Politik & Negara

Mengamati Pilpres 2024 Bagian 3: Setelah Hari Pencoblosan

Published

on

Proses pemilihan umum presiden (pilpres) telah selesai pada tanggal 14 Februari 2024 lalu. Menurut hasil perhitungan sementara, kubu 02 unggul di mana-mana, baik dari quick count maupun perhitungan resmi dari KPU yang masih sedang berlangsung.

Melansir dari situs resmi KPU ketika artikel ini ditulis, kubu 02 unggul dengan perolehan 58,61%, disusul oleh kubu 01 (24,26%) dan kubu 03 (17,14%). Peluang pilpres akan terjadi satu putaran sangat besar, apalagi 02 juga menang di banyak provinsi.

Meskipun hasilnya sudah terlihat, pengumuman resminya sendiri baru akan keluar pada tanggal 20 Maret 2024 atau sekitar satu bulan lagi. Sembari menunggu, Penulis ingin mengajak Pembaca sekalian untuk melakukan refleksi atas pilpres yang baru saja berlangsung.

Tiga Calon, Tetap Terpolarisasi

Salam Empat Jari (BBC)

Dalam dua pilpres terakhir di tahun 2014 dan 2019, polarisasi antarmasyarakat sangat kental terjadi. Bentrokan antara kedua pendukung cukup keras, baik secara langsung maupun di dunia maya. Masing-masing kubu merasa pihak merekalah yang paling benar.

Ketika mengetahui kalau pilpres kali ini akan memiliki tiga calon, Penulis berharap tidak akan ada lagi polarisasi. Kenyataannya, polarisasi tetap saja terjadi. Pihak 01 dan 03 seolah bergabung untuk melawan 02.

Fenomena ini menimbulkan beberapa gerakan, mulai dari Salam Empat Jari (merujuk kepada penjumlahan 1 ditambah 3) hingga tagar #AsalBukan02 atau #AsalBukanPrabowo. Artinya, polarisasi terjadi antara kubu Pro-Prabowo dan Kontra-Prabowo.

Mengapa ada banyak pihak yang tidak ingin Prabowo berkuasa? Tentu ada banyak alasannya. Dari yang Penulis himpun dari berbagai sumber, beberapa alasannya adalah:

  • Masalah pencalonan Gibran sebagai wakil yang berawal dari polemik di Mahkamah Konstitusi
  • Bayang-bayang kasus pelanggaran HAM di masa lalu
  • Lingkaran oligarki di sekeliling Prabowo dan Gibran
  • Kegagalan Food Estate yang merusak hutan
  • Adanya perusahaan-perusahaan kroni Prabowo yang bekerja di proyek pemerintah, seperti PT TMI dan PT Agrinas
  • Prabowo dianggap pro-Israel dan Zionisme karena beberapa pernyataannya
  • Masyarakat yang menginginkan perubahan dari rezim Jokowi
  • Gagasan dan program kerja yang dianggap tidak realistis, bahkan berpotensi memberatkan rakyat
  • Jarangnya kemunculan mereka dalam diskusi publik yang diadakan oleh berbagai lembaga/badan
  • Ketakutan akan kembalinya masa Orde Baru yang suram
  • Dan lainnya

Tentu ada counter dari pihak 02 dan pendukungnya, yang mengatakan bahwa mereka yang tidak ingin Prabowo berkuasa adalah mereka yang takut Indonesia menjadi bangsa yang hebat dan kuat. Mereka percaya, Prabowo ditakuti oleh banyak pihak, terutama dari asing.

Mana yang benar? Penulis akan mengembalikan jawabannya ke Pembaca.

Ketika Intelek Menjadi Ejekan

Polarisasi ini juga menimbulkan satu hal yang lucu. Jika di pemilu sebelumnya kita disuguhkan Kadrun vs Cebong, maka di pemilu kali ini kita tidak akan menjumpai hal yang sama.

Sebagai gantinya, kata “intelek” atau sejenisnya yang berkonotasi positif berubah menjadi ejekan. Jika mengamati di media sosial, biasanya kata ini muncul dari pendukung kubu 02 setelah diberikan fakta maupun data oleh pendukung pihak 01/03.

Hal ini juga membuat kata-kata all in (yang sebenarnya lekat dengan judi) sangat identik dengan kubu 02. Mau diberikan fakta atau data seterang apapun, pendukungnya akan tetap all in mendukung kubu 02.

Kita harus mengakui kalau pendukung 02 sangat militan, kalau tidak mau dibilang fanatik.

Pengaruh Dirty Vote yang Tidak Terlalu Berpengaruh

Menjelang beberapa hari sebelum pencoblosan, sebuah film berjudul Dirty Vote tayang di YouTube saat masa tenang. Film tersebut cukup ramai, di mana saat artikel ini ditulis view-nya nyaris mencapai 10 juta.

