samping kanan kepalanya, ia mencoba untuk membuka mata. Ternyata ia sedang berada di posisi seperti setelah jatuh tersungkur. Ia melihat ada seorang petugas museum di sebelah kirinya, seorang bapak-bapak berusia 40 tahunan. Hal tersebut terlihat dari pakaian yang ia kenakan, dengan sebuah tagname di saku sebelah kiri. Di sana tertulis Museum Sejarah Jakarta. Ia telah pulang ke dunianya.
“Maaf pak, saya kayaknya, eh, pingsan.” jawab Kia sambil berusaha bangkit dari posisinya. Ia melihat pakaian yang sedang ia kenakan. Seragam sekolah, sama seperti yang ia pakai ketika meninggalkan dunia ini. Waktu ia masuk ke dalam dunia cermin tersebut, tahu-tahu pakaiannya telah berubah sendiri. Hal yang sama terjadi lagi sekarang.
“Museum udah mau tutup, bapak lagi patroli. Tahu-tahu ngelihat kamu jatuh pingsan di tempat ini. Kamu bisa jalan sendiri?”
“Bisa pak, terima kasih.” kata Kia, ia bertumpu dengan kaki kanannya untuk bisa segera berdiri. Ia kibas-kibaskan tangannya untuk menghilangkan debu yang menempel di seragamnya. Ia masih berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan yang ia alami sekarang.
“Kalau boleh tahu, sekarang tanggal berapa pak? Saya agak lupa.”
Maka bapak tersebut menyebutkan suatu tanggal, yang ternyata tepat satu tahun setelah ia masuk ke dalam cermin antik yang ada di belakangnya. Setelah mendengar jawaban sang bapak, Kia menoleh ke belakang, memperhatikan pantulan bayangan dirinya di cermin. Ia terlihat sama sekali tidak berubah dibandingkan waktu itu. Sewaktu berada di dunia tersebut, ia sempat memotong pendek rambutnya agar lebih praktis. Sekarang, rambutnya telah terurai panjang seperti dulu lagi. Seolah-olah semua ini tidak pernah terjadi.
Setelah berterima kasih, Kia memutuskan untuk keluar dari museum dan berjalan di alun-alun Kota Tua. Tempat ini selalu ramai, ada yang datang bersama keluarga, bersama teman, bersama pacar, atau sendirian sama seperti dirinya. Ia mencari bangku yang bisa ia duduki untuk menenangkan diri sejenak sebelum pulang ke rumahnya. Langit mulai berwarna jingga, tak lama lagi gelap akan menghampiri Kia. Ia tak bisa mendeskripsikan perasaan yang ada di dalam hatinya sekarang. Senang dan sedih seolah tak berbatas sekarang. Ia merasa keputusan yang ia ambil ini hanya karena ia melihat ada kesempatan untuk memperbaiki hidupnya, berbekal kenangan selama kurang lebih satu tahun bersama keluarga pak Kusno.
Kia memeriksa tas ransel yang masih tertempel di pundaknya ketika dirinya kembali ke dunia ini. Ia sedang mencari dompetnya untuk ongkos pulang. Ada, ia menemukan dompetnya yang berwarna merah muda dengan sedikit motif emas di bagian sudut-sudutnya. Setelah dihitung, ia merasa uangnya cukup untuk perjalanan ke rumahnya. Jantungnya kini mulai berdebar dengan kencang. Ia belum menemukan penjelasan tentang hilangnya dirinya selama satu tahun ini. Mungkin ketika pulang, ia tidak akan bertemu dengan orang tuanya yang selalu sibuk. Setidaknya, hal tersebut meringankan dirinya.
Kia telah berulang kali meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Dengan mengepalkan tangannya, ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke pangkalan taksi untuk mengantarnya pulang.
