Leon dan Kenji (Buku 1)
Chapter 25 Album Keluarga
Melihat album keluarga Kenji membuatku ingin membuka album keluargaku. Itupun kalau di rumah ada. Pertama, aku mencoba untuk mencari di ruang keluarga, hasilnya nihil. Di ruang tamu, nihil juga. Di kamarku dan kamar Gisel juga tidak ketemu. Karena itu, aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan yang sudah lama tidak aku buka. Ruangan yang selama ini aku tutup untuk membuang segala memori buruk. Aku akan membuka bekas kamar orangtuaku.
Bukan ruangan penuh debu yang aku temukan, melainkan ruangan yang begitu rapi. Mungkin ketika Gisel membersihkan rumah, ia juga membersihkan ruangan ini. Aku pun menjadi heran, bagaimana seorang anak kecil bisa menyapu dan mengepel? Terlalu banyak yang aku lewatkan selama tiga tahun. Tunggu, berarti Gisel sudah mulai memasak dan lainnya mulai usia 6 tahun? Selain itu, artinya sudah tiga tahun Gisel menerima perlakuan burukku? Banyaknya pertanyaan yang tak terjawab membuat aku mengurungkan niatku untuk mencari album keluargaku, karena aku ingin mendapatkan jawaban Gisel terlebih dahulu untuk pertanyaan-pertanyaanku.
“Gisel, kau masih bangun?” tanyaku ketika memasuki kamarnya.
“Masih kok kak, kenapa?” jawabnya di atas kasur.
“Kakak mau tau, selama tiga tahun terakhir ini, sejak kakak masuk SMP, siapa yang mengurus rumah?”
“Tentu saja mbok Sum, pembantu kita. Apa kakak lupa?”
“Iya, kakak ingat sedikit, jadi setelah…” aku berat untuk mengatakan setelah ibu meninggal, “setelah kejadian itu, bukankah pembantu tersebut keluar?”
“Setelah ibu enggak ada maksud kakak? Enggak keluar kok kak.”
“Tapi kakak sudah lama tidak lihat dia.”
“Jadi gini kak, mbok itu takut sama kakak, jadinya kalau ke rumah cuma waktu kakak sekolah aja. Gisel yang ngasih tahu kapannya.”
“Kan kakak lama enggak ngasih gaji, lalu siapa yang menggajinya?”
Gisel memandangku dalam diam untuk sesaat, lalu menghela nafasnya panjang.
“Sebenarnya, beliau rela tidak digaji untuk mengurus kita kak. Beliau sudah begitu sayangnya sama ibu, sehingga ia merasa kalau kita adalah tanggung jawabnya juga. Beliau yang mengajarkan Gisel bagaimana merawat rumah yang baik, bagaimana menggunakan peralatan bersih-bersih. Bahkan beliau sampai membuatkan peralatan yang sesuai dengan tinggi Gisel.”
“Lalu, bagaimana dengan uang belanja? Untuk bahan makanan kan butuh uang Gisel?”
“Beliau dapat uang dari keluarganya kak, kan sawah keluarganya mbok Sum dijual terus hasilnya dibagi-bagi. Sebagian uang itu disisihkan buat kita kak.”
Aku semakin terperangah mendengar penuturan Gisel karena tidak menyangka begitu banyak hal yang aku lewatkan. Kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar Gisel, duduk di sudut tempat tidurnya dengan posisi menghadap dirinya.
“Lalu, apakah mbok Sum masih ke sini?” tanyaku kepada Gisel yang mukanya masih dihiasi dengan penasaran.
“Udah enggak sih kak, ya baru-baru ini aja, soalnya mbok Sum kembali ke desanya sana, di gunung katanya, Gisel enggak inget nama tempatnya. mbok Sum mau ngurus bapaknya yang sakit di sana.”
Gisel terdiam sesaat, raut wajahnya menjelaskan semua. Ia kangen dengan mbok Sum.
“Gisel mau cerita sesuatu ke kakak?”
Dengan menarik nafas panjang, Gisel memulai ceritanya.
