Musik

Apakah Musik Rock Benar-Benar Telah Mati?

Published

on

Setelah menanti cukup lama, akhirnya ONE OK ROCK merilis album terbarunya yang diberi judul Luxury Disease pada tanggal 9 September 2022. Menariknya, nama tersebut merupakan terjemahan secara harfiah dari album pertama yang rilis 15 tahun lalu, Zeitakubyō.

Ini merupakan jarak produksi album terjauh dari ONE OK ROCK, di mana sebelumnya band ini hanya memiliki jarak dua tahun antaralbumnya. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat album ini dibuat di masa-masa pandemi yang mencekam.

Dari awal, Penulis sudah cukup skeptis dengan album baru mereka mengingat album Eye of the Storm yang terlalu pop. Meskipun single pertamanya yang berjudul Renegades cukup rock, sisa lagu di album ini bisa dibilang masih kurang rock.

Lantas, Penulis membaca sebuah artikel wawancara eksklusif ONE OK ROCK dengan Billboard. Dari sana, Penulis pun menjad paham mengapa band yang menggunakan embel-embel rock di namanya ini telah bertransformasi ke arah pop.

Ketika Musisi Mengikuti Kemauan Pasar

Taka dari ONE OK ROCK (JaME World)

ONE OK ROCK jelas sudah sangat terkenal di Jepang, di mana Taka mengaku tiket konser mereka selalu terjual habis. Mungkin karena itulah mereka ingin melebarkan sayap mereka ke pasar Amerika yang menjadi banyak kiblat musisi dunia.

Pada satu kesempatan, Taka selaku vokalis dari ONE OK ROCK pernah berkata kalau musik rock telah mati di Amerika. Itulah yang menjadi alasan utama mengapa di album sebelumnya band ini hampir menghilangkan unsur rock sama sekali.

Agar bisa diterima oleh pendengar Amerika, tentu band ini harus menciptakan lagu yang bisa masuk dan dinikmati oleh pendengar Amerika. Untuk itu, Taka dkk. pun melakukan banyak riset untuk mengetahui apa yang disukai oleh pendengar Amerika.

Hasilnya pun bisa terdengar di album Ambition (2017) dan Eye of the Storm (2019). Selain karena memiliki dua versi internasional, lagu-lagu yang dimiliki lebih easy listening dibandingkan album-album lainnya seperti 35XXXV (2015) yang sangat keras.

Saat menyiapkan album terbarunya ini, mereka merasa kalau tren saat ini telah berubah dan genre rock, pop-punk, hingga emo mulai bangkit lagi. Selain itu, mungkin mereka sudah cukup percaya diri dengan tingkat popularitas mereka di pasar Amerika.

Oleh karena itu, mereka pun kembali memasukkan unsur rock di albumnya yang sejatinya merupakan jati diri mereka sendiri. Ketika mendengarkan album Luxury Disease, memang beberapa lagu menyisipkan unsur rock dan suara tinggi khas Taka.

Hanya saja, bagi Penulis unsur rock-nya masih kurang, sehingga Penulis merasa kalau eksistensi genre ini patut dipertanyakan.

Apakah Musik Rock Benar-Benar Sudah Mati?

Siapa yang Suka Musik Rock? (Freepik)

Ketika mengamati teman-teman dan keluarga di sekitar Penulis, harus diakui bahwa orang yang menyukai genre rock sangat sedikit, bisa dihitung dengan hitungan jari. Mungkin karena tidak semua suka musik yang keras.

Genre yang merajai para pendengar saat ini, setidaknya menurut pengamatan Penulis, adalah lagu yang memiliki unsur EDM, K-pop, hip-hop, dan pop. Entah ada berapa banyak penyanyi, grup musik, atau DJ yang berada di pasar ini.

Akibatnya, musik rock pun seolah terdesak ke pinggir dan hanya didengarkan oleh beberapa penggemar yang setia. Ini berbeda dengan era 70-an, di mana musik rock bisa bertahan meskipun genre disko juga sedang hype waktu itu.

Tidak percaya? Coba cek daftar tangga lagu di Billboard Top 100. Cari apakah ada rock band di sana. Fenomena ini telah berlangsung lama, kurang lebih sejak masuk ke tahun 2010-an atau masuk ke era musik modern.

Sebagai perbandingan, di tahun 2005 ada 8 rock band yang masuk ke daftar, di tahun 1995 ada 11 rock band, dan di tahun 1985 ada 19 rock band (belum termasuk musisi solo). Dari sini, bisa dilihat adanya penurunan yang sangat signifikan.

Siapa Gun ‘N Roses di Era Modern? (NME)

Apa yang menyebabkan hal ini? Satu jawaban yang jelas adalah begitulah mekanisme industri musik bekerja. Untuk bisa menghasilkan uang, tentu harus memproduksi lagu yang akan disukai oleh mayoritas pasar, bukan minoritas yang jumlahnya tidak seberapa.

Sama seperti industri televisi dan film, akan lebih banyak orang yang memproduksi apa yang diinginkan oleh pasar, bukan sebuah karya masterpiece yang susah dimengerti dan hanya disukai oleh segelintir orang.

Jadi, apakah musik rock benar-benar sudah mati? Mungkin belum, tapi bisa jadi akan makin meredup jika pasarnya benar-benar menghilang. Akan ada segelintir musisi yang akan tetap berkarya di jalur rock, tapi jumlahnya tidak akan banyak.

Selain itu, tidak ada yang salah dengan selera musik masyarakat. Setiap individu berhak untuk memilih musik mana yang akan mereka sukai, sehingga Penulis pun tidak menyalahkan siapapun atas meredupnya musik rock di era modern.

Penutup

Strategi yang dilakukan oleh ONE OKE ROCK sebenarnya cukup lumrah dilakukan, di mana musisi harus mengikuti arah pasar demi memperluas pendengar atau sekadar mempertahan eksistensi mereka di industri musik yang terkenal cukup keras.

Evolusi musik menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, seperti yang pernah terjadi pada band besar seperti Linkin Park dan 30 Second to Mars. Jika bersikukuh dengan idealisme yang dimiliki, maka siap-siap saja untuk tersingkir dari kompetisi.

Namun, dampak yang dihasilkan dari evolusi ini adalah terpinggirkannya genre musik yang sudah tidak sesuai dengan pasar. Penulis sendiri merasa cukup kesulitan untuk menemukan pengganti dari band-band rock favoritnya.

Bisa jadi sebenarnya Penulis saja yang kurang banyak mencoba mendengarkan lagu-lagu dari band lain dan terlalu nyaman dengan lagu-lagu lama yang sudah didengar ribuan kali. Apakah mungkin sekarang saat yang tepat untuk mencari band baru? Bring Me The Horizon mungkin?


Lawang, 24 September 2022, terinspirasi setelah mendengarkan album Luxury Disease dari ONE OK ROCK

Foto: PingPoint

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version