Renungan

Apa yang Saya Pelajar dari Video Asumsi Mengenai Bantar Gebang

Published

on

Kemarin siang ketika selesai makan siang, tanpa sengaja Penulis mendengarkan sebuah video YouTube dari TV yang sedang ditonton oleh ibu. Hanya sepintas, tapi entah mengapa langsung tertangkap oleh telinga Penulis.

Video tersebut merupakan sebuah video dari Asumsi yang sedang mewawancarai orang-orang di Bantar Gebang, sebuah tempat di Bekasi yang terkenal sebagai tempat pembuangan sampah akhir. Istilah kerennya, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST).

Salah satu narasumber di video tersebut mengatakan kalau ternyata penghasilan pemulung di sana lumayan mencukupi. Bahkan, ada yang berhasil membangun rumah hingga membeli mobil.

Karena merasa penasaran, malamnya Penulis pun memutuskan untuk menonton video lengkapnya. Dari sana, ternyata Penulis merasa mendapatkan banyak hal yang bisa dijadikan sebagai pelajaran dalam hidup ini.

Bantar Gebang, Tempat Sampah dengan Tumpukan Makna

Penulis mengetahui nama Bantar Gebang pertama kali melalui novel Aroma Karsa karya Dee Lestari. Tokoh utama di novel tersebut digambarkan tinggal di sana dan dianugerahi dengan indra penciuman yang tajam.

Selain itu, Dee Lestari juga membahas mengenai tempat tersebut lebih detail melalui bukunya yang lain berjudul Di Balik Tirai Aroma Karsa. Di buku ini, Dee menceritakan perjalanan risetnya ke Bantar Gebang untuk lebih mendalami penceritaannya.

Berbekal kedua buku tersebut, Penulis pun berasumsi kalau Bantar Gebang adalah tempat pembuangan sampah raksasa. Sudah, hanya sebatas itu. Tidak ada yang menarik dari sebuah tempat sampah.

Pendapat tersebut ternyata berubah setelah Penulis menonton video dari Asumsi yang melakukan dokumentasi ke sana. Ada beberapa poin yang Penulis catat sebagai pelajaran untuk dirinya sendiri, dan semoga juga bisa menginspirasi para Pembaca sekalian.

Bagi Kita Sampah, Bagi Mereka Harta Karun

Dalam salah satu komik Doraemon, ada alat yang membuat semacam lubang dimensi. Nobita dengan otak bisnisnya pun membuka jasa bagi orang-orang yang ingin membuang sampahnya. Apesnya, Doraemon tersedot masuk dan terbawa ke masa lampau.

Barang-barang yang dianggap sebagai sampah orang modern ternyata bermanfaat untuk orang zaman dulu, bahkan sampai menjadi “inspirasi” untuk cerita rakyat. Setelah berhasil kembali ke zaman sekarang, Doraemon pun menjadi selektif dalam membuang sampah.

Nah, itulah yang benar-benar terjadi bagi orang-orang yang tinggal di Bantar Gebang. Barang yang sudah kita anggap sebagai sampah ternyata bisa menjadi semacam harta karun untuk mereka. Bagi kita bukit sampah, bagi mereka bukit emas.

Para pemulung bisa menemukan barang-barang bagus yang bisa dijual ke penadah dan mendapatkan pemasukan dari sana. Tak jarang, mereka menemukan makanan dan minuman sisa yang sudah dibuang untuk dikonsumsi!

Kemampuan Adaptasi Manusia yang Luar Biasa

Orang gila yang makan dari sampah mungkin sudah biasa, tapi bagaimana dengan orang waras yang melakukan itu? Penulis baru menyadari kalau ternyata ada banyak yang melakukan hal tersebut. Pemulung di Bantar Gebang melakukan hal-hal tersebut.

Mungkin, itu adalah salah satu upaya survive mereka dari kerasnya kehidupan di sana. Meskipun katanya mereka bisa membangun rumah dengan memulung, mungkin mereka sudah terbiasa makan dari sampah demi mengirit pengeluaran.

Penulis merasa heran atas kemampuan adaptasi tubuh orang-orang di Bantar Gebang. Secara logika, makanan yang sudah menjadi sampah tentu penuh dengan kuman dan penyakit, tapi mengapa mereka terlihat sehat-sehat saja dan jarang sakit?

Tak salah lagi, keadaan telah memaksa tubuh mereka melakukan adaptasi yang luar biasa. Demi bisa bertahan hidup, tubuh pun harus menjadi lebih tangguh dalam menghadapi berbagai potensi bahaya yang masuk dari makanan-makanan sisa tersebut.

