Distopia Bagi Kia

Bagian 28 Seandainya Saja

Published

on

Berkat Yoga, Kia bisa menjadi sedikit lebih dekat dengan Aqila. Gadis kecil tersebut tidak lagi menghindari Kia. Kalaupun dipanggil, ia akan menghampiri Kia tanpa merasa takut seperti yang dulu ia tunjukkan. Kia merasa senang dengan perkembangan ini, walaupun ikatan yang ada sekarang belum sekuat dengan ikatannya dengan Qila dulu. Kia maklum, bagaimanapun ia belum lama kenal dengan Aqila.

Di suatu sore yang cerah, seperti biasa Kia sedang menyibukkan diri di taman. Beberapa hari yang lalu, Kia mengusulkan agar panti asuhan memiliki lahan khusus untuk tanaman toga. Dengan demikian, panti bisa memiliki banyak stok bahan herbal untuk mengobati anak-anak yang sakit. Usulan tersebut langsung disetujui oleh semua pengurus panti dan sekarang Kia sedang menanam bibit-bibitnya, dibantu beberapa staf dan anak-anak panti yang juga ikut bersemangat.

Kia sedang menanam bibit sambiloto ketika Aqila secara tiba-tiba muncul di sebelah kanannya.

“Itu tanaman apa kak?”

Kia terkejut mendengar suara Aqila karena sedang berada dalam kondisi fokus. Diawali dengan terkikih ringan, Kia pun mulai menjelaskan tanaman yang barusan ia tanam.

“Ini namanya sambiloto Aqila. Tanaman ini punya banyak manfaat buat kamu, loh.” jawab Kia dengan nada ceria.

“Oh iya? Apa contohnya?”

“Misalnya badanmu lagi demam, dengan tanaman ini bisa bantu nurunin panasmu. Selain itu, tanaman ini bisa juga jadi obat sakit perut seperti kembung.”

“Hooo begitu. Aqila boleh bantu?”

“Boleh dong, sini sini.”

Maka Kia menuntun Aqila dengan telaten untuk melakukan apa yang harus dilakukan setelah bibit tertanam. Aqila pun menuruti setiap perkataan Kia dengan baik untuk ukuran anak seusianya. Sore itu, mereka berdua menghabiskan waktu berkualitas bersama yang membuat Kia terus tersenyum.

***

Malamnya, Kia kebagian jadwal patroli untuk mengecek apakah anak-anak di dalam panti sudah berada di tempat tidurnya masing-masing. Ini merupakan salah satu aktivitas favorit Kia karena membuatnya bisa melihat wajah-wajah polos yang sedang terlelap. Entah sejak kapan, Kia jadi suka dengan anak kecil. Jelas, pengalaman hidup satu tahun di dunia cermin tersebut memberikan andil yang besar untuk perubahan ini.

Saat masuk ke dalam ruangan Aqila, Kia kaget karena tidak menemukan anak tersebut di tempat tidurnya. Padahal, teman-teman sekamar Aqila sudah berpetualang ke alam mimpi. Tidak ingin membuat keributan, Kia segera mencari Aqila di sekitar panti.

Yang dicari ternyata sedang duduk sendirian di salah satu bagian bangunan panti yang menghadap taman. Aqila nampak termenung sembari menatap tanaman toga yang baru saja ia tanam tadi sore bersama Kia. Melihat itu, Kia menghampiri Aqila dengan tenang. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Aqila.

“Kok belum bobok?” tanya Kia setelah duduk di sebelah Aqila.

“Enggak bisa tidur kak.” jawab Aqila lirih.

“Kenapa? Sedang kepikiran sesuatu? Coba sini cerita sama kakak.”

Aqila memain-mainkan kakinya, menunjukkan kebimbangan yang ada di dalam pikirannya. Kia dengan sabar menanti hingga anak tersebut berkenan untuk buka suara.

