Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 48 Setelah Dua Tangis
“Sama sepertimu Le, aku pun hidup dalam tekanan dan tuntutan dari kedua orangtuaku. Mereka mengharapkan anak yang sempurna dariku, seolah aku adalah alat yang harus bisa membuat mereka bangga. Apapun dilakukan untuk itu, termasuk menyumpahiku dan terkadang memukulku.
“Semula aku bertanya mengapa aku diperlakukan begitu kejam oleh orangtuaku sendiri, hingga aku menemukan jawabannya ketika orang yang kupanggil papa tanpa sengaja memberitahu fakta bahwa aku hanyalah anak yang dititipkan kepada mereka. Orangtuaku entah ke mana, mereka tak pernah bercerita.
“Anak yang dibuang, anak yang tidak tahu diri, dan lain-lain. Semua sebutan itu semakin sering mereka ucapkan akhir-akhir ini karena aku mulai melawan mereka. Jangan ditanya berapa pukulan bahkan tendangan yang mereka berikan ke aku.
“Jika sedang depresi berat, maka aku memutuskan untuk mengiris-iris tanganku dengan pecahan kaca. Entah mengapa rasanya sangat menyenangkan ketika aku bisa menyiksa diriku sendiri seperti ini. Luka-luka ini bisa membuatku melupakan sejenak kepahitan yang aku rasakan.”
Selama Rika bercerita, aku memandang getir ke arahnya. Siapa yang menyangka, anak seceria Rika memiliki lingkungan keluarga yang begitu buruk. Apakah kisahnya lebih pahit dari milikku, aku tidak bisa memilih.
“Kau hanya dititipkan?”
“Iya Le, sebenarnya mereka adalah om dan tanteku. Tanteku adalah adik dari ibuku. Hanya itu yang sebatas aku ketahui.”
Matanya mulai bereaksi terhadap apa yang ia rasakan, dan tak lama kemudian tumpahlah air mata yang selama ini berhasil ia tahan dengan baik agar tidak sampai keluar. Dulu Kenji, di mana ayah dan kakaknya meninggal seminggu sebelum masa MOS dimulai. Sekarang Rika dengan cerita kekerasan dalam keluarganya, bahkan tidak tahu siapa orangtua sebenarnya. Mengapa orang-orang ceria yang kukenal memiliki kisah yang pedih?
“Sabar ya Rika, maaf telah membuatmu bercerita tentang hal yang sensitif untukmu. Percayalah, aku akan selalu ada di sini untukmu sebagai teman, percayalah bahwa aku akan selalu bersedia untuk membantumu apapun itu.” kataku berusaha menenangkannya sembari memegang pundaknya.
Butuh waktu lama untuk Rika agar dapat menguasai dirinya sebelum ia bisa bersuara kembali. Melihat pipinya yang basah, aku berinisiatif membasuh pipinya dengan tanganku karena aku tidak memiliki tisu. Melihat wanita bersedih selalu membuatku ikut merasa sedih, mungkin karena sering melihat ibu di masa kecilku.
“Dan kau sering menyiksa dirimu dengan membuat goresan-goresan luka tersebut?”
“Iya Le, menjijikkan bukan? Kamu enggak akan tahu betapa menyenangkannya melihat darah yang keluar dari tangan kita.”
“Bagaimana kau bisa menikmati penyiksaan?”
“Karena aku tak punya jalan keluar lain Le, aku butuh pengalih dari perlakuan kedua orangtuaku. Mereka bukan orangtuaku, tapi aku tidak punya istilah lain untuk menyebut mereka.”
“Bukankah kau sangat gemar menulis cerita. Itu bisa menjadi pelarian yang efektif.”
“Iya, terkadang aku memang kabur ke alam fantasiku dan dulu sering berhasil. Namun lama kelamaan cara itu tidak lagi ampuh, dan pada akhirnya aku mencoba ini.”
Aku memandang penuh prihatin ke arahnya. Tidak mungkin luka-luka tersebut menjadi satu-satunya cara untuk membuat kita dapat melupakan sejenak penderitaan yang kita alami. Kalaupun bisa, aku yakin efeknya tidak akan bertahan lama.
“Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan ketika menerima perlakuan orang lain yang membuat depresi?” Rika bertanya kepadaku.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang aku lakukan dulu ketika sedang disiksa, baik secara verbal maupun fisik, baik oleh ayah maupun teman-teman.
“Dulu aku hanya bisa menangis, tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghadapi mereka semua. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk melawan mereka. Tidak hanya secara fisik, namun juga belajar hingga akhirnya dapat mengalahkan mereka semua secara akademik di sekolah.”
