Leon dan Kenji (Buku 2)

Chapter 45 Langit Gelap

Published

on

Berdiam diri tanpa suara aku lakukan selama berjam-jam di rumah Kenji. Tak sekalipun ajakan pemilik rumah yang berinisiatif memulai percakapan aku hiraukan. Memang tidak sopan, tapi aku butuh waktu untuk berdebat dengan diriku sendiri, dan itu tidak bisa aku lakukan di rumahku sendiri.

Gisel tergeletak di tempat tidur Kenji, yang hanya beralaskan karpet busa. Ia belum sadar sejak pingsan ketika melihat ayahnya kembali. Bagi anak sekecil dia, jelas beban hidup yang ia tanggung begitu berat. Yang bisa kulakukan untuk menebus dosaku di masa lalu adalah dengan membantunya memikul beban tersebut sebagai seorang kakak.

***

Begitu aku melihat sosok brengsek muncul tiba-tiba dengan wajah yang paling menjijikkan, aku segera mencengkeram kerah bajunya. Paman dan temannya langsung berusaha melerai kami, sedangkan Gisel hanya bisa terpekik kaget, dan mungkin jatuh pingsan. Berbagai nasihat yang keluar dari mulut paman sama sekali terpental dari pendengaranku. Aku terus mencengkeram kerah ayah dan mendorong tubuhnya hingga membentur mobil.

“Berani-beraninya kau menginjakkan kakimu di sini. Ketidakhadiranmu sudah membuat hidup susah, dan kehadiranmu sekarang hanya akan memperburuk keadaan tersebut.” kataku dengan nada sedingin mungkin.

Ia hanya terdiam dan memasang wajah bersalah. Aku tak akan memberi iba sedikit pun kepadanya.

“Maaf Leon, maafkan ayah.”

Bahkan ketulusan sama sekali tak terasa dari ucapan yang baru saja ia keluarkan. Lantas, bagaimana aku akan memaafkannya?

“Leon, tak bisakah kita bicara baik-baik di dalam? Bagaimanapun perlakuan ayahmu di masa lalu, ia tetap ayahmu nak.” kata paman Anton sambil berusaha melepaskan cengkeraman kuatku. Tampaknya teman paman telah mengurus Gisel dan memasukkannya ke dalam rumah.

“Aku harap paman diam. Paman telah mengecewakanku dengan membawa iblis ini kembali ke rumah. Apa paman tahu betapa aku senang dengan kedatangan paman? Kini semua kesenangan tersebut telah sirna tak berbekas gara-gara paman membawa dia.”

“Tenanglah Leon, semua bisa dibicarakan dengan baik-baik.”

“Empat tahun menghilang tanpa kabar dan paman bisa berkata seperti itu?”

Hening menghampiri kami setelah kalimat tersebut kuucapkan. Tampaknya paman pun telah kehabisan kata-kata. Aku manfaatkan kesempatan ini untuk menatap orang yang pernah menjadi ayahku ini. Lihatlah aku brengsek, anak yang kau telantarkan ini sama sekali tidak menjadi pribadi yang lemah. Berbagai luka yang kau goreskan pada kehidupanku hanya semakin membuatku kuat.

Aku melepaskan cengkeramanku dari kerahnya. Dengan sedikit ketakutan, ia berusaha menegakkan posisinya. Ia terus memandangku, seolah ingin mengirim apa yang sedang ada di dalam benaknya. Paman pun terlihat sedikit lega ketika akhirnya aku mendengarkan perkataannya.

Langsung saja sebuah pukulan mendarat di wajahnya, tepat di sisi kiri wajahnya hingga ia jatuh tersungkur. Aku sengaja melepas cengkeramanku agar mendapatkan celah untuk menghajarnya. Satu pukulan yang seolah memiliki energi dendam empat tahun cukup untuk menanggalkan beberapa gigi yang berada di rongga mulutnya.

Paman segera membantu kakaknya tersebut berdiri. Tentu ia terkejut melihat apa yang baru saja terjadi dan ia tak sempat mengantisipasinya. Mulutnya mengeluarkan darah, dan tampaknya giginya benar-benar ada yang lepas. Sesal mengetuk hatiku sesaat, namun aku segera menghapuskan perasaan tersebut. Aku mengingat-ingat segala perlakukannya kepada diriku selama ini, dan itu sama sekali tidak sebanding dengan satu pukulan di wajahnya.

“Leon! Kamu sudah keterlaluan nak, istighfar le, istighfar.”

Setan menghalauku untuk mengucapkan kalimat tersebut. Amarah benar-benar telah menguasai diriku sepenuhnya. Perubahan diriku yang telah berangsur-angsur terjadi selama beberapa bulan terakhir semenjak aku memasuki kelas akselerasi seolah tak berbekas. Aku bagaikan kembali menjadi pribadi yang hanya berkeinginan untuk menghabisi jasad lain selain diriku.

“Setidaknya, dengarkanlah cerita ayahmu dan permintaan maafnya terlebih dahulu, jika kamu masih marah kepadanya, ayahmu akan ikut paman ke Solo.”

“Kalau begitu, paman bisa berangkat sekarang. Semakin cepat, semakin baik.” kataku dingin.

“Leon…” paman hendak berbicara lagi, namun dihentikan oleh ayahku.

“Sudahlah Anton, jika Leon belum mau berbicara denganku, kita lakukan lain kali.”

“Tidak ada lain kali brengsek, kau tidak akan sekalipun aku ijinkan masuk ke dalam rumahku! Jangan harap aku akan melupakan segalanya dan berpura-pura bahwa selama ini semuanya baik-baik saja.”