“Aqila tiba-tiba ingin tahu kak, kenapa Aqila bisa ada di sini. Kalau sedang pergi keluar buat beli jajan, Aqila lihat ada anak-anak yang seumuran sedang makan sama papa dan mamanya. Awalnya Aqila enggak mikirin itu, tapi makin lama Aqila jadi kepikiran.”

Kalimat tersebut membuat Kia terdiam seribu bahasa. Ia tak menyangka anak seusai Aqila sudah memikirkan hal tersebut. Kia pernah mendengar tentang kisah bagaimana Aqila bisa berakhir di panti asuhan ini dari bu Lidia. Mama dari Aqila hamil di luar nikah, dan ia tidak tega untuk membuang anaknya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menitipkan anak itu di panti ini karena merasa tak mampu menafkahi Aqila. Hingga hari ini, Aqila belum pernah tahu cerita ini. Kia pun merasa kebingungan bagaimana harus merespon Aqila.

“Tapi kan di sini Aqila punya kakak, punya temen-temen yang lain.” jawab Kia pada akhirnya.

“Iya sih kak, apalagi kak Kia juga baik banget ke Aqila. Tapi Aqila juga ingin merasakan kasih sayang orangtua. Padahal, Aqila enggak masalah punya orangtua yang sibuk ataupun pemarah, itu lebih baik daripada enggak tahu siapa orangtua Aqila.”

Kalimat tersebut diucapkan secara perlahan, namun sangat menusuk perasaan Kia. Ia selama ini selalu mengeluhkan orangtuanya yang sibuk dan tak punya waktu untuk dirinya. Ia selalu merasa tersiksa akibat ayahnya yang suka memaksakan kehendaknya. Ia tak pernah memikirkan bagaimana seandainya ia tak punya orangtua seperti sekarang, seperti yang Aqila alami selama ini. Ia benar-benar anak yang tak pandai bersyukur. Merenungi hal tersebut, air mata Kia justru tumpah dan membuat Aqila terkejut.

“Kak, kenapa nangis?”

Butuh beberapa waktu yang tidak sebentar bagi Kia untuk bisa menenangkan dirinya. Ia menghapus air matanya dengan pergelangan tangannya. Setelah beberapa tarikan napas, Kia mulai bercerita ke Aqila.

“Kakak dulu punya orangtua yang sangat sibuk. Kami bertemu mungkin hanya satu bulan sekali. Mama sebenarnya sangat sayang sama kakak, hanya saja kewajiban bekerja membuat ia tak punya banyak waktu untuk kakak. Papa kakak sangat keras. Kakak harus menuruti semua keinginannya walaupun bertentangan dengan keinginan kakak sendiri. Sekarang kakak sadar, sebenarnya papa seperti itu hanya karena menginginkan yang terbaik untuk kakak.

“Akhirnya karena sudah tidak tahan, kakak memutuskan untuk pergi dari rumah selama satu tahun. Setelah itu, kakak pulang dan mendapati mama telah meninggal. Papa masih hidup, tapi kehilangan kewarasan dan masuk ke rumah sakit jiwa. Karena itu sekarang kakak tinggal di panti asuhan ini. Kakak benar-benar menyesali perbuatan kakak dulu.

“Di sini, kakak jadi merasa telah menjadi anak yang buruk. Kakak selalu mengeluhkan masalah orangtua ketika anak-anak di sini justru tak pernah tahu rasanya punya orangtua. Hidup kakak sekarang penuh dengan penyesalan. Maka dari itu, kakak memutuskan harus bisa jadi orang yang bermanfaat di sini. Kakak harus menebus kesalahan kakak ke orangtua kakak.”

Mendengar cerita Kia membuat Aqila ikut menangis. Kia yang melihat Aqila menangis pun jadi ikut kembali menangis. Di dekat mereka, bu Lidia sedang mengamati mereka berdua. Tanpa disadari, sejak tadi bu Lidia menyimak percakapan mereka berdua. Mendengar mereka berdua mulai menangis bersamaan, ia memutuskan untuk menghampiri mereka berdua.

“Loh, Kia dan Aqila kok belum tidur?” tanya bu Lidia secara tiba-tiba dan membuat mereka berdua terkejut.

