Leon dan Kenji (Buku 1)

Chapter 25 Album Keluarga

Published

on

Melihat album keluarga Kenji membuatku ingin membuka album keluargaku. Itupun kalau di rumah ada. Pertama, aku mencoba untuk mencari di ruang keluarga, hasilnya nihil. Di ruang tamu, nihil juga. Di kamarku dan kamar Gisel juga tidak ketemu. Karena itu, aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah lama tidak aku buka. Ruangan yang selama ini aku tutup untuk membuang segala memori buruk. Aku akan membuka bekas kamar orangtuaku.

Bukan ruangan penuh debu yang aku temukan, melainkan ruangan yang begitu rapi. Mungkin ketika Gisel membersihkan rumah, ia juga membersihkan ruangan ini. Aku pun menjadi heran, bagaimana seorang anak kecil bisa menyapu dan mengepel? Terlalu banyak yang aku lewatkan selama tiga tahun. Tunggu, berarti Gisel sudah mulai memasak dan lainnya mulai usia 6 tahun? Selain itu, artinya sudah tiga tahun Gisel menerima perlakuan burukku? Banyaknya pertanyaan yang tak terjawab membuat aku mengurungkan niatku untuk mencari album keluargaku, karena aku ingin mendapatkan jawaban Gisel terlebih dahulu untuk pertanyaan-pertanyaanku.

“Gisel, kau masih bangun?” tanyaku ketika memasuki kamarnya.

“Masih kok kak, kenapa?” jawabnya di atas kasur.

“Kakak mau tau, selama tiga tahun terakhir ini, sejak kakak masuk SMP, siapa yang mengurus rumah?”

“Tentu saja mbok Sum, pembantu kita. Apa kakak lupa?”

“Iya, kakak ingat sedikit, jadi setelah…” aku berat untuk mengatakan setelah ibu meninggal, “setelah kejadian itu, bukankah pembantu tersebut keluar?”

“Setelah ibu enggak ada maksud kakak? Enggak keluar kok kak.”

“Tapi kakak sudah lama tidak lihat dia.”

“Jadi gini kak, mbok itu takut sama kakak, jadinya kalau ke rumah cuma waktu kakak sekolah aja. Gisel yang ngasih tahu kapannya.”

“Kan kakak lama enggak ngasih gaji, lalu siapa yang menggajinya?”

Gisel memandangku dalam diam untuk sesaat, lalu menghela nafasnya panjang.

“Sebenarnya, beliau rela tidak digaji untuk mengurus kita kak. Beliau sudah begitu sayangnya sama ibu, sehingga ia merasa kalau kita adalah tanggung jawabnya juga. Beliau yang mengajarkan Gisel bagaimana merawat rumah yang baik, bagaimana menggunakan peralatan bersih-bersih. Bahkan beliau sampai membuatkan peralatan yang sesuai dengan tinggi Gisel.”

“Lalu, bagaimana dengan uang belanja? Untuk bahan makanan kan butuh uang Gisel?”

“Beliau dapat uang dari keluarganya kak, kan sawah keluarganya mbok Sum dijual terus hasilnya dibagi-bagi. Sebagian uang itu disisihkan buat kita kak.”

Aku semakin terperangah mendengar penuturan Gisel karena tidak menyangka begitu banyak hal yang aku lewatkan. Kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar Gisel, duduk di sudut tempat tidurnya dengan posisi menghadap dirinya.

“Lalu, apakah mbok Sum masih ke sini?” tanyaku kepada Gisel yang mukanya masih dihiasi dengan penasaran.

“Udah enggak sih kak, ya baru-baru ini aja, soalnya mbok Sum kembali ke desanya sana, di gunung katanya, Gisel enggak inget nama tempatnya. mbok Sum mau ngurus bapaknya yang sakit di sana.”

Gisel terdiam sesaat, raut wajahnya menjelaskan semua. Ia kangen dengan mbok Sum.

“Gisel mau cerita sesuatu ke kakak?”

Dengan menarik nafas panjang, Gisel memulai ceritanya.

“Setelah ibu enggak ada, Gisel emang belum terlalu ngerti kak apa makna dari mati. Gisel merasa kalau ibu cuma pergi sebentar aja, nanti bakalan balik. Mbok Sum kak yang selama ini menggantikan peran ibu, walaupun tidak bisa seharian penuh karena ia juga punya tanggung jawab ke keluarganya.