“Setelah ibu enggak ada, Gisel emang belum terlalu ngerti kak apa makna dari mati. Gisel merasa kalau ibu cuma pergi sebentar aja, nanti bakalan balik. Mbok Sum kak yang selama ini menggantikan peran ibu, walaupun tidak bisa seharian penuh karena ia juga punya tanggung jawab ke keluarganya.
“Selama tiga tahun, mbok Sum mengajari Gisel berbagai hal karena katanya, suatu saat Gisel yang akan mengurus kakak. Mbok Sum bilang, kakak sedang berada di posisi yang sangat menyedihkan, dan karena mbok Sum hampir tidak punya waktu, mbok Sum pesan ke Gisel untuk merawat kakak. Makanya, Gisel berusaha bikin roti buat kakak tiap hari, terus masak dikit-dikit.”
“Gisel dapat uang darimana?” tanyaku semakin penasaran.
Gisel tidak langsung menjawab. Ia melipat-lipat tangannya dan terlihat sedikit gugup.
“Sebelumnya maaf kak, selain sering ambil buku kakak diam-diam, Gisel juga ambil uang kiriman paman di kamar kakak. Soalnya Gisel enggak punya ide lagi harus bagaimana bisa dapat uang, Gisel kan masih kecil kak enggak bisa kerja. Kalau bisa pasti Gisel sudah kerja buat kakak.”
Aku memandangi kedua mata Gisel, di sana tidak terlihat sedikit pun kebohongan. Ia jujur, dan dengan berjiwa besar berani mengakui bahwa ia telah melakukan pencurian karena keterpaksaan. Bukan, bukan pencurian, karena sejatinya uang tersebut adalah haknya juga. Aku saja yang egois menggunakan untuk diriku sendiri. Aku tersadar, betapa tidak pedulinya aku dengan sekelilingku selama ini, selama tiga tahun lebih.
“Kakak enggak marah kan?” tanya Gisel melihat reaksi diamku mendengar pengakuannya.
Aku menjawabnya dengan memeluk Gisel dengan erat, berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. Betapa jahatnya diriku ini, tega membuat anak tak berdosa mengalami masa kecil yang menyakitkan. Tidak ada kata yang terucap dari bibirku, namun aku yakin perasaanku akan sampai kepada Gisel. Kami adalah saudara, ikatan batin kami terjalin dengan kuat, setidaknya setelah aku sadar akan keburukanku.
Selain itu, aku berjanji, suatu saat akan mengunjungi mbok Sum dan berterima kasih untuk segalanya.
***
Setelah ngobrol beberapa saat, Gisel memutuskan untuk tidur karena sudah mengantuk. Sebelumnya, ia mengatakan bahwa senang dengan perubahanku. Perubahan? Aku rasa tidak. Ini bukan perubahan, melainkan kembali ke diriku yang semula. Aku merasa inilah diriku yang dulu sebelum kejadian itu. Atau tidak? Apakah sifat burukku terbentuk oleh perlakuan buruk dari ayah? Mana yang benar? Aku rasa membutuhkan waktu yang lama untuk memahami ini semua, memahami diriku sendiri.
Aku kembali ke kamar orang tuaku untuk mencari apa yang aku cari mulai tadi sore. Mataku langsung menangkap adanya album di atas lemari pakaian. Mudah sekali ternyata menemukannya. Dengan bantuan sebuah kursi aku mengambil album tersebut. Lumayan berdebu, namun hanya perlu sekali usapan untuk membersihkannya.
Kuletakkan album keluargaku –lebih tepatnya tiga buah album– di meja makan, lalu aku kembali ke kamar orang tuaku. Aku ingin melihat barang-barang yang ada di kamar ini. Dimulai dari lemari dimana album tadi berada. Kubuka pintu lemari, kedua-duanya, dan terlihat pakaian-pakaian almarhumah ibuku dan ayah. Isi lemari ini didominasi baju ibuku, dan ini jelas sekali karena ayah jarang di rumah. Aku ambil salah satu helai pakaiannya, kedekap dalam kepalaku, wanginya masih sama seperti itu, wangi ibu.
