Distopia Bagi Kia
Bagian 8 Kota Tua, Sekali Lagi
Kia hanya absen satu hari, meskipun sebenarnya ia ingin lebih lama untuk tidak masuk ke sekolah. Ia merasa sedikit khawatir dirinya akan menjadi sasaran kemarahan kelompok tugas sejarahnya. Setelah berdebat dengan dirinya sendiri cukup lama, ia memutuskan untuk tetap masuk ke sekolah, apapun risikonya. Paling ia hanya didamprat oleh Melissa dan kawan-kawannya.
Maka pagi itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Kia berangkat sekolah diantar bukan oleh pak Tejo. Meskipun berbeda supir, rutinitas yang ia lakukan di dalam mobil tidak berubah. Ia tetap menonton acara binatang sambil membayangkan bahagianya hidup dengan bebas. Akan tetapi, kali ini bayangannya tersebut dibantah oleh dirinya sendiri.
“Bukankah satu minggu lalu ada kesempatan untuk bebas?”
Bukan, itu hanya fantasi seorang kakek tua yang kurang waras, Kia menjawab pertanyaannya sendiri di dalam hati. Entah mengapa meskipun dirinya sudah membantah berulang-ulang bahwa keajaiban seperti itu tidak mungkin terjadi, tetap saja tersimpan angan-angan seandainya hal itu benar-benar terjadi. Jika memang yang dikatakan kakek itu benar, apakah dirinya benar-benar bisa menjumpai kebahagiaan yang sebenarnya?
“Seandainya waktu itu aku mencoba untuk masuk ke dalam cermin, apa yang akan terjadi?”
Kia kembali teringat mimpi buruknya beberapa hari yang lalu, ketika ia berada di ruang putih yang hampa. Tentu bukan kebebasan seperti itu yang ia harapkan. Ia hanya menginginkan kebebasan yang membuatnya bisa menentukan apa yang ia inginkan. Ia mendambakan kebebasan yang bisa membuatnya merasa menjadi seorang manusia, bukan sekedar robot yang baru bergerak apabila diberi perintah. Sesederhana itu kebahagiaan yang ingin Kia rasakan, namun hampir terasa mustahil untuk direalisasikan pada kehidupan nyata.
Lamunan Kia terpecah ketika pak Iman memanggil namanya berkali-kali. Mereka telah sampai di sekolah. Setelah mengucapkan terima kasih, Kia melangkahkan kakinya menuju kelasnya, tanpa tahu apa yang sedang menantinya di sana.
***
Begitu berada di ambang pintu kelasnya, Kia sudah merasakan hawa yang kurang enak sedang mengelilingi dirinya. Tatapan mata penuh kesinisan sedang diarahkan kepadanya, membuat Kia merasa terancam. Sayang, Kia bukan tipe orang yang pemberani, sehingga ia tidak bertanya mengapa teman-teman sekelasnya seperti itu. Ia menundukkan kepala dan berjalan menuju bangkunya. Selang beberapa saat, Kia memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Ternyata teman-teman kelasnya masih memandangi dirinya, dan langsung membuang wajah ketika tindakan mereka diketahui oleh Kia. Ia tidak tahu kesalahan apa yang sudah ia lakukan sehingga ia mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan di pagi hari.
Ketika waktu istirahat tiba, Kia berniat untuk menyerahkan tugas sejarahnya ke Melissa. Meskipun terlambat satu hari, ia berharap guru sejarahnya memaklumi keterlambatan tersebut karena dirinya sakit. Tatapan yang ia terima di pagi hari sedikit membuatnya ragu, namun ia berhasil membulatkan tekad. Dengan mengepalkan tangan untuk meredakan ketegangannya, Kia berjalan menuju bangku Melissa yang sedang bergosip bersama dua sahabatnya, Cindy dan Enza.
“Teman-teman, maaf aku kemarin mendadak sakit, ini tugas kelompok sejarahnya sudah selesai, ayo kita antar ke guru.”
Satu kalimat dari bibir Kia dijawab dengan pandangan mata yang begitu merendahkan. Apalagi Melissa, tatapan matanya seolah menyiratkan bahwa Kia tidak pantas berbicara dengan wanita high-class seperti dirinya.
