Produktivitas

Kenapa Saya Berhenti Main TikTok

Published

on

Jika ditanya apa aplikasi paling populer saat ini di Indonesia, mungkin jawabannya adalah TikTok. Aplikasi yang pernah dijuluki sebagai “aplikasi goblok” ini rasanya hampir terpasang di semua gawai generasi milenial.

Penulis pun sempat mengunduhnya dan memakainya selama beberapa bulan. Ternyata, TikTok bukan sekadar aplikasi buat joget-joget. Ada banyak ilmu dan inspirasi yang bisa kita dapatkan dari sini.

Hanya saja, pada akhirnya Penulis memutuskan untuk berhenti main TikTok dan menghapusnya dari ponsel. Apa alasannya?

Algoritma Candu

Dibuat Sebagai Candu (Prototypr)

Penulis pernah membuat artikel berjudul Dilema (Media) Sosial Kita yang terinspirasi dari film dokumenter berjudul The Social Dilemma. Pada film tersebut, kita akan melihat pengakuan orang-orang yang pernah terlibat dengan pembuatan media sosial.

Salah satu hal yang mengerikan adalah bagaimana semua platform tersebut berlomba-lomba untuk membuat kita betah menggunakannya selama berjam-jam. Istilahnya adalah algoritma candu.

Berbeda dengan timeline Instagram dan Twitter yang hanya menampilkan akun yang kita follow, TikTok akan terus menunjukkan video-video yang sesuai dengan preferensi kita tanpa perlu mem-follow akun yang membuat video tersebut.

Apalagi, fitur unlimited scroll-nya benar-benar membuat kita tidak merasa sudah menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar. Dengan algoritma candu yang dimiliki, TikTok menjadi aplikasi yang cocok untuk menghabiskan waktu.

Penulis juga salah satunya. Meskipun sudah menggunakan aplikasi yang membatasi waktu penggunaan, tetap saja terkadang Penulis melanggar dan memainkan aplikasi TikTok melebih jatah waktu harian.

Dulu Penulis membela diri dengan berkata kepada diri sendiri kalau ada banyak manfaat dari TikTok. Bahkan, Penulis mencatat beberapa ilmu yang tanpa sengaja Penulis temukan di buku catatannya.

Akan tetapi, sekarang Penulis sadar kalau itu semua hanya alibi semata untuk bisa bermain TikTok lebih lama. Semakin lama kita menggunakan TikTok, semakin mereka mendapatkan keuntungan dari “menjual” preferensi kita ke klien mereka.

Banyak Manfaatnya sih, tapi…

Banyak Baik atau Buruknya? (The Jakarta Post)

Penulis mengakui ada banyak ilmu yang bisa didapatkan di TikTok. Banyak content creator yang lihai membuat konten edukasi dengan format yang menyenangkan atau konten motivasi yang sangat menginspirasi.

Pertanyaannya, apakah kita membutuhkan semua informasi tersebut?

Dari pengalaman Penulis sendiri yang mencatat berbagai ilmu di TikTok, mayoritas apa yang sudah dicatat tidak pernah dibutuhkan sampai sekarang. Semua inspirasi dan motivasi yang lewat pun sekarang sudah terlupa begitu saja.

Jika kita membutuhkan bantuan dalam mengerjakan sesuatu, bukankah ada Google? Misal ada orang yang sharing tentang Digital Marketing, bukankah banyak situs yang menjelaskan tentang hal tersebut bahkan secara lebih terperinci?

Misal ada orang yang sharing tentang penggunaan bahasa Inggris yang benar, bukankah Google juga sudah menyediakan banyak jawaban dari berbagai sumber? Seberapa banyak informasi yang kita lihat selintas di TikTok bertahan di pikiran kita?

TikTok memang memiliki banyak manfaat, terutama kalau kita suka menonton video-video yang memiliki value sehingga kita terus diberikan rekomendasi video serupa.

Pertanyaannya, lebih banyak mana video yang seperti itu dibandingkan video yang kurang bermanfaat?

Entah itu video yang pamer kemolekan tubuhnya, pertunjukkan kecantikan/ketampanan paras wajah, pamer kekayaan ala sultan, drama tidak penting, dan lain sebagainya. Ada saja “racun” yang muncul di linimasa dan bisa memengaruhi pola pikir kita.

Belum lagi kemungkinan tersebarnya berita hoax yang bisa menimbulkan ketakutan. Penulis ingat ketika ada informasi kalau Jawa akan terkena tsunami. Padahal, berita aslinya hanya menyebutkan potensinya, bukan akan benar-benar terjadi dalam waktu dekat.

TikTok dan Cepatnya Hal Menjadi Viral

Kenapa Harus Viral? (TEKNO DILA)

Penulis paling sering mengkhawatirkan besarnya pengaruh aplikasi ini ke penggunanya, terutama generasi milenial. Coba dihitung sudah berapa kali apa yang viral di TikTok menjadi begitu populer bahkan sampai diundang ke berbagai stasiun televisi.

Masalahnya, seringkali hal yang viral adalah hal yang tidak jelas dan kurang berfaedah. Kita juga seolah ikut arus begitu saja tanpa berpikir kenapa hal remeh seperti itu bisa menjadi sedemikian populer.

Hal ini benar-benar menjadi perhatian bagi Penulis. Kenapa jarang sekali ada orang yang kritis terhadap sesuatu yang viral? Kenapa seolah yang viral itu otomatis dianggap wajar dan seolah yang ketinggalan dianggap ketinggalan zaman?

Dulu, Penulis sempat merasa FOMO (Fear Out Missing Out) jika tidak menggunakan TikTok. Takut tidak paham jika diajak bicara sama seseorang tentang apa yang trending saat ini.

Sekarang, Penulis tidak memusingkan hal tersebut sama sekali. Mau tidak paham sekalipun Penulis bisa bodo amat. Biarlah yang viral menjadi viral tanpa perlu Penulis ikut memviralkannya.

Penutup

Awalnya, Penulis mencoba untuk tidak membuka aplikasi TikTok selama beberapa hari. Ternyata, Penulis bisa berhenti total selama 2 bulan dan tidak merasa kehilangan apa-apa. Akhirnya, Penulis memutuskan untuk menghapus aplikasi tersebut.

Penulis tidak mengajak orang-orang untuk berhenti menggunakan aplikasi TikTok. Mungkin Pembaca bisa lebih bijak dalam menggunakan TikTok dibandingkan Penulis. Apalagi, TikTok bisa menjadi media hiburan yang berkualitas dengan kehadiran content creator yang kreatif.

Hanya saja, Penulis merasa TikTok lebih banyak buruknya dibandingkan manfaatnya bagi dirinya sendiri. Aplikasi ini terasa sebagai aplikasi kontra-produktif yang membuat Penulis membuang-buang waktunya.

Tidak hanya TikTok, Penulis hampir mengurangi semua aktivitasnya di media sosial. Penulis menghapus Twitter di ponselnya dan menggunakan Instagram hanya untuk membaca komik dari author favoritnya.

Harapannya, Penulis menjadi lebih produktif dan bisa memanfaatkan waktunya untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat seperti menulis artikel blog ataupun baca buku.

Lawang, 19 April 2021, terinspirasi setelah menghapus aplikasi TikTok

Foto: The Jakarta Post

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version