***
Kia memandang tak percaya ke arah rumahnya. Setelah melalui perjalanan selama kurang lebih 30 menit, ia terkejut bukan main ketika melihat keadaan rumahnya yang terbengkalai. Benalu menjalar di dinding pagar rumahnya yang berwarna kusam. Padahal, papanya adalah tipikal orang yang selalu berusaha agar rumahnya terlihat indah. Rumah ini seolah sudah tidak dihuni selama bertahun-tahun. Hari sudah mulai gelap, tapi tak ada tanda bahwa rumah ini akan segera menyalakan saklar lampunya.
Kia mencoba untuk memanggil siapapun yang ada di dalam rumah. Ia menggedor-gedor pagar yang sebenarnya sangat berat, sehingga suara yang dihasilkan Kia terlalu pelan. Air matanya sudah mulai menggenang, pikirannya sudah mengembara ke mana-mana. Ia yakin ia tidak salah alamat, ini memang rumahnya. Tempat ia dibesarkan sejak kecil hingga sekarang. Pertama kali dalam hidupnya, ia melihat rumahnya dalam kondisi mengenaskan seperti ini.
“Siapapun, tolong bukakan pagarnya…” kata Kia putus asa sembari memegangi pagar yang tak bergeming sedikit pun.
Kia terduduk di depan rumahnya sendiri, tidak tahu harus berbuat apa. Banyak pertanyaan muncul di benaknya. Apakah orangtuanya memutuskan untuk pindah? Bagaimana dengan nasib orang-orang yang telah ikut dengan keluarganya selama ini? Apa yang sebenarnya terjadi selama ia hilang?
“Kamu lagi cari siapa?”
Kia menoleh ke arah suara. Dilihatnya seorang laki-laki berkumis tebal dengan kacamata menggantung di depan matanya. Ia sedang berada di atas sepeda motornya yang tampaknya baru saja dibeli. Setelah beberapa waktu, akhirnya ia menyadari bahwa orang yang mengajaknya bicara adalah pak Thomas, guru pianonya.
“Pak Thomas?”
“Jangan-jangan, kamu Kia anaknya pak Labdajaya?”
Bertemu dengan seseorang yang dikenalnya membuat Kia mengeluarkan tangis yang cukup deras. Ia belum tahu apa yang terjadi, tapi dari ekspresi yang ditunjukkan oleh pak Thomas membuatnya yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk terhadap keluarganya.
Pak Thomas sendiri nampak kebingungan melihat Kia seperti itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengajak Kia ke rumahnya. Setidaknya, di sana akan menjadi tempat yang lebih baik untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan muridnya yang satu ini. Kia menuruti ajakan tersebut karena ia tidak tahu lagi harus pergi ke mana.
***
Setelah meminum teh hangat yang dibuatkan oleh bu Thomas, Kia merasa lebih tenang. Ia tahu pak Thomas ingin segera bertanya kepada dirinya tentang ke mana ia selama ini. Hanya saja, pak Thomas tahu bahwa lebih baik menunggu dirinya bisa menguasai diri terlebih dahulu sebelum mulai melontarkan pertanyaan. Dengan hembusan napas panjang, Kia memutuskan bahwa dirinya lah yang akan memulai bertanya.
“Apa yang terjadi dengan rumah Kia, pak?”
Pak Thomas memandangi istrinya, merasa kebingungan menjawab pertanyaan ini. Istrinya pun terlihat tak kalah bingung dari suaminya. Lantas, mungkin karena mereka telah lama hidup satu atap, pak Thomas mengerti bahwa istrinya meminta dirinya saja yang menjelaskan semuanya kepada Kia.
“Sebelumnya bapak mau tanya ke kamu Kia. Kamu ke mana selama satu tahun ini? Tiba-tiba hilang begitu saja kayak ditelan Bumi.”
Kia tahu, mau tidak mau pertanyaan ini akan diajukan oleh siapapun yang ia kenal. Sejak tadi ia terus berpikir nanti, nanti, dan nanti untuk menyiapkan jawabannya. Hingga detik pertanyaan ini diajukan ke dirinya pun, ia belum menemukan alasan apa yang akan ia gunakan.
“Kia, Kia enggak ingat pak. Ketika udah sadar, tiba-tiba Kia udah ada di Kota Tua.”