“Kamu punya kekuatan Le, aku? Bagaimana aku bisa melawan papaku?”
Pertanyaan tersebut tidak bisa aku jawab karena aku pun tidak tahu jawabannya. Aku mengalihkan perhatianku ke arah lain, tak kuasa memandang matanya. Sebaiknya aku menanyakan pertanyaan lain sembari berharap jawabannya akan aku temukan nanti.
“Mengapa menggunakan pecahan kaca, mengapa bukan menggunakan silet yang lebih tajam?”
“Hahaha, itu fakta yang salah Le. Pecahan kaca jauh lebih tajam dibandingkan silet. Kepuasan yang didapatkan dari silet tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pecahan kaca, begitupun benda-benda lain yang muncul di pikiranmu.”
Fakta tersebut justru semakin membuatku terdiam. Ternyata Rika sudah jatuh sedalam itu ke dalam lubang depresi yang menyiksa. Entah sudah berapa alat yang ia coba untuk menggoreskan luka di lengannya hingga ia menyadari bahwa pecahan kaca adalah yang tertajam.
“Kamu tahu Harry Potter Le?”
Aku menggelengkan kepala.
“Harry Potter adalah sebuah novel fenomenal tentang dunia penyihir yang terjual berjuta-juta eksemplar di seluruh dunia. Aku sangat menyukainya. Gara-gara novel itulah aku menyukai dunia fantasi. Selain itu, Harry sang tokoh utama, bernasib sama denganku.”
“Sama bagaimana?”
“Ia dititipkan kepada kakak ibunya karena kedua orangtuanya dibunuh oleh Voldemort, musuh utama dalam cerita tersebut. Harry hidup bersama paman bibinya dan ia sering mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama dengan yang kualami.”
Aku pun menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti, walaupun dalam hati berpikir keras bagaimana caranya membuat Rika merasa lebih baik. Ucapanku sebelumnya bahwa aku akan selalu ada untuknya nampaknya tidak terlalu berhasil.
“Tolong rahasiakan ini kepada teman-teman yang lain termasuk Kenji ya Le. Biarkan aku menanggung sendiri beban ini, aku enggak ingin teman-teman tahu. Mereka semua baik Le, aku tidak ingin membuat mereka khawatir.”
“Bagaimana dengan sanak saudaramu yang lain?”
“Huh, aku ditekan sedemikian rupa sehingga aku harus berpura-pura semua baik-baik saja ketika berhadapan dengan keluarga besar. Mulutku dibungkam Le, aku tidak bisa bilang apa-apa, bahkan untuk sekedar bertanya siapa orangtuaku sebenarnya.”
“Bagaimana aku bisa membantumu Rika?”
“Dengan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Aku mohon Le. Aku khawatir teman-teman akan semakin menjauhiku dengan kisah keluargaku yang seperti itu. Mereka mungkin bisa bertahan dari keanehanku mencampuradukkan dunia fantasi dan nyata, tapi aku yakin mereka tidak akan tahan melihat latar belakang keluargaku yang sebenarnya.”
Wajahnya serius, tak ada lagi rupa ceria itu. Inilah raut muka yang sebenarnya dari Rika, tanpa topeng. Guratan luka batinnya dengan jelas tergambar pada setiap lekuk inderanya. Menanggung beban berat itu sendirian jelas bukan pilihan yang bijak. Benar kata Kenji, bisa saja Rika bisa saja memutuskan untuk mengakhiri nyawanya ketika mencapai puncak depresi.
“Terima kasih ya Le sudah mau mendengarkan ceritaku, dan semoga bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanmu tentang diriku. Aku turut sedih mendengar cerita keluargamu yang seperti itu, semoga kamu dan ayahmu bisa berbaikan. Aku duluan ya.”
Rika beranjak dari bangkunya sembari menyesuaikan lagi wajahnya menjadi ceria seperti semula. Aku tidak bisa hanya berdiam diri seperti ini, Rika jelas membutuhkan bantuan. Aku harus melakukan sesuatu. Maka dengan spontan, aku ikut berdiri dan mendekap Rika dalam pelukanku sebelum ia terlanjur pergi.
“Dengar Rika, kau tidak punya kewajiban untuk menyimpan beban itu sendirian. Kau masih punya aku, masih punya teman-teman yang jauh dari segala prasangkamu tersebut. Yakinlah mereka akan dengan senang hati membantumu untuk melewati segala cobaan tersebut. Kami memang tidak bisa ikut campur dalam urusan keluargamu tersebut, tapi setidaknya kami bisa meringankan beban itu dengan menawarkan persahabatan yang hangat.”
