Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 81 Pembela Rakyat Tertindas
Awan mengajak aku dan Kenji untuk naik ke lantai dua. Kami diajak masuk ke sebuah ruangan yang berisi lemari buku dan meja kerja. Aku sempat melirik beberapa judul buku yang membahas seputar masalah HAM dan pelanggaran kemanusiaan. Saat masuk, Awan langsung berjongkok ke salah satu sudut ruang. Nampaknya ia sedang mengambil sesuatu dari laci bawah. Ketika ia membalikkan badan, terlihat setumpuk album foto di tangannya. Awan meletakkan album-album tersebut di atas meja dan kami pun mendekat ke arahnya.
“Album-album ini berisi foto om dan teman-teman sesama aktivis sewaktu kuliah dan selepas lulus. Kalian akan menemukan foto orangtua kalian di sini.”
Mendengar itu, aku pun menjadi sedikit antusias. Aku sudah melihat banyak foto mereka di album milikku sendiri, namun akan mendengar cerita langsung dari yang kenal dengan mereka jelas membuatku bersemangat.
Awan mulai membuka album pertama. Di sana, terlihat sekelompok mahasiswa lengkap dengan almamaternya sedang berpose ala tahun 80-an.
“Inilah formasi awal organisasi kami, namanya Pembela Rakyat Tertindas atau sering disingkat Peretas. Salah satu anggota kami yang maniak teknologi waktu itu memberikan usulan nama ini, dan kami setuju saja. Anggap saja kami adalah peretas kebusukan Orde Baru, begitu pikir kami.
“Organisasi ini didirikan kalau tidak salah ketika kami semester tiga. Kesadaran kami muncul ketika kerap melihat berbagai ketidakadilan yang terjadi di sekitar kami. Awalnya organisasi ini hanya berada di lingkup jurusan, lantas meluas hingga tingkat fakultas hingga universitas.
“Oleh karena itu Leon, kamu tidak akan menemukan Dewi di sini. Ia baru bergabung kemudian hari. Sangat jarang kami memiliki anggota dari Fakultas Teknik.”
Aku mendengarkan cerita Awan dengan saksama, namun mataku terpaku kepada foto dua orang yang ada di sudut kanan bawah album. Fotonya kecil, namun aku bisa mengenal mereka. Awan menyadari aku melihat ke arah mana, sehingga ia pun mulai bercerita.
“Bambang dan Ratih adalah salah satu pendiri utama dari organisasi ini. Mereka berdua sudah cocok satu sama lain sejak pertemuan pertama. Mereka sangat serius dalam berorganisasi dan tak kenal lelah. Wajar jika mereka berdua melanjutkan hubungan hingga ke jenjang pernikahan.
“Seperti katamu, om memang menjadi salah satu motor di organisasi. Akan tetapi, ayahmu tidak kalah hebat. Pemikiran-pemikirannya visoner, keadilannya kuat, serta tidak gentar menghadapi bahaya apapun. Bahkan untuk melindungi om, ayahmu memutuskan agar namanya saja yang dicatut sebagai pemimpin organisasi, sehingga om bisa aman dan tetap menjalankan organisasi.”
Awan terlihat menyeka air matanya yang hampir tumpah. Mataku pun berkaca-kaca karena merasa tahu apa cerita Awan selanjutnya.
“Karena itulah, ayahmu menjadi salah satu orang pertama yang hilang. Ketika organisasi semakin besar setelah kelulusan, kami mulai diburu oleh orang-orang yang terganggu dengan kami. Om sangat menyesal waktu itu, karena ayahmu baru saja menikah dan ibumu sedang dalam kondisi hamil. Seharusnya, om saja yang hilang, bukan ayahmu.”
Air mataku menetes begitu saja mendengar cerita heroik tersebut. Siapa yang menyangka kalau ayah kandungku adalah seseorang yang rela berkorban seperti itu. Seandainya saja aku sempat bertemu dengannya, hidupku pasti akan berbeda. Jauh berbeda.
“Setelah kamu lahir, Ratih memutuskan untuk mulai mencari suaminya yang hilang. Bahkan, ia menitipkan kamu ke Dewi, sahabat terbaiknya, seolah sudah memiliki feeling kalau dirinya akan segera menyusul suaminya hilang. Keputusan tersebut sebenarnya tepat, mengingat Dewi salah satu anggota yang kurang menonjol sehingga peluang untuk diburu sangat kecil. Kami semakin rapuh karena Lulu, ibu dari Kenji, meninggal ketika melahirkan. Hal ini membuat suaminya kewalahan, apalagi kakak Kenji juga butuh penanganan khusus.”
Aku melirik ke arah Kenji. Di luar dugaan, ia terlihat sangat tabah mendengarkan fakta ini. Entah bagaimana bocah ini bisa mengendalikan emosinya sedemikian baik.