Pak Thomas memutuskan untuk tidak mendesak Kia lebih jauh. Mungkin ia baru saja mengalami penculikan hingga membuatnya trauma. Banyak teori yang berkembang sejak Kia menghilang, mulai kasus jual beli anak, jual beli organ manusia, hingga penculikan oleh makhluk gaib. Pak Thomas jadi sedikit merinding, sehingga memutuskan untuk mengintip bagian kaki Kia. Syukurlah, kakinya masih menapak tanah.
“Jadi, sewaktu kamu hilang tiba-tiba, kondisi rumah langsung kacau balau Kia. Pak Labdajaya mendamprat semua orang yang bisa ia marahi. Ia melabrak pihak sekolah, ia mencari taksi mana yang katanya membawa dirimu pergi, hingga bertanya kepada teman-teman sekolahmu. Kata salah satu sopir taksi yang membawa dirimu, katanya kamu minta diantar ke kawasan Kota Tua. Di sana dilakukan investigasi kepada hampir semua orang yang bisa dimintai keterangan.
“Tentu saja pihak kepolisian juga dikerahkan untuk melakukan penyelidikan. Pak Labdajaya juga merekrut detektif internasional yang sudah punya reputasi mentereng. Bahkan, isunya pak Labdajaya sampai menggunakan bantuan dukun untuk menemukan dirimu. Yang jelas, segala upaya ia lakukan untuk menemukanmu Kia sampai bisnisnya terbengkalai. Berbagai acara dan janji yang sudah terjadwal selama ini dibatalkan semua.
“Hal ini dimanfaatkan oleh orang-orang dalam yang mengincar harta pak Labdajaya. Bapak sendiri kurang tahu gimana caranya, yang jelas papamu ditipu habis-habisan hingga semua asetnya berpindah tangan. Orang-orang yang ia percayai selama ini ternyata merupakan pengkhianat yang tak kenal rasa iba. Puncaknya…” pak Thomas memberikan jeda pada kalimatnya yang terakhir.
“Puncaknya, pak Labdajaya akhirnya menjadi kurang waras dan masuk ke rumah sakit jiwa.”
Ketika mendengar kabar tersebut, Kia seperti terkena serangan jantung. Ia tak percaya bahwa papanya akan melakukan hal-hal seperti itu demi dirinya. Ia tak pernah menyadari hal tersebut karena interaksi yang mereka jalani selama ini lebih mirip hubungan bos dan anak buahnya. Kia harus mengerjakan apa yang diperintahkan oleh papanya. Di balik kekerasan sikapnya, ternyata papanya mempedulikan dirinya sedemikian rupa. Sekali lagi, air mata keluar dari matanya.
Bu Thomas memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berusaha menenangkan Kia dengan mengelus pundaknya. Hanya ini yang bisa ia lakukan sekarang. Siapa yang tidak akan menangis mendengar cerita seperti itu? Ia tak terlalu mengenal keluarga Labdajaya, tapi ia tahu bahwa Kia adalah anak baik-baik.
“Kalau mama gimana pak?” tanya Kia dengan suara yang masih terbata-bata. Dari tadi, pak Thomas hanya bercerita tentang papanya. Ia belum mendengar satu kabar pun tentang mamanya.
“Bu Labdajaya sendiri tentu sedih bukan main ketika kamu menghilang. Hanya beberapa minggu setelah kamu hilang, eh…” pak Thomas tak kuasa melanjutkan kalimatnya.
“Bu Labdajaya meninggal dunia Kia,” bu Thomas melanjutkan kalimat suaminya, ”ia terus menyalahkan dirinya hingga hal tersebut menganggu kesehatannya. Ia berpikir bahwa kamu hilang karena ia tak melakukan tugasnya sebagai seorang ibu kurang baik. Ibu juga kurang tahu pasti apa penyebab meninggalnya.”