“Enggak perlu Zas, udah telat. Kita bertiga kemarin udah kena marah guru gara-gara elu bolos. Lu sengaja kan biar kita bertiga kena marah?” ujar Melissa dengan nada suara yang perlahan mulai meninggi.
“Enggak Mel, beneran, aku enggak ada niatan gitu. Aku beneran sakit.” sakit hati melihat kepergian pak Tejo, batin Kia.
“Halah enggak usah banyak bacot deh lu, lihat aja sekarang, buktinya lu sehat. Gue kira kita temen Zas, nyesel gue satu kelompok sam lu.” Melissa kini sudah memunggungi Kia, berusaha mengabaikannya.
“Ta…tapi…”
“Diem lu Zas! Kita tahu lu iri sama kepopuleran kita bertiga. Lu mau ngerusak reputasi kita kan? Lu yang enggak punya temen satu pun pasti iri ngelihat kita bertiga bisa punya banyak temen. Ngaku aja lu!” kini Cindy yang berbicara, tidak kalah pedas dari Mellisa.”
“Enggak, sumpah aku enggak ada maksud kayak gitu, aku enggak peduli sama hal-hal begitu.”
“Lu bedeg ya, disuruh diem malah ngomong terus.” Enza yang dari tadi sibuk dengan cerminnya ikut angkat suara.
Kia memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan. Percuma, semakin ia berusaha memperbaiki situasi, semakin runyam masalahnya. Teman-teman yang lain pun hanya diam mengamati, tanpa ada satupun yang berusaha membela Kia. Bagaimana tidak, ketika Kia tidak masuk sekolah kemarin, Mellisa, Cindy, dan Enza kena marah oleh guru mereka. Saat mereka mengatakan tidak bisa mengumpulkan tugas karena Kia tidak masuk, guru tersebut memberi mereka pertanyaan seputar tugas yang telah dikerjakan oleh mereka. Karena tidak bisa menjawab satu pertanyaan pun, mereka bertiga mendapatkan hukuman mengerjakan esai sebanyak masing-masing lima lembar.
Karena dendam, mereka bertiga, terutama Melissa, mulai menyebar fitnah tentang Kia kepada teman-teman lainnya. Mereka bercerita bagaimana Kia sengaja bolos hanya demi merusak reputasi mereka. Mereka menghasut teman-temannya dengan lihai sehingga hampir semua terpengaruh. Itulah mengapa Kia mendapatkan tatapan sinis sewaktu ia memasuki kelas hari ini. Melissa telah berhasil menanamkan pikiran bahwa Kia adalah seorang yang penuh dengan kedengkian di balik sifat penyendirinya.
Melihat Kia berdiri dalam diam, Melissa merebut tugas yang telah dikerjakan oleh Kia susah payah sendirian dan menyobeknya berkali-kali. Kia begitu terkejut melihat tindakan yang dilakukan oleh Melissa sehingga tak sempat menyegah Melissa untuk melakukannya. Ia hanya bisa menutup mulutnya, menahan agar air matanya tidak tumpah. Mereka bertiga begitu kejam, begitu sadis kepada dirinya. Padahal, dirinya tidak pernah berbuat jahat kepada mereka. Bukankah selama ini mereka sering dibantu oleh Kia ketika ada tugas kelompok? Kenapa segala kebaikan tersebut lenyap hanya karena satu kesalahan kecil?
Kia langsung teringat pak Tejo yang dipecat oleh papanya hanya karena satu kesalahan juga. Semua ini tidak adil, batin Kia. Terlalu banyak kejadian yang tidak adil terjadi pada dirinya. Segala penderitaan yang ia alami bisa terjadi karena selama ini ia memilih untuk pasrah. Ia sadar tidak bisa terus menerus pasrah diperlakukan semena-mena seperti ini. Keberaniannya muncul secara mendadak, didorong oleh kesedihan yang beralih menjadi kemarahan setelah tersimpan selama bertahun-tahun.