Aku teringat bagaimana baiknya ibu, bagaimana ia berjuang demi anak-anaknya dengan kelakuan suami yang sebiadab itu. Aku teringat bagaimana ia berusaha memberikan segalanya, bagaimana ia tersenyum dalam tangis. Aku teringat bagaimana ia kerap kali keluar rumah dengan membawa Gisel yang masih bayi keliling daerah rumahku. Aku teringat, meskipun ibu tidak bekerja, ia memiliki kesibukan yang jika aku bertanya, ia hanya menjawab ‘sekedar melakukan hobi’.
Semua ingatan itu membuatku berpikir ulang, apakah mungkin seorang ibu yang ada diingatanku akan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri karena perlakuan kejam suaminya? Apakah mungkin seorang ibu yang ada diingatanku akan menelantarkan anak-anaknya begitu saja? Ataukah ada penyebab lain, atau bahkan ada yang merekayasa kematian ibuku?
Kubuang jauh-jauh pikiran tidak realistis seperti itu. Ini bukan cerita misteri, ini kehidupan nyata. Lagipula, apa untungnya membunuh seorang ibu rumah tangga? Kecuali jika ibuku memiliki suatu rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya, dan ada seseorang yang tidak ingin mengetahui rahasia ini terbongkar. Tetapi sekali lagi, ini adalah kehidupan nyata, bukan kisah misteri.
***
Setelah kubersihkan dengan kain kering, mulailah petualanganku dengan album keluargaku. Album pertama bersampul hitam, berisi tentang foto-foto masa muda ibu dan ayahku. Ibu dari kecil sudah terlihat kecantikannya –yang aku rasa tidak mirip siapa-siapa di antara aku dan Gisel– terlihat sangat enerjik waktu muda. Beberapa foto menunjukkan prestasi-prestasi selama duduk di bangku sekolah. Jelaslah mengapa aku dan Gisel menjadi secerdas ini, karena memang IQ menurun dari pihak ibu. Di lain sisi, foto masa kecil ayah biasa saja. Bahkan terlihat sosok licik dari matanya yang masih kecil itu. Tidak ada yang lagi yang spesial, aku menutup album pertama ini.
Album kedua, nampaknya bertemakan masa-masa ketika orangtuaku bertemu, pacaran lalu menikah. Nampak ada foto wisuda mereka berdua, foto ketika ke pantai bersama, dan tentunya foto ketika akad dan rersepsi. Wajah mereka berdua nampak begitu bahagia di album kedua ini, namun mengapa semuanya berubah?
Aku berharap akan menemukannya di album ketiga. Namun nyatannya, isinya hanya ada fotoku waktu bayi. Disini, entah mengapa ekspresi ibu mulai berubah dari album-album sebelumnya. Nampak sekilas di raut wajahnya ada rasa tertekan, meskipun ia berusaha untuk menyamarkannya dengan senyuman. Tidak butuh seorang ahli seperti Kenji untuk menyadari hal ini, orang awam pun pasti sadar dengan hal ini. Anehnya lagi, di album ini tidak ada foto Gisel sama sekali. Mungkin album ini dulu dirancang untuk menjadi semacam timeline kehidupan anak-anak dari ayah dan ibuku. Sayangnya di tengah jalan, semua menjadi macet, berhenti tanpa ada kelanjutan. Bahkan foto tertuaku adalah foto ketika aku masuk TK, tidak ada fotoku ketika SD.
Keganjilan demi keganjilan aku rasakan dalam album ketiga ini membuat aku merasa pusing. Ditambah lagi munculnya ide gila tentang konspirasi pembunuhan ibuku, membuatku benar-benar merasa lelah. Maka kuputuskan untuk menutup album keluargaku dan beranjak tidur untuk melepaskan penat hari ini.
Satu lembar foto terjatuh ketika aku hendak mengembalikan album-album ini. Kuletakkan kembali tumpukan album yang kubawa, lalu kupungut foto tersebut. Nampaknya ini adalah foto ibuku semasa kuliah, yang artinya kemungkinan besar foto orang-orang lain di sekeliling ibuku adalah teman-temannya.