“Karena Satoshi bukan termasuk anggota, kami sempat kehilangan kontak dengannya. Beruntung om berhasil bertemu dengannya pada tahun 2010 silam. Kondisi ekonominya benar-benar buruk, sehingga om menyarankan untuk menjual rumahnya di kota dan pindah ke kontrakan dekat rumah om, rumah yang sekarang Kenji tempati itu. Sayangnya, ia harus meninggal karena kecelakaan mobil. Om turut berduka cita yang sedalam-dalamnya ya, Kenji.”
Kenji menganggukkan kepala dengan mantap, sama sekali tidak air mata yang mengambang. Betapa kuat sahabatku yang satu ini. Aku saja yang sering menyombongkan diri tidak punya perasaan sudah menangis dari tadi.
“Terima kasih om, saya baru tahu cerita ini sekarang. Terima kasih banyak atas bantuannya,” kata Kenji yang direspon dengan anggukan pelan dari Awan.
“Semenjak beberapa orang hilang, organisasi jadi berantakan. Kebanyakan dari kami melakukan pelarian ke berbagai daerah, termasuk om. Om bahkan lari hingga ke sebuah desa di Pontianak karena kebetulan punya saudara di sana. Dari jarak jauh, kami masih sering memberi kabar melalui alat komunikasi seadanya, entah pager ataupun surat. Kami juga berkali-kali berganti nama samaran dan mengubah penampilan agar tidak dicurigai. Barulah setelah reformasi terjadi, om berani pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga lagi.”
Awan kembali termenung melihat foto-foto yang ada di hadapannya. Aku bisa memahami betapa berat bebannya ketika melihat kawan-kawan seperjuangannya harus menghilang, sedangkan ia masih bisa bertahan hidup hingga hari ini.
“Seandainya bisa, om akan menukar nyawa dengan nyawa teman-teman om yang hilang.”
“Kau tahu di mana makam kedua orangtuaku?” tanyaku setelah sekian lama aku terdiam.
“Tidak, mereka hilang tanpa jejak. Segala upaya yang dilakukan setelah reformasi tidak ada yang membuahkan hasil. Kami sudah mengadu ke KontraS, namun hasilnya nihil.”
“KontraS?” tanyaku tidak memahami istilah tersebut.
“Singkatan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Organisasi ini berfokus masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa. Enggak cuma itu, organisasi ini juga menangani berbagai bentuk kekerasan. Biasanya, kasus-kasus HAM akan diadukan melalui organisasi ini,” jawab Kenji secara gamblang.
“Kamu tahu banyak ya, nak,” Awan terlihat senang mendengar jawaban Kenji.
“Kebetulan saya kerja sebagai loper koran om, jadi tahu banyak istilah-istilah seperti itu,” sahut Kenji dengan ramah.
“Kalian tahu, kebanyakan orang-orang yang bergabung di Peretas merupakan orang-orang cerdas. Om enggak heran kalau kalian berdua termasuk siswa paling cerdas di sekolah.”
Aku dan Kenji hanya bereaksi singkat terhadap pujian tersebut dan melanjutkan aktivitas melihat foto-foto yang ada di hadapan kami.
“Sebenarnya, kasus apa saja yang om dan teman-teman hadapi?” tanya Kenji setelah melihat sebuah foto yang menggambarkan sebuah suasana rapat di sebuah ruangan sempit.
“Kami tinggal di daerah, bukan di kota besar. Oleh karena itu, kami memfokuskan diri untuk menangani perkara-perkara yang ada di sekitar kami. Salah satunya dalah kasus penggusuran tanah secara paksa yang dilakukan oleh perusahaan milik Wijaya. Ia tidak mau mengganti biaya ganti rugi sesuai ketentuan, dan menggunakan koneksinya di pemerintahan untuk mengusir penduduk setempat secara paksa. Bisa dibayangkan bagaimana masyarakat sipil yang tak bersenjata harus berhadapan dengan mereka. Kami pun kerap melakukan unjuk rasa untuk menuntut keadilan, namun usaha kami kerap nihil.
“Kami tidak menyerah begitu saja. Apalagi, semakin banyak kasus serupa karena Wijaya ingin melebarkan sayap bisnisnya. Ada isu di mana Wijaya membayar buruhnya di bawah standar. Kelompok Peretas dan Wijaya pun semakin kerap berbenturan. Awalnya hanya dianggap serangga pengganggu, lama kelamaan kami dianggap sebuah ancaman yang bisa membahayakan bisnisnya. Koneksinya sangat kuat di pemerintahan, konon katanya karena ia kerap menyogok mereka dengan nominal yang mencengangkan. Beberapa di antara kami pun ada yang pernah diberi uang tutup mulut agar menghentikan aktivitas kami.”
“Apakah ada yang tergiur dengan rayuan tersebut?”
Awan tersenyum pahit. “Banyak, beberapa anggota kami berasal dari keluarga yang kurang mampu. Jumlah yang ditawarkan kelewat cukup untuk kebutuhan sehari-hari sehingga tidak sedikit yang memutuskan untuk membelot dari organisasi. Bahkan beberapa di antara mereka menjadi pengkhianat dan menjadi mata-mata kami. Banyaknya anggota yang hilang juga disebabkan oleh mereka yang membocorokan informasi.”