“Bahkan kalian sama sekali tidak pernah bertanya tentang progres tugasnya kan? Kalian semua hanya menyuruhku mengerjakan tugas kelompok itu sendirian, dan kalian menyalahkanku hanya karena aku tidak masuk karena sakit? Dan sekarang kalian menyobek tugas kelompok yang sudah aku kerjakan SENDIRI tanpa berusaha menyerahkan tugas tersebut ke guru? Aku udah muak sama kalian bertiga yang selalu egois dan cuma memikirkan diri sendiri!”
Suasana kelas hening seketika ketika Kia melontarkan kalimat-kalimat tersebut dengan penuh emosi. Untuk pertama kalinya, teman sekelas Kia melihatnya seperti ini, mengeluarkan isi hatinya dengan lantang. Kia yang selama ini selalu diam dan menyendiri, ternyata bisa juga marah. Melissa dan kedua kawannya pun sedikit salah tingkah karena keburukan mereka selama ini dibongkar oleh Kia. Untuk menghindari semakin memburuknya reputasi dirinya, ia memegang pundak Kia dan memberikannya senyuman.
“Maaf ya Kia, gue sedikit emosi tadi. Kita ngobrol di tempat lain yuk, enggak enak didenger sama yang lain.”
Kia, yang sebenarnya juga terkejut mendengar kalimatnya sendiri, hanya mengangguk perlahan menuruti kata Melissa, seolah kata-katanya mengandung hipnotis. Maka mereka berempat pun keluar kelas. Kia tidak tahu ia akan dibawa ke mana, hingga akhirnya mereka berbelok ke dalam kamar mandi.
Begitu mereka masuk, setelah Enza mengunci pintu kamar mandi, sebuah tamparan mendarat di pipi Kia dengan begitu kerasnya sehingga ia terjatuh di lantai. Tidak hanya sampai di situ, rambutnya dijambak dengan keras oleh Cindy. Kia tidak bisa berteriak karena mulutnya ditahan oleh Melissa.
“Gue udah lama nahan ini hanya karena lu sangat berguna buat gue. Hari ini, gue udah enggak bisa tahan lagi. Gue udah lama benci sama lu yang sok polos, sok keren, sok pinter. Lu udah mempermalukan gue di depan guru dan temen-teman. Sekarang rasain akibatnya, dan awas kalau lu sampai lapor ke guru.”
Maka, beberapa detik setelah itu, Kia mengalami penyiksaan paling buruk seumur hidupnya. Mereka bertiga dengan cerdik melakukan penyiksaan yang membuat bekas luka tidak akan terlihat secara kasat mata. Kia mencoba memberontak sekuat mungkin, namun apa daya lawannya tiga orang yang secara fisik lebih kuat darinya. Kia bahkan sampai berharap, semoga ajal menjemputnya sehingga ia tidak perlu hidup di dunia yang seperti ini, tidak di distopia seperti sekarang.
***
Ketika sadar, Kia merasa kepalanya sangat sakit. Ia berusaha mengumpulkan tenaganya untuk sekadar memahami dirinya sedang berada di mana. Nampaknya ia sedang berada di UKS sekolahnya. Mungkin, setelah puas menganiaya, Melissa dan teman-temannya membawa dirinya ke UKS karena pingsan. Tentu, dengan sedikit sandiwara sehingga mereka tidak dicurigai.
“Ah, kamu sudah sadar ya? Tadi teman-temanmu yang bawa kamu ke sini, kata mereka kamu tiba-tiba pingsan di kamar mandi.” kata penjaga UKS yang dari tadi sedang sibuk menulis di mejanya.
“Iya, terima kasih.” hanya itu yang terucap dari bibir Kia.
“Kamu kemarin enggak masuk kan? Mungkin kamu belum sembuh benar. Mau saya teleponkan supirmu supaya kamu dijemput?”
Muncullah sebuah ide di kepala Kia, ide untuk membuatnya terlepas dari semua ini.
“Enggak usah bu, Kia naik taksi aja. Tolong pesankan taksi aja bu kalau boleh.”
“Oh gitu, oke tunggu sebentar ya.”
Setelah menelepon taksi dan mengambil barang-barang Kia di kelas, penjaga UKS tersebut mengiringi Kia ke gerbang sekolah. Kia berusaha terlihat tenang meskipun jantungnya berdebar dengan keras. Ini adalah satu-satunya kesempatan untuk bisa mendapatkan kebebasannya. Ini adalah pertama kali ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan yang sangat berisiko. Sudah tidak ada jalan untuk kembali lagi.