“Eh, ibu.” Kia kebingungan untuk segera menguasai diri dan mengusap air matanya secara tergesa-gesa. Aqila masih belum bisa berhenti menangis.

“Ayo, segera masuk ke kamar masing-masing, sudah malam. Besok bangunnya kesiangan loh.”

“Baik bu.”

“Tolong antar Aqila ke kamarnya ya.”

Maka, Kia pun menggandeng Aqila dan membawanya ke kamar. Bu Lidia mengamati mereka berdua dari belakang dengan penuh kasih sayang. Kehidupan di panti memang tidak mudah. Mau tidak mau, anak-anak di sini akan berpikir kenapa mereka tidak pernah melihat orangtua mereka seperti anak lain, walaupun harus diakui Aqila tergolong sangat cepat menyadari hal tersebut. Ia, yang juga merupakan anak yatim piatu sejak kecil, sudah lama bertekad untuk bisa menyediakan rumah yang layak bagi anak-anak yang bernasib sama dengan dirinya. Karena itulah panti asuhan Harapan Bunda ini ia bangun dengan banyak bantuan orang lain, termasuk keluarga Labdajaya.

***

Setelah mengantar Aqila ke kamarnya, Kia menuju kamarnya sendiri. Teman satu kamarnya sudah terlelap dengan posisi tidur yang aneh luar biasa. Jika dilihat-lihat, posisinya mirip dengan simbol-simbol yang ada di piramida. Selimutnya sendiri sudah terjatuh ke lantai, bersama dengan guling dan bantal. Kia memungut barang-barang tersebut dan menyelimutinya. Setelah itu, ia naik ke atas tempat tidurnya sendiri.

Kia tidak langsung tidur. Ia mengambil posisi duduk dan memeluk lututnya sendiri. Percakapan dengan Aqila malam ini mau tidak mau membuat dirinya merenungi segala hal yang sudah ia alami selama ini. Ia berbicara sendiri di dalam hatinya.

“Seharusnya, aku lebih banyak bersyukur karena masih punya orangtua yang masih lengkap walaupun jarang berkumpul dengan mereka. Aku sama sekali tidak pernah berpikir bagaimana seandainya aku tidak pernah punya orangtua, apalagi orangtua yang kaya dan mampu memberikan segala kebutuhanku dengan mudah.

“Padahal, aku tinggal di rumah yang begitu nyaman, sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Setelah mendengar cerita Lia yang rumahnya digusur, aku jadi semakin malu dengan diriku sendiri. Mau hidup selama apapun, rumah besar milik keluarga Labdajaya tersebut tidak akan digusur secara tiba-tiba. Entah berapa keluarga yang bisa ditampung oleh rumahku itu.

“Aku selalu merasa sendirian di rumah tersebut, padahal aku dikelilingi oleh orang-orang yang dengan sigap membantu diriku. Ada pak Teguh yang dengan setia selalu mau mengantarku ke mana pun selama mendapatkan izin dari papa. Ada pak Budi yang selalu sigap menyiapkan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga. Ada pak Thomas yang dengan telaten mengajarkan piano. Masih banyak orang-orang lain yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku. Hanya saja, aku tak pernah memperhatikan hal tersebut, sebelum kehilangan semuanya.

“Aku sekolah di salah satu tempat terbaik untuk belajar. Aku bisa belajar dengan baik, tapi aku sama sekali tidak punya teman. Padahal, harusnya aku bisa menjalin hubungan pertemanan sebanyak-banyaknya untuk menutupi kesepianku ditinggal orangtua bekerja. Dengan menghabiskan waktu bersama-sama dengan teman, aku tidak akan merasa sendirian. Tapi yang kulakukan justru menutup diri dari orang lain. Aku sering mengucilkan diriku sendiri. Pada akhirnya, aku jadi dimanfaatkan oleh teman-teman yang kurang baik.”