Aku terkejut mendengar fakta ini. Bagaimana mungkin kau mengkhianati teman seperjuanganmu sendiri hanya demi rupiah? Aku benar-benar geram mendengar hal ini.
“Kau tahu siapa pengkhianat itu?”
“Tahu, tapi entah di mana mereka sekarang. Bawahan Wijaya yang mengancam om adalah mantan rekan seperjuangan. Kemungkinan besar, ia juga yang membuat rekayasa bunuh diri Dewi.”
Mendengar fakta tersebut, emosiku kembali meluap-luap. Ibuku tewas karena dikhianati oleh temannya sendiri? Hal ini membuatku berjanji untuk menemukannya dan membuat perhitungan kepadanya. Apapun akan kulakukan untuk menemukannya.
“Siapa namanya?”
“Namanya Markus. Kalau tidak salah, di album ini harusnya ada.”
Awan mulai membalik-balik album fotonya. Setelah ketemu, ia menunjuk seorang laki-laki dengan wajah keras dan kumis tipis di atas bibirnya. Tidak ada sehelai rambut pun di atas kepalanya. Aku merekam betul wajahnya di kepalaku agar bisa langsung menghajarnya ketika bertemu nanti.
“Seingatku, Malik bercerita kalau orang yang masuk ke rumahku waktu itu berambut cepak. Artinya, mereka orang yang berbeda?”
“Malik?”
Aku pun bercerita tentang kejadian Malik yang mengintip ke dalam rumahku di hari kematian ibu. Awan mendengarkan cerita tersebut baik-baik sambil memegang dagunya.
“Iya, Markus tidak pernah sendirian. Ia kerap ditemani temannya, salah satunya pria berambut cepak itu. Kalau dia bukan mantan orang organisasi.”
“Siapa lagi mantan orang organisasi yang bekerja untuk Wijaya?” tanya Kenji.
“Dulu ada sekitar sepuluh orang, tapi nampaknya yang tersisa hanya Markus ini.”
Aku memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan tersebut. Semua informasi yang kudapatkan hari ini berusaha aku satukan di dalam kepala. Aku sudah mendapatkan bayangan mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan apa yang harus kukejar di masa kini. Sekarang fokus kami adalah mencari orang yang bernama Markus ini. Si brengsek ini akan menjadi pembuka kami untuk bertemu dengan bosnya, Wijaya.
“Kurang lebih seperti itu yang bisa om ceritakan ke kalian. Ada pertanyaan lagi?”
“Rasanya untuk hari ini cukup om. Kalau ada yang kurang jelas, boleh kami menghubungi om?”
“Boleh saja, ini kartu nama om,” Awan mengambil selembar kartu nama dari kotak yang ada di atas mejanya, “kalian boleh telepon om kapan saja.”
“Kau sudah tidak takut lagi?” tanyaku setengah menyindir. Awan hanya tertawa ringan mendengar sindiranku.
“Entah mengapa melihat kalian semangat om kembali tumbuh. Selain itu, anak buah Wijaya tidak akan mencurigai anak SMA. Mereka tidak separno ketika sebelum reformasi. Om tebak, kalian akan mengusut kasus ini?”
“Benar om, kami memiliki seorang teman yang memiliki kakak orang HAM. Kemungkinan besar kami akan meminta bantuannya.”
“Oh iya? Siapa namanya?”
“Namanya Zane Trunajaya, om tahu?”
“Astaga, tentu saja tahu. Namanya sedang berkibar karena di usianya yang relatif muda ia begitu lantang bersuara. Kalau tidak salah, ia juga anggota KontraS atau setidaknya memiliki koneksi yang kuat. Aksi-aksinya nyata dalam membela keadilan orang-orang kecil. Bahkan tak sedikit yang menjagokan dia menjadi presiden selanjutnya walau yang bersangkutan sama sekali tidak tertarik. Kalian beruntung jika bisa bertemu dengannya.”
“Wah, semoga saja bisa om, kami masih berusaha membuat janji dengannya. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya. Kalau memungkinkan, kami ingin om menjadi saksi jika kami berhasil membawa kasus ini ke pengadilan.”
“Baiklah, om berjanji untuk kalian. Kalau yang muda saja punya semangat seperti ini, om yang sudah karatan ini seharusnya tidak boleh kalah semangat. Terima kasih karena sudah mengembalikan keberanian om yang sempat sirna.”
Setelah itu, kami berdua pun berpamitan pulang. Di dalam perjalanan, kami hanya diam satu sama lain. Hal ini wajar, mengingat infomasi-informasi yang kami dapatkan bersifat rahasia. Kami tidak boleh lengah sedikit pun meskipun kata Awan kami tidak akan dicurigai karena masih SMA. Awas saja, sebentar lagi semua keburukan mereka akan aku bongkar hingga tuntas. Aku tidak peduli berapapun harga yang harus kubayar. Bahkan, aku rela mati asal dendam ini berhasil terbalaskan.