Tunggu, aku merasa pernah melihat satu orang diantara mereka. Aku merasa pernah melihat sebelumnya, wajah ini tidak asing. Apakah karena kecantikannya? Atau karena dia termasuk salah satu keluargaku? Tetangga mungkin?
Lalu aku ingat, wajah tersebut baru saja aku lihat hari ini di rumah Kenji. Ia adalah ibunda Kenji.
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Karakter Lain (Terakhir)
Tulisan ini adalah bagian terakhir dari episode ektra novel Leon dan Keji. Di sini, penulis akan bercerita tentang karakter lain yang belum dijelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya.
Malik
Namanya penulis ambil dari musuh Yugi dari komik Yugioh (Marik jika dilihat dari animenya). Ia adalah kakak kelas Leon sekaligus mantan tetangganya. Ia juga bersekolah yang sama dengan Leon sejak SMP.
Malik adalah murid kesayangan guru dan idola banyak murid. Kemampuan otaknya yang cerdas, perilakunya yang santun, ditopang dengan paras yang rupawan membuatnya sering menjadi pusat perhatian.
Akan tetapi, Leon (dan Kenji) beranggapan bahwa semua itu hanyanya kamuflase semata. Di balik topeng ramahnya, Leon berasumsi bahwa Malik adalah orang yang licik dan egosentris. Mungkin Leon menganggap Malik seperti karakter Joker pada serial Batman.
Apakah dugaan Leon benar? Ataukah ternyata Malik memang benar-benar lain? Temukan jawabannya pada buku kedua Leon dan Kenji!
Para Kakak Pembimbing OSIS
Semua anggota OSIS yang penulis munculkan di novel ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Bahkan hingga namanya, walaupun tidak semua penulis ingat.
Dari semua anggota, yang paling menonjol adalah Aan yang pernah mengirim anggota gengnya untuk menghajar Leon karena sikapnya yang ngelamak. Ia juga tipikal orang pendendam dan suka tertawa di atas penderitaan orang-orang yang dibencinya.
Rudi dan Sinta
Keduanya adalah teman masa kecil Leon, yang satu teman SD dan yang satu lagi adalah teman bermain di masa kecilnya. Pertemuan tanpa sengaja mereka terjadi ketika Leon mengikuti kelas ektrakulikuler, di mana ia bertemu dengan Rudi, lantas bertemu dengan Sinta di kantin.
Keduanya memiliki peran besar bagi Leon untuk mengetahui bahwa dirinya secara perlahan bisa berdamai dengan masa lalu dan mencoba memperbaiki hubungan dengan teman-temannya di masa lalu, sesuatu yang dulu terhalang karena kekangan ayahnya.
Paman Anton
Dia adalah adik dari ayah Leon yang sukses bekerja sebagai pengusaha. Meskipun bersaudara, ia memiliki kepribadian yang berbeda 180 derajat. Paman Anton merupakan pribadi yang begitu hangat dan sangat menyayangi keluarga.
Istrinya telah meninggal karena kecelakaan, membuatnya menjadi single parent. Berstatus duda kaya tidak lantas membuatnya menikah lagi. Ia begitu mencintai istrinya sehingga mengurungkan niat untuk menikah lagi.
Sisi buruknya, ia jadi begitu memanjakan anaknya, Bondan, yang belum pernah penulis tampilkan di buku pertama. Pada akhirnya, Bondan menjadi begitu sombong dan gemar memandang rendah orang lain, termasuk kedua sepupunya, Leon dan Gisel.
Namanya sendiri dapat begitu saja, mungkin terinspirasi dari nama tetangga penulis.
Penutup
Bagaimakah kelanjutan kehidupan sekolah Leon? Apakah semuanya berjalan lancar tanpa masalah? Apakah Leon berhasil memecahkan surat misterius yang ia temukan beserta sebuah kotak yang terkunci dengan kombinasi lima angka?