Akan tetapi, jika Kia tidak pernah mengambil keputusan untuk kabur dari rumah dan masuk ke dunia cermin tersebut, ia tidak akan pernah menyadari hal ini. Bisa jadi, untuk selamanya ia akan menjadi orang yang selalu mengeluh dan tidak pernah mensyukuri yang ia miliki. Selain itu, ia mendapatkan banyak pelajaran selama berada di dalam dunia cermin.

“Setelah masuk ke dunia itu, aku bertemu dengan banyak orang baik seperti pak Kusno, bu Imah, dan Qila. Di sebuah kampung yang sederhana itu, aku bisa merasakan kehangatan keluarga. Walaupun secara ekonomi kurang, mereka selalu terlihat bahagia dan penuh syukur. Selama aku berada di sana, sangat jarang aku mendengar pak Kusno dan bu Imah berkeluh kesah di tengah himpitan ekonomi yang bertambah sejak kedatangaku. Secara logika, mereka tidak akan pernah mau menerimaku karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja susahnya bukan main. Akan tetapi, dengan ikhlas mereka sekeluarga menerima aku dengan tangan terbuka.

“Selain itu, aku juga bertemu dengan Yoga dan anak-anak Karang Taruna. Di organisasi itulah, untuk pertama kali aku merasakan bagaimana rasanya memiliki teman. Aku yang anti sosial sejak kecil ternyata bisa nyaman berkumpul dengan orang-orang yang belum terlalu dekat. Tidak ada yang benar-benar dekat, akan tetapi aku merasa puas dengan itu. Setidaknya, mereka mau menerima aku yang notabene anak baru di sana. Yoga juga sangat baik denganku, membantu apapun yang aku butuhkan.

“Aku juga menemukan bakat mengajarku di sana. Sebagai orang yang jarang berinteraksi dengan orang lain, hal tersebut sangat mengejutkanku. Melihat orang yang diajar memahami apa yang kita sampaikan benar-benar menimbulkan kebahagiaan tersendiri untukku. Terkadang memang ada orang-orang yang terlihat ogah-ogahan belajar, tapi hal tersebut justru semakin membuatku bersemangat untuk meningkatkan keinginan belajar mereka.

“Di dunia tersebut, untuk pertama kalinya aku juga mengalami sebuah konflik yang sangat berat. Bagaimana tidak, aku difitnah sedemikian rupa sehingga diusir dari kampung itu. Hingga saat ini, aku tidak tahu siapa dalang di balik pengusiran tersebut. Mungkin ada orang-orang yang merasa bahaya dengan kehadiranku, tapi apa? Hingga saat ini, aku tidak tahu alasan mengapa ada orang yang ingin menyingkirkanku.

“Lantas, aku hampir menjadi wanita hina ketika dibawa ke hotel tersebut. Aku waktu itu hampir putus asa hingga terbesit pikiran untuk bunuh diri. Untunglah, perang dan kedatangan kakek menyelamatkanku. Aku diberi kesempatan untuk pulang ke duniaku sendiri melalui medium yang sama, cermin. Akan tetapi, apa yang menantiku di sana benar-benar berbeda. Mamaku meninggal karena kehilangan aku, papa juga jadi gila. Untung ada pak Thomas yang mau menolongku dan akhirnya aku berada di panti asuhan ini.”

Air mata Kia kembali tumpah. Ia memutuskan untuk berbaring di atas tempat tidurnya dengan harapan mampu meredakan tangisnya. Ia tak ingin membangunkan Lia yang sudah sangat pulas tidurnya.

“Seandainya saja, aku memiliki kesempatan untuk memulai ulang semuanya, aku berjanji untuk mengubah kesalahan-kesalahan yang sudah aku perbuat. Seandainya saja ada peluang untuk memperbaiki apa yang telah terjadi, aku bersedia melakukannya apapun harganya. Seandainya saja…”

Kia terus berandai-andai hingga dirinya terlelap karena beban mental yang membebani pikirannya. Keinginannya tersebut benar-benar diucapkan dengan sepenuh hati, begitu kuat hingga akhirnya membuat keajaiban keesokan harinya.

Fanandi's Choice

Exit mobile version