Terlihat Hina, Padahal Berkecukupan

Penulis benar-benar kaget ketika mendengar pengakuan narasumber di video tersebut (seorang penadah) yang mengatakan kalau anak buahnya yang pemulung ternyata bisa membangun rumah di kampungnya, yang dianggapnya lebih bagus dari rumahnya sendiri.

Tidak cukup sampai di situ, ada banyak pemulung yang berhasil mencicil motor hingga mobil. Jujur, logika Penulis tidak sampai ke sana bagaimana mereka bisa mengelola uangnya dengan begitu baik.

Bagi orang di luar Bantar Gebang, mungkin pekerjaan sebagai pemulung adalah pekerjaan yang hina dan kotor. Namun, nyatanya mereka bisa hidup bahagia dan mampu memiliki berbagai aset.

Ini berkebalikan dengan beberapa orang di kota besar, di mana dari luar keliatan borjuis dan bergaya hidup mewah, padahal barangnya banyak yang kredit, bahkan ada yang hanya pinjaman. Semua demi menjaga gengsi semata. Pertanyaannya, mana yang lebih hina?

Mereka Belajar Finance dari Mana?

Si penadah yang sudah Penulis sebutkan di atas ternyata menginvestasikan sebagian penghasilannya untuk beternak kambing. Katanya, seandainya ada hal buruk terjadi seperti pandemi kemarin, setidaknya ia punya sesuatu untuk dijual demi menyambung hidup.

Selain itu, ada juga seorang penjaja warung di Bantar Gebang. Ia memiliki semacam lapak di atas tumpukan sampah. Menurut pengakuannya, ia bisa mendapatkan penghasilan dalam sehari antara ratusan ribu hingga jutaan rupiah dalam sehari.

Ia mengatakan kalau separuh dari pemasukan tersebut ia tabung. Hasilnya, ia pun sudah bisa punya rumah sendiri. Kenyataan ini benar-benar menampar Penulis: Mereka tidak pernah belajar tentang finance, tapi pengelolaan uangnya sangat baik!

Penulis merasa dirinya cukup banyak membaca posting atau menonton video seputar finance, tapi belum bisa di level mereka. Memang ada banyak faktor lain yang memengaruhi ini seperti gaya hidup, tapi Penulis ingin fokus dengan kehebatan mereka dalam mengelola uang.

Nikmat Mana Lagi yang Aku Dustakan?

“Tidak ada orang yang susah, adanya orang yang malas,” tutur penjaja warung di video tersebut. Satu kalimat sederhana yang keluar dari orang biasa, tetapi mampu membuat Penulis merasa malu.

Dibandingkan mereka, Penulis tentu merasa memiliki banyak privilege dalam hidupnya. Penulis jadi merasa bertanggung jawab untuk bisa memanfaatkan privilege tersebut untuk bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dan bisa bermanfaat untuk orang banyak.

Selain itu, Penulis juga sadar kalau selama ini dirinya selama ini terlalu banyak mengeluh. Iya memang kemampuan orang dalam menghadapi masalah beda-beda, tetapi Penulis tidak ingin menjadikan hal tersebut sebagai pembenaran untuk mengeluh.

Penulis jadi banyak-banyak bersyukur karena tidak perlu menjalani kehidupan berat seperti mereka yang setiap hari harus bekerja dengan risiko tinggi. Di TPST seperti itu, terlindas buldoser atau terpapar cairan kimia berbahaya bisa terjadi.

Penulis juga jadi lebih mensyukuri setiap makanan yang disantapnya, bersyukur bisa bekerja di tempat yang nyaman, dan lain sebagainya. Sesungguhnya Penulis jadi sadar, betapa banyak nikmat yang telah Penulis dustakan selama ini.

Penutup

Ketika membaca kolom komentar, mayoritas memuji Asumsi karena “berani” dan totalitas dalam menyusun video tersebut. Bagaimana tidak, sang host sampai nekat untuk memakan makanan bekas!

Bagi Penulis, melihat sisi kehidupan lain yang selama ini tak terpikirkan memang menarik. Penulis jadi mengetahui ada kehidupan seperti di Bantar Gebang yang begitu unik dan berwarna. Kondisi yang memaksa memunculkan celah untuk bertahan hidup.

Mungkin ke depannya Penulis akan lebih sering menonton video-video dokumenter seperti ini agar Penulis bisa mengerti bagaimana kehidupan di luar sana dan membantu Penulis untuk bisa menjadi manusia yang lebih bersyukur.


Lawang, 11 Oktober 2022, terinspirasi setelah menonton video Asumsi mengenai Bantar Gebang di YouTube

Foto: Detik

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version