Semua akan terjawab pada novel Leon dan Kenji Buku 2 yang akan rilis pada tanggal 3 Desember 2018. Stay tuned!
Kebayoran Lama, 19 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Perempuan Kelas Akselerasi
Setelah para laki-laki, kini tiba saatnya bagi penulis untuk mendeskripsikan para perempuan lain penghuni kelas akselerasi selain Sica, Sarah, dan Rika. Seperti biasa, penulis akan menjelaskan darimana inspirasi nama mereka beserta karakteristik yang melekat pada mereka.
Andrea Putri Sudarwono
Sama seperti Rika, Andrea atau Dea merupakan karakter baru yang tidak ada di konsep awalnya. Dulu, penulis membuat seorang karakter wanita tomboy yang sama sekali tidak betah berada di kelas akselerasi karena paksaan orangtuanya.
Setelah menghilangkan David, pada akhirnya penulis memutuskan untuk mengubahnya menjadi saudara kembar Andra yang bernama Andrea (dulu bernama Arin). Sifat-sifat pada penokohan yang dulu penulis hilangkan, kecuali sifat tomboynya yang dipertahankan.
Karakternya kurang lebih sama seperti saudaranya. Ia lebih sering bermain bersama teman laki-laki berkat pengaruh Andra, sehingga tidak memiliki teman wanita yang dekat. Dea jago bermain basket dan memainkan drum.
Aqilla Sagita Danastri
Selanjutnya adalah Gita, yang namanya penulis ambil dari penyanyi favorit penulis ketika masa sekolah, Gita Gutawa. Akan tetapi, Gita yang satu ini tidak pandai menyanyi. Ia memiliki bakat menggambar yang luar biasa, mulai sketsa bangunan hingga sketsa wajah.
Tanpa disengaja, karakter ini mirip dengan karakter Gita yang bermain pada serial Cinta dan Rahasia yang diperankan oleh Taskya Namya, Kurang lebih, penulis membayangkan fisik Gita seperti dirinya.
Padahal, penulis menciptakan karakter Gita jauh sebelum serial tersebut tayang. Sungguh sebuah kebetulan yang menakjubkan sekaligus mengerikan.
Gita adalah seorang perempuan hitam manis yang memiliki alis tebal dan cenderung mudah emosi, seperti yang ditunjukkan di awal cerita ketika ia melempar air ke wajah Leon. Akan tetapi, Gita adalah seseorang yang begitu peka terhadap sekitarnya.
Kepekaannya terbukti dengan beberapa kali bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Leon. Contohnya, ia tahu bahwa Leon menyukai Sica atau tahu kapan dirinya lebih baik diam ketika melihat suasana hati Leon sedang buruk.
Elvina Yurina Zefina
Yuri, mungkin dari namanya bisa ditebak, terinspirasi dari salah satu karakter Girls’ Generation yang bernama sama. Penulis ambil nama tersebut karena masih terdengar Indonesia.
Ia adalah seorang perempuan yang memiliki masalah krisis kepercayaan diri. Ekonominya pas-pasan karena ibunya adalah seorang single parent yang memiliki usaha katering. Yuri kewalahan menghadapi ritme pelajaran di kelas akselerasi.
Untungnya, Kenji berinisiatif untuk mengadakan kelas tambahan sepulang sekolah, sehingga Yuri mampu mengejar ketertinggalannya. Terlebih lagi, semenjak itu ia menjadi lebih percaya diri, setidaknya di hadapan teman-teman kelas akselerasi.
Maroon Malvinanita
Karakter ini penulis bentuk sebagai wadah akan kesukaan penulis terhadap bahasa. Nita, yang namanya muncul begitu saja, adalah perempuan yang memiliki kelebihan dalam dunia bahasa.
Bahasa yang disukai oleh Nita bukanlah bahasa sastra seperti yang disukai oleh Rika, melainkan bahasa yang digunakan sehari-hari. Ketika masuk kelas akselerasi, ia sudah menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia mulai mempelajari bahasa lainnya seperti Mandarin dan Belanda.