“Selama tiga tahun, mbok Sum mengajari Gisel berbagai hal karena katanya, suatu saat Gisel yang akan mengurus kakak. Mbok Sum bilang, kakak sedang berada di posisi yang sangat menyedihkan, dan karena mbok Sum hampir tidak punya waktu, mbok Sum pesan ke Gisel untuk merawat kakak. Makanya, Gisel berusaha bikin roti buat kakak tiap hari, terus masak dikit-dikit.”

“Gisel dapat uang darimana?” tanyaku semakin penasaran.

Gisel tidak langsung menjawab. Ia melipat-lipat tangannya dan terlihat sedikit gugup.

“Sebelumnya maaf kak, selain sering ambil buku kakak diam-diam, Gisel juga ambil uang kiriman paman di kamar kakak. Soalnya Gisel enggak punya ide lagi harus bagaimana bisa dapat uang, Gisel kan masih kecil kak enggak bisa kerja. Kalau bisa pasti Gisel sudah kerja buat kakak.”

Aku memandangi kedua mata Gisel, di sana tidak terlihat sedikit pun kebohongan. Ia jujur, dan dengan berjiwa besar berani mengakui bahwa ia telah melakukan pencurian karena keterpaksaan. Bukan, bukan pencurian, karena sejatinya uang tersebut adalah haknya juga. Aku saja yang egois menggunakan untuk diriku sendiri. Aku tersadar, betapa tidak pedulinya aku dengan sekelilingku selama ini, selama tiga tahun lebih.

“Kakak enggak marah kan?” tanya Gisel melihat reaksi diamku mendengar pengakuannya.

Aku menjawabnya dengan memeluk Gisel dengan erat, berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. Betapa jahatnya diriku ini, tega membuat anak tak berdosa mengalami masa kecil yang menyakitkan. Tidak ada kata yang terucap dari bibirku, namun aku yakin perasaanku akan sampai kepada Gisel. Kami adalah saudara, ikatan batin kami terjalin dengan kuat, setidaknya setelah aku sadar akan keburukanku.

Selain itu, aku berjanji, suatu saat akan mengunjungi mbok Sum dan berterima kasih untuk segalanya.

***

Setelah ngobrol beberapa saat, Gisel memutuskan untuk tidur karena sudah mengantuk. Sebelumnya, ia mengatakan bahwa senang dengan perubahanku. Perubahan? Aku rasa tidak. Ini bukan perubahan, melainkan kembali ke diriku yang semula. Aku merasa inilah diriku yang dulu sebelum kejadian itu. Atau tidak? Apakah sifat burukku terbentuk oleh perlakuan buruk dari ayah? Mana yang benar? Aku rasa membutuhkan waktu yang lama untuk memahami ini semua, memahami diriku sendiri.

Aku kembali ke kamar orang tuaku untuk mencari apa yang aku cari mulai tadi sore. Mataku langsung menangkap adanya album di atas lemari pakaian. Mudah sekali ternyata menemukannya. Dengan bantuan sebuah kursi aku mengambil album tersebut. Lumayan berdebu, namun hanya perlu sekali usapan untuk membersihkannya.

Kuletakkan album keluargaku –lebih tepatnya tiga buah album– di meja makan, lalu aku kembali ke kamar orang tuaku. Aku ingin melihat barang-barang yang ada di kamar ini. Dimulai dari lemari dimana album tadi berada. Kubuka pintu lemari, kedua-duanya, dan terlihat pakaian-pakaian almarhumah ibuku dan ayah. Isi lemari ini didominasi baju ibuku, dan ini jelas sekali karena ayah jarang di rumah. Aku ambil salah satu helai pakaiannya, kedekap dalam kepalaku, wanginya masih sama seperti itu, wangi ibu.

Aku teringat bagaimana baiknya ibu, bagaimana ia berjuang demi anak-anaknya dengan kelakuan suami yang sebiadab itu. Aku teringat bagaimana ia berusaha memberikan segalanya, bagaimana ia tersenyum dalam tangis. Aku teringat bagaimana ia kerap kali keluar rumah dengan membawa Gisel yang masih bayi keliling daerah rumahku. Aku teringat, meskipun ibu tidak bekerja, ia memiliki kesibukan yang jika aku bertanya, ia hanya menjawab ‘sekedar melakukan hobi’.