Tak ada air mata yang keluar dari mata Kia. Ia telah kehilangan kesadaran ketika mendengar kalimat bu Thomas barusan. Semuanya mendadak gelap, dan hati kecilnya berharap bahwa matanya tak akan terbuka lagi untuk selamanya.
***
Setelah membawa Kia yang pingsan ke kamar anak sulungnya, pak Thomas menemui istrinya yang sedang membersihkan ruang tamu. Jelas kejadian ini mengejutkan mereka berdua. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua anaknya tidak dijawab dengan jelas. Ia sendiri butuh waktu untuk mencerna apa saja yang baru terjadi. Masalah lain menggantung di pikirannya, ke mana Kia akan pergi setelah ini? Jelas ia tidak akan mampu menampung Kia di sini karena ia merasa tak akan mampu menafkahi jika bertambah satu anggota keluarga. Mungkin, menghubungi pihak keluarga Labdajaya yang masih hidup? Sepertinya hal tersebut juga sulit untuk dilakukan. Ia tak pernah tahu siapa saja keluaga Labdajaya yang masih hidup. Bahkan dari yang ia dengar, bapak dan ibu Labdajaya sama-sama anak tunggal.
“Apa aku menghubungi Budi saja, ya?” gumamnya teringat kepala asisten rumah tangga keluarga Labdajaya. Semenjak insiden hilangnya Kia, orang-orang yang selama ini ada di sana harus pergi tanpa kejelasan. Ada yang mencari pekerjaan di tempat lain, ada yang memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Ia sendiri tak ingat kapan terakhir kali menghubungi Budi. Selama ini, hubungan mereka hanya sebatas kolega kerja saja. Walaupun begitu, ia ingat masih menyimpan nomornya.
Kebimbangan yang dirasakan pak Thomas bisa dirasakan oleh istrinya. Oleh karena itu, ia menghampiri suaminya tersebut untuk menenangkannya.
“Udah pak, jangan terlalu dipikirin. Masalah Kia kita diskusikan besok aja. Sekarang yang penting anak itu pulih dulu dari kondisinya yang sekarang.”
“Iya, aku kepikiran gimana ke depannya. Kamu tahu kan enggak mungkin ia akan di sini terus, kondisi ekonomi kita pas-pasan.”
“Udah, kamu istirahat dulu aja sana. Besok kita pikirin bareng-bareng. Besok enggak ada jadwal ngajar, toh? Mungkin Kia akan minta diantar ke papa dan mamanya.”
“Iya, pasti Kia juga akan minta itu. Semoga besok kita menemukan jalan keluarnya, ya.”
Bu Thomas menganggukkan kepalanya. Mereka berdua telah kenal sejak SMA, sehingga tahu persis tentang satu sama lain. Suaminya adalah orang yang biasa-biasa saja, bukan tipikal orang yang menonjol. Sejak dulu, kegemarannya adalah bermain piano dan pernah meraih beberapa prestasi. Sayang, bakatnya tersebut tidak mampu membuatnya menjadi maestro terkenal. Ia hanya mampu menjadi guru honorer sebagai guru kesenian.
Ketika pak Labdajaya menawarinya menjadi guru privat anaknya, suaminya senang bukan kepalang. Darah seninya seolah kembali mengalir dengan deras melalui nadi-nadinya. Ia tak ingat apa alasan memilih suaminya untuk menjadi guru privat, yang jelas semenjak itu perekonomian keluarga mereka meningkat. Bahkan, suaminya sempat membeli mobil agar bisa mengajak anak-anaknya rekreasi. Sayang, setelah keluarga Labdajaya jatuh, perekonomian mereka pun ikut runtuh. Mobil yang masih dicicil tersebut akhirnya di over kreditkan ke orang lain. Mereka sedang mengalami masa-masa sulit akibat kejadian ini.
Kini, masalah baru muncul. Anak yang dikabarkan telah hilang selama ini ternyata muncul kembali. Kabar ini pasti akan segera tersebar dengan cepat. Para wartawan akan segera memburunya untuk mengulik informasi. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, selain berdoa agar semua baik-baik saja.