“Jadi rumahnya di mana dek?” tanya supir sewaktu Kia sudah masuk ke dalam taksi.
“Turun di kawasan Kota Tua aja pak, rumah saya dekat sana.”
Maka melajulah taksi tersebut melintasi keramaian Jakarta. Kia sama sekali tidak memperhatikan jalan, seperti yang biasa ia lakukan jika bosan menonton televisi di mobil. Pikirannya sibuk memikirkan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Ketika sang supir berusaha membuka percakapan, Kia menjawabnya dengan pendek sehingga pembicaraan tidak berlanjut. Kia tidak sedang ingin diganggu, ia sedang konsentrasi menenangkan dirinya.
Kia minta diturunkan di stasiun Jakarta Kota. Walaupun sempat ditolak oleh supir karena ingin mengantar Kia sampai depan rumah, Kia bersikeras berhenti di stasiun. Setelah membayar ongkos taksi ditambah uang tip yang tidak sedikit, Kia segera berjalan menuju museum di mana cermin antik berada. Ia menggantungkan asanya kepada benda mati. Penderitaannya telah membuat ia memutuskan untuk melawan logika dan berharap keajaiban tersebut benar-benar ada.
“Satu jam lagi museum tutup ya dek.” kata penjaga museum ketika Kia membayar uang tiket. Kia hanya mengangguk tak peduli, lantas sedikit berlari menuju lantai dua. Ia kembali ke ruangan itu, ruangan di mana ia bertemu dengan kakek tua. Sore itu museum sepi, tidak ada pengunjung lain, sehingga Kia tidak merasa canggung ketika ia berada di depan cermin antik yang sama. Dengan tangan bergetar, ia mencoba untuk menyentuh cermin tersebut.
Keras. Tangannya menyentuh benda padat yang tidak bisa ditembus. Ternyata memang tidak mungkin. Kia merasa dirinya sudah sedikit sinting karena berusaha mempercayai omong kosong dari sang kakek. Ia terduduk di depan cermin, tangisnya pecah. Kia merasa begitu bodoh. Untuk apa ia jauh-jauh kemari untuk mencoba suatu hal yang ia ketahui mustahil? Kia memaki dirinya sendiri dalam hati, mengutuk kebodohannya seorang diri.
“Jangan menangis nak, harapanmu belum musnah.”
Kia mengangkat kepalanya. Di sampingnya, telah berdiri sang kakek tua yang menyunggingkan senyum tulusnya. Kia berusaha menguasai diri dan berdiri.
“Kata kakek Kia bisa pergi ke dunia lain yang membuat Kia bahagia lewat cermin ini. Tapi barusan Kia coba enggak bisa.” protes Kia kepada kakek tersebut.
“Itu karena kamu belum benar-benar yakin akan keinginanmu sendiri nak. Coba konsentrasi, fokuskan pikiranmu terhadap apa yang kamu dambakan. Tenangkan dirimu, hembuskan nafas perlahan-lahan.
Kia menuruti perkataan sang kakek. Ia menenangkan diri, menarik nafas panjang sembari membayangkan kehidupan yang ia inginkan. Ia berusaha keras mendefinisikan kebahagiaan yang ia dambakan sejak lama. Ia menambahkan keyakinan bahwa ia tidak ingin hidup di dunianya yang sekarang. Akan tetapi, mimpi buruknya melintas lagi di pikirannya.
“Aku enggak mau hidup di tempat yang enggak ada apa-apanya kek.” kata Kia membuyarkan konsentrasinya sendiri.
“Maka jangan pikirkan hal itu. Cukup fokuskan pikiranmu, apa yang sebenarnya kamu inginkan dalam hidupmu.”
Kia mencoba sekali lagi. Dengan mata terpejam, ia berjalan maju, berusaha menyentuh cermin tersebut. Terus ia rentangkan tangannya untuk menemukan cermin antik yang ada di hadapannya tadi. Jemarinya tidak pernah menyentuh cermin itu. Kia telah berhasil masuk ke dunia yang benar-benar berbeda dari kehidupannya sekarang.
You must be logged in to post a comment Login