Semua ingatan itu membuatku berpikir ulang, apakah mungkin seorang ibu yang ada diingatanku akan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri karena perlakuan kejam suaminya? Apakah mungkin seorang ibu yang ada diingatanku akan menelantarkan anak-anaknya begitu saja? Ataukah ada penyebab lain, atau bahkan ada yang merekayasa kematian ibuku?

Kubuang jauh-jauh pikiran tidak realistis seperti itu. Ini bukan cerita misteri, ini kehidupan nyata. Lagipula, apa untungnya membunuh seorang ibu rumah tangga? Kecuali jika ibuku memiliki suatu rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya, dan ada seseorang yang tidak ingin mengetahui rahasia ini terbongkar. Tetapi sekali lagi, ini adalah kehidupan nyata, bukan kisah misteri.

***

Setelah kubersihkan dengan kain kering, mulailah petualanganku dengan album keluargaku. Album pertama bersampul hitam, berisi tentang foto-foto masa muda ibu dan ayahku. Ibu dari kecil sudah terlihat kecantikannya –yang aku rasa tidak mirip siapa-siapa di antara aku dan Gisel– terlihat sangat enerjik waktu muda. Beberapa foto menunjukkan prestasi-prestasi selama duduk di bangku sekolah. Jelaslah mengapa aku dan Gisel menjadi secerdas ini, karena memang IQ menurun dari pihak ibu. Di lain sisi, foto masa kecil ayah biasa saja. Bahkan terlihat sosok licik dari matanya yang masih kecil itu. Tidak ada yang lagi yang spesial, aku menutup album pertama ini.

Album kedua, nampaknya bertemakan masa-masa ketika orangtuaku bertemu, pacaran lalu menikah. Nampak ada foto wisuda mereka berdua, foto ketika ke pantai bersama, dan tentunya foto ketika akad dan rersepsi. Wajah mereka berdua nampak begitu bahagia di album kedua ini, namun mengapa semuanya berubah?

Aku berharap akan menemukannya di album ketiga. Namun nyatannya, isinya hanya ada fotoku waktu bayi. Disini, entah mengapa ekspresi ibu mulai berubah dari album-album sebelumnya. Nampak sekilas di raut wajahnya ada rasa tertekan, meskipun ia berusaha untuk menyamarkannya dengan senyuman. Tidak butuh seorang ahli seperti Kenji untuk menyadari hal ini, orang awam pun pasti sadar dengan hal ini. Anehnya lagi, di album ini tidak ada foto Gisel sama sekali. Mungkin album ini dulu dirancang untuk menjadi semacam timeline kehidupan anak-anak dari ayah dan ibuku. Sayangnya di tengah jalan, semua menjadi macet, berhenti tanpa ada kelanjutan. Bahkan foto tertuaku adalah foto ketika aku masuk TK, tidak ada fotoku ketika SD.

Keganjilan demi keganjilan aku rasakan dalam album ketiga ini membuat aku merasa pusing. Ditambah lagi munculnya ide gila tentang konspirasi pembunuhan ibuku, membuatku benar-benar merasa lelah. Maka kuputuskan untuk menutup album keluargaku dan beranjak tidur untuk melepaskan penat hari ini.

Satu lembar foto terjatuh ketika aku hendak mengembalikan album-album ini. Kuletakkan kembali tumpukan album yang kubawa, lalu kupungut foto tersebut. Nampaknya ini adalah foto ibuku semasa kuliah, yang artinya kemungkinan besar foto orang-orang lain di sekeliling ibuku adalah teman-temannya.

Tunggu, aku merasa pernah melihat satu orang diantara mereka. Aku merasa pernah melihat sebelumnya, wajah ini tidak asing. Apakah karena kecantikannya? Atau karena dia termasuk salah satu keluargaku? Tetangga mungkin?

Lalu aku ingat, wajah tersebut baru saja aku lihat hari ini di rumah Kenji. Ia adalah ibunda Kenji.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version