Di saat itulah aku melihat Kenji datang dan ia melihat kami semua. Tampaknya beberapa tetangga juga ikut mengamati percakapan dari tadi. Dasar tukang nguping yang hobinya mencampuri urusan orang. Itulah mengapa aku sangat membatasi interaksiku dengan para tetangga. Aku membenci mereka semua, dan mereka pun tidak peduli denganku.

Kenji cukup bijak untuk tidak berkata apapun, lalu memutuskan untuk balik badan kembali ke rumahnya. Kedatangan Kenji memberiku ilham apa yang harus aku lakukan.

“Kalau paman masih mau di sini silahkan, aku yang pergi.”

Aku masuk ke dalam rumah untuk mencari Gisel. Begitu menemukannya, aku membawanya dan berjalan meninggalkan rombongan pamanku. Paman berusaha mencegahku, namun aku sama sekali menutup telinga dari segala yang keluar dari mulutnya. Rasa hormat kepada pamanku turun hingga titik terendah, dan aku mulai berpikir bahwa aku tidak akan menggunakan uang kirimannya lagi. Aku akan berusaha mencari uang dengan keringatku sendiri.

Kenji, yang seolah bisa memprediksi aku akan datang ke rumahnya, menyambut kami dengan dua gelas teh hangat yang telah tersedia di meja ruang tamunya. Aku meletakkan Gisel di tempat tidur Kenji, lalu duduk bersila di depan meja belajarnya. Aku butuh waktu untuk berpikir, dan inilah sebaik-baiknya tempat berpikir.

***

Matahari telah lama tenggelam ketika Gisel akhirnya tersadar. Aku segera bergerak dari posisiku untuk menanyakan keadaannya.

“Gisel enggak apa-apa kok kak, cuma lapar aja sekarang.” jawabnya dengan suara yang lemah.

Aku segera mencari di mana Kenji, namun ia tak terlihat di manapun. Kemungkinan besar ia sedang berada di rumahku untuk melihat situasi. Sial, aku tak sempat membawa uang untuk sekedar membelikan Gisel makan. Apakah aku lebih baik berhutang saja? Tidak, aku sangat menghindari hutang dalam bentuk apapun.

Ketika berada dalam posisi kebingungan, aku menemukan sebuah catatan di meja ruang tamu. Tulisan Kenji, yang mengatakan bahwa ia telah menggorengkan ayam dan ia letakkan di dapur. Jika lapar, ambil saja sendiri, nasi di tempat biasa, lanjut Kenji melalui tulisan tersebut. Baru saja aku membatin menghindari hutang, Kenji membuatku berhutang jasa kepadanya.

Maka aku segera menyiapkan makan untuk Gisel. Adikku memakannya dengan lahap. Aku senang melihatnya begitu bersemangat makan. Tubuhnya yang kurus terlihat ringkih, namun apa yang tersimpan di balik raga tersebut sangatlah kuat. Entah berapa kali aku mengagumi kekuatan mental yang dimiliki oleh adikku ini.

Bersamaan dengan habisnya piringnya Gisel, Kenji kembali dengan ekspresi penuh dengan keprihatinan. Ia berusaha melempar senyum kepada kami, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tanpa berkata apapun, aku bisa mengerti bahwa Kenji benar-benar baru saja dari rumahku. Aku sebenarnya tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan ayah dan paman, tapi aku yakin cepat atau lambat Kenji akan bercerita mengenai itu.

“Kalian malam ini menginap di sini atau pulang?”

Gisel menatapku, menunggu jawabanku. Aku pun tak tahu harus menjawab apa. Yang jelas, selama ayah masih ada di rumah, aku tak akan sudi untuk pulang.

“Omong-omong, paman dan ayahmu telah kembali ke Solo. Ini kunci rumahmu dititipkan ke aku.”

Perasaan lega muncul begitu aku mendengar ucapan Kenji tersebut. Setidaknya, kami tidak perlu merepotkan Kenji dengan menginap di rumahnya. Aku pun mengajak Gisel untuk segera berpamitan kepada Kenji.

“Kamu yakin Le tidak mau mendengar cerita paman dan ayahmu?”

Aku hanya diam mendengar pertanyaan tersebut. Entah mengapa, walau ingin tidak peduli, aku merasa penasaran dengan pancingan Kenji. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, lantas memutuskan untuk segera meninggalkan rumah Kenji. Jika penasaran pun, aku akan mendengarnya ketika kondisi hatiku sudah membaik.

Gisel berada di sisi kiriku, aku menggenggamnya dengan erat. Di tengah perjalanan, Gisel dengan takut-takut bertanya kepadaku.

“Kak, ijinkan ayah untuk tinggal bersama kita lagi ya.”

“Tidak.” aku menjawab dengan cepat dan tegas.

“Tapi kak, kasihan ayah.”

Aku menghentikan langkah dan menatap Gisel dengan tajam.

“Untuk apa mengasihani orang seperti itu?”

“Mau bagaimanapun, kita adalah keluarga kan kak. Ayah juga manusia biasa yang pernah berbuat salah. Gisel sudah memaafkan ayah, dan Gisel berharap kakak juga akan memaafkan ayah.”

Aku hanya diam mendengar penuturannya. Bukan karena isi perkataannya, melainkan karena kedewasaan yang dimiliki oleh adikku ini. Begitu rasional pola pikirnya, seolah ia bukan anak kecil yang tidak mengerti apa-apa. Hanya saja, aku masih belum bisa melakukan apa yang ia minta. Aku melanjutkan langkah kakiku sembari menarik tangan Gisel yang pasrah. Perjalanan pulang kami yang diiringi oleh langit gelap ini terasa sangat panjang.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version