Pada buku pertama, belum terlalu terlihat bagaimana karakter seorang Nita, selain keingintahuannya yang besar akan bahasa.
Verena Nur Izora
Nama Verena penulis dapatkan sewaktu pesiapan ujian nasional SMA, ketika seorang gadis menjadi sampul buku latihan menghadapi Unas. Karena suka namanya, penulis memutuskan untuk menggunakan namanya untuk novel penulis.
Verena, atau Rena, adalah satu-satunya wanita yang berkerudung di kelas akselerasi. Ia adalah satu-satunya teman yang satu SMP dengan Leon di kelas.
Ia adalah seorang perempuan yang baik, hanya saja terkadang tidak pandai membaca situasi. Rena juga bisa berubah menjadi galak apabila melihat sesuatu yang salah, seperti yang digambarkan pada chapter 40.
Virginia Vanya Valora
Namanya yang berinisial VVV bukan terinspirasi dari klub bola asal Belanda, VVV Venlo, melainkan dari teman kuliah penulis yang memiliki inisial yang sama.
Vanya atau kerap dipanggil Ve (penulis juga punya teman SMA yang panggilannya Ve) adalah seorang wanita yang paling gemuk di antara wanita-wanita lain yang cenderung bertubuh mungil.
Meskipun begitu, Ve merupakan anak yang berhati emas. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain dan tidak pernah menyimpan dendam. Baginya, berbuat baik adalah fokus hidupnya, sehingga cita-citanya adalah menjadi seorang guru di daerah terpencil.
Kebayoran Lama, 10 November 2018
Leon dan Kenji (Buku 1)
Tentang Para Laki-Laki Kelas Akselerasi
Selain Leon dan Kenji, terdapat empat laki-laki yang menghuni kelas akselerasi: Andra, Bejo, Juna, dan Pierre. Mereka berempat lebih sering berperan sebagai figuran, namun di beberapa bagian penulis tunjukkan karakteristik mereka.
Andra Putra Sudarwono
Dulu, pada konsep awalnya, si kembar Sudarwono bersaudara sama-sama laki-laki, Andra dan David. Tapi, sewaktu penulis meninjau ulang, ternyata komposisi laki-laki di kelas akselerasi ini terlalu banyak, sehingga penulis memutuskan untuk mengganti salah satunya dengan perempuan.
Inspirasi karakter ini datang dari Fred dan George Weasley dari novel Harry Potter. Penulis menyukai karakter mereka yang ceria, jahil, sering berbicara secara bergantian dengan saudaranya, dan selalu berpikiran positif.
Kurang lebih seperti itulah Andra (dan kini bersama Dea). Andra adalah laki-laki yang selalu nampak bersemangat. Ia selalu berusaha memberikan energi positifnya kepada semua orang.
Nama Andra sendiri (mungkin) penulis dapatkan dari band Andra and the Backbone. Penulis tidak terlalu ingat, namun untuk nama keluarganya, penulis pelesetkan dari nama stiker timnas Indonesia, Budi Sudarsono.
Andra juga tidak segan berkonfrontasi dengan orang-orang yang ia anggap merusak suasana kelas. Hal ini ia tunjukkan pada bagian-bagian awal, ketika ia menantang Leon untuk berkelahi karena dianggap mengacau.
Ia juga tipe orang yang supel. Bahkan hanya dalam hitungan hari, ia sudah bisa menjalin hubungan dengan kakak kelasnya. Tidak muncul rasa canggung ketika ia berbicara dengan orang lain karena kepercayaan dirinya yang tinggi.
Akan tetapi, ia juga seorang pendendam. Pengeroyokan yang terjadi pada Leon ketika MOS adalah rencananya. Untungnya, sifat pendendamnya diimbangi dengan sifat pemaafnya. Memang kontradiktif, namun begitulah Andra.
Andra memiliki kecerdasan yang lumayan. Sayang, kecerdasan yang dimilikinya tidak ia gunakan di kelas. Hal ini menyebabkan ia harus turun ke kelas reguler bersama saudarinya.