Film tersebut merupakan dokumenter yang merangkum berbagai kejanggalan di sekitar pemilu 2024. Film ini “menjahit” berita, video, dan lainnya menjadi satu kesatuan. Semua pihak disebut, tapi harus diakui kalau kubu 02 yang paling sering kena.

Ada banyak hal (atau pelanggaran) yang dibahas pada film ini, mulai dari banyaknya menteri yang aktif berkampanye tanpa cuti, politisasi bansos, pemekaran kabupaten, pengerahan kepala desa untuk memilih calon tertentu, dan masih banyak lainnya.

Namun, “menu utama” dari film ini adalah kejanggalan yang terjadi dalam tubuh Mahkamah Konstitusi (MK), yang dianggap sebagai pemulus agar Gibran yang berusia di bawah 40 tahun bisa maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo.

Tentu polarisasi terjadi lagi dalam menyikapi film tersebut. Ada yang mengatakan kalau Dirty Vote hanya menyampaikan fakta kecurangan pemilu yang terjadi secara TSM (terstruktur, sistematis, masif). Buktinya terpampang jelas sepanjang video.

Di sisi lain, Dirty Vote dianggap sebagai sebuah fitnah untuk menjatuhkan kubu 02. Apalagi, film tersebut ditayangkan di masa tenang di mana seharusnya tidak ada narasi-narasi untuk menjatuhkan pihak tertentu.

Mana yang benar? Sekali lagi, Penulis kembalikan jawabannya kepada Pembaca. Namun, menurut Penulis yang menonton filmnya secara penuh, Dirty Vote hanya menyampaikan fakta-fakta yang sudah terjadi ditambah analisis dari ahli.

Hanya saja, harus diakui kalau pengaruh Dirty Vote tidak terlalu besar. Pendukung 02 tetap all in, walaupun sebagian besar dari mereka menolak untuk menonton film tersebut karena berbagai alasan.

Kehilangan Kesempatan Dipimpin oleh Anies Baswedan

Anies Baswedan (Kompas)

Setelah pengumuman kemenangan Prabowo-Gibran, banyak netizen yang merupakan pendukung kubu 01 merasa Indonesia kehilangan kesempatan untuk dipimpin oleh orang sekaliber Anies Baswedan.

Tak sedikit yang menyamakan Anies dengan almarhum BJ Habibie, mengingat keduanya berasal dari kalangan intelektual. Bahkan, lelucon yang mengatakan, “Kita diberi kesempatan untuk memiliki presiden seperti Habibie, tetapi malah memilih Soeharto versi baru.”

Sama seperti calon lainnya, tentu ada banyak hal buruk yang dialamatkan kepada Anies. Dosa politik identitas di pemilihan gubernur 2017 hingga realisasi rumah DP 0% yang jauh dari target menjadi “peluru” utama untuk menyerangnya.

Namun, Penulis menemukan beberapa netizen (yang kemungkinan besar pendukung 01) yang memberikan beberapa capaian Anies selama menjadi gubernur Jakarta selama 5 tahun. Berikut Penulis cantumkan beberapa di antaranya:

Mau suka atau tidak suka, keikutsertaan Anies dalam konstestasi politik di 2024 ini melawan “Menteri Pertahanan dan Tiga Kali Ikut Pilpres” dan “Walikota Solo dan Anak Jokowi” harus diapresiasi.

Bagaimana tidak, Anies yang tidak punya partai berhasil mendapatkan seperempat suara pemilih. Meskipun kalah, ia dianggap mewariskan gagasan yang baik melalui “Desak Anies” di mana rakyat bisa berdialog langsung dengan calon pemimpinnya.

Cara tersebut memang dianggap tidak efektif untuk meraup suara karena akan susah untuk bisa menyentuh grassroot. Namun, setidaknya bagi Penulis pribadi, keterbukaan untuk diskusi tersebut akan Penulis jadikan sebagai salah satu parameter dalam memilih pemimpin.

Penutup

Jujur, Penulis memiliki banyak kekhawatiran dengan terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai pemimpin. Oligarki yang makin kuat, politik dinasti yang makin dinormalisasi, kebebasan berpendapat yang makin dikekang, hingga kontrol media yang makin ketat.

Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Penulis berharap kalau ketakutan dan kekhawatiran tersebut tidak akan pernah terjadi. Semoga saja Penulis selama ini salah dalam menilai Prabowo dan Gibran, ternyata mereka memang sosok yang dibutuhkan Indonesia.


Lawang, 19 Februari 2024, terinspirasi setelah pilpres telah selesai dilakukan

Foto Featured Image: Viva

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version