Awalnya hanya keheningan yang menghampiri kami, hingga akhirnya Rika kembali terisak. Secara perlahan volume tangisnya semakin mengeras, tangannya pun semakin erat mencengkeram pundakku. Aku hanya bisa memberikan belaian lembut untuk membantunya merasa tenang kembali. Ketika tangisnya telah mereda, aku berusaha untuk mendudukkannya kembali.
“Kenji pernah berkata kepadaku, bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Kau tahu bahwa dulu aku selalu berusaha menyelesaikan semua permasalahanku sendiri karena keangkuhanku. Pertemuan dengan Kenji membuatku menyadari kekeliruan paradigma tersebut. Sampai saat ini aku memang tetap berusaha untuk mengandalkan diriku sendiri terlebih dahulu, namun tak akan segan meminta bantuan jika aku memang membutuhkannya.
“Kenji dan teman-teman yang lain, termasuk Sica, berhasil membuatku seperti sekarang. Mereka merupakan perantara Tuhan untuk mengeluarkan aku dari masa-masa kegelapan itu. Kini aku berharap, aku bisa menjadi perantara untuk mengeluarkanmu dari kegelapanmu itu, entah bagaimana caranya.”
Aku menunggu Rika berhasil meredakan tangisnya sebelum melanjutnya pembicaraan. Jelas aku telah menguras emosinya habis-habisan, membuatnya menangis dua kali dalam tempo waktu kurang dari setengah jam. Ada sedikit rasa bersalah yang muncul, namun aku menganggapnya perlu agar dapat membantu Rika.
“Sekarang, coba tenangkan dirimu, lalu jelaskan kepadaku apa yang kau inginkan?” tanyaku ketika Rika telah berhenti menangis.
“Aku ingin keluar dari rumah laknat itu. Lebih baik aku hidup sendiri daripada berada di neraka.”
“Mau ke mana?”
“Aku tidak tahu.” jawabnya sembari membuang muka.
“Menurutku pribadi, sudah saatnya kau mengatakan yang sejujurnya kepada kerabatmu yang lain. Bisa jadi salah satu dari mereka bisa menghadirkan solusi yang tepat untukmu. Memang resikonya tinggi, tapi aku tidak melihat ada cara lain.”
“Iya, akan kucoba nanti.”
“Apa kemungkinan terburuk jika kau melakukan itu?”
“Diusir mungkin, atau bahkan dikubur hidup-hidup. Aku sudah tidak terlalu peduli lagi.”
Gawat, nampaknya aku telah melangkah terlalu jauh dengan memberikan solusi yang kurang tepat.
“Kau tidak sungguh-sungguh berkata seperti itu kan?”
“Oh, kemungkinan itu memang ada. Tidak ada yang benar-benar peduli terhadapku di keluarga besarku, jadi menghilangnya diriku secara tiba-tiba juga tidak terlalu berpengaruh.”
Lalu wajahnya menyiratkan bahwa ia baru saja menemukan sebuah gagasan yang cemerlang. Aku tidak bisa menebak apa itu, sehingga aku memutuskan untuk bertanya secara langsung.
“Aku akan kabur dari rumah, aku bisa tinggal di mana saja. Dengan menghilangnya diriku, orang yang kusebut orangtua itu pasti akan kebingungan bagaimana akan menjelaskan hal tersebut kepada sanak saudara yang lain.” jawab Rika.
“Tunggu Rika, tunggu dulu. Mau ke mana dirimu tinggal? Apa kau punya uang untuk hidup sendiri?”
“Entahlah, aku benar-benar tidak tahu.”
“Yang jelas kau tidak bisa tinggal di rumahku atau Kenji. Coba saja…”
Tiba-tiba di kepalaku terbesit wajah seseorang, yang berdasarkan cerita Kenji, hidup sendirian bersama pembantunya. Lebih tepatnya, pembantu-pembantunya.
“Sarah.”
“Apa Le?”
“Sarah tinggal sendirian Rika, ia hanya hidup ditemani pembantunya. Orangtuanya sibuk dengan pekerjaannya. Aku rasa kau bisa tinggal bersamanya dan dia tidak akan merasa keberatan.”
“Tapi, aku sungkan Le, aku tidak mau merepotkan orang lain.”
“Biarlah aku yang berbicara dengan Sarah, ia pasti tidak akan menolak. Selain itu, kita perlu mendiskusikan permasalahan ini dengan Kenji. Bocah itu selalu memiliki penyelesaian yang lebih baik dariku.”
Maka, setelah dua tangis yang terjadi sore ini, kami berdua melangkah menuju rumah Kenji.
You must be logged in to post a comment Login