Achmad Khrisna Subejo
Kalau yang satu ini, penulis lupa darimana inspirasinya. Mungkin, karena nama Bejo bernuansa pedesaan. Untuk nama tengahnya, terinspirasi dari salah satu tokoh pewayangan.
Sang ketua kelas akselerasi yang sangat bertanggungjawab dan melaksanakan tugasnya dengan agak terlalu berlebihan. Mungkin mirip dengan karakter Tenya Iida pada anime Boku No Hero Academia, meskipun penulis membuat karakter ini sebelum menonton anime tersebut.
Bejo adalah tipikal anak yang ingin membuktikan bahwa dirinya, meskipun anak desa, bisa sama dengan anak-anak yang tinggal di kota (meskipun tempat ia sekolah tidak termasuk kota).
Ia memiliki harga diri yang tinggi, Pembangkangan Leon di awal masa sekolah merupakan buktinya. Bejo merasa harga dirinya terluka karena tidak dihargai oleh teman satu kelasnya. Hal ini membuat ia menyimpan dendam, dan Bejo bukan tipe pemaaf seperti Andra.
Meskipun begitu, Bejo adalah laki-laki yang gentle dan pemberani. Ia tak segan mengakui kesalahannya ketika ia telah sadar, seperti ketika ia bertengkar dengan Leon sewaktu lomba futsal antar kelas.
Arjuna Wahyunara
Namanya terinspirasi dari chef Juna. Akan tetapi, karakternya yang lambat merespon penulis dapatkan dari Goo Ji-soo, salah satu peserta acara reality show Girls’ Generation and the Dangerous Boys.
Juna adalah anak yang cerdas, namun susah berkomunikasi karena otaknya butuh waktu sekitar 5 detik untuk menangkap informasi yang disampaikan secara lisan. Akan tetapi, ia memiliki daya ingat yang kuat ketika berhadapan dengan hal visual.
Apalagi, Juna adalah tipe orang yang pemalu dan minder, sehingga ia sangat jarang memulai percakapan dengan orang lain. Ia merasa dirinya akan membebani orang lain ketika ia berkomunikasi dengan mereka.
Untunglah Leon secara tidak sengaja berhasil menemukan metode untuk berinteraksi dengan Juna, sehingga mulai saat itu ia mulai bisa dekat dengan teman-teman yang lain, terutama Pierre.
Jean Xavier Pierre
Namanya memang norak, karena penulis masih duduk di bangku SMA ketika membuat nama ini. Namun penulis memutuskan untuk tidak mengubah namanya karena nama tersebut memiliki maknanya sendiri.
Pierre penulis dapatkan dari nama vokalis Simple Plan, Pierre Bouvier, yang penulis ketahui dari video klip When I’m Gone. Ternyata, setelah penulis tonton ulang video tersebut, terdapat nama Sarah. Mungkin justru dari inilah penulis mendapatkan ide nama Sarah.
Pierre merupakan tipe anak yang lebih senang berkutat dengan gawainya daripada dengan manusia. Dengan kacamatanya yang tebal, ia tak akan pernah merasa jemu mengutak-atik komputer maupun handphonenya.
Interaksinya dengan karakter utama hanya terjadi sekali ketika Leon membutuhkan saran untuk membeli handphone, sehingga karakteristik lainnya belum terlihat.
Kebayoran Lama, 5 November 2018
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #20: Modern Art
-
Permainan5 bulan ago
Koleksi Board Game #21: Century: Spice Road
-
Musik5 bulan ago
I AM: IVE
-
Anime & Komik4 bulan ago
Yu-Gi-Oh!: Komik, Duel Kartu, dan Nostalgianya
-
Musik5 bulan ago
Tier List Lagu-Lagu Linkin Park Versi Saya
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Orang Makan Orang
-
Non-Fiksi5 bulan ago
[REVIEW] Setelah Membaca Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan
-
Politik & Negara5 bulan ago
Pusat Data Nasional kok Bisa-Bisanya Dirasuki Ransomware…
You must be logged in to post a comment Login