Sosial Budaya
Benarkah Era Toko Buku akan Segera Berakhir?
Beberapa waktu lalu, toko buku Gunung Agung yang legendaris resmi tutup. Penulis sendiri hanya pernah sekali berkunjung ke toko yang ada di daerah Kwitang. Tampaknya, memang toko buku yang satu ini harus mengakui kekalahannya melawan zaman.
Merasa penasaran dengan kasus ini, Penulis pun menonton video dari Dr. Indrawan Nugroho yang berjudul “Kiamat Toko Buku”. Secara logika, tentu hal ini masuk akal mengingat kita memang tengah berada di era digital, sehingga keberadaan buku fisik terasa tak relevan lagi.
Pada tulisan kali ini, Penulis ingin membahas mengenai toko buku dan bagaimana zaman makin mendorongnya ke pinggir dari perspektif pribadi, mengingat Penulis adalah orang yang cukup rajin untuk mampir ke toko buku.
Pada Dasarnya, Tingkat Literasi Kita Sudah Rendah
Mungkin para pembaca sudah tahu kalau negara kita tercinta memiliki tingkat literasi yang rendah. Berdasarkan data dari Program for International Student Assessment (PISA) di tahun 2019, Indonesia hanya menempati peringkat 62 dari 70 negara.
Data lain dari UNESCO menunjukan bahwa persentase orang Indonesia yang suka membaca adalah 0,0001% atau 1:1000. Jadi, dari 273 juta penduduk Indonesia, yang gemar membaca sekitar 273 ribu orang saja.
Kalau mau menggunakan logika kasar, dengan rendahnya tingkat literasi, maka tingkat daya beli masyarakat terhadap buku tentu akan ikut rendah. Setidaknya, masih ada sarana yang menyediakan buku gratis seperti perpustakaan.
Jika melihat sekitar, Penulis juga jarang menemukan teman atau kenalan yang juga memiliki hobi membaca, dan lebih jarang lagi yang membeli buku. Maka dari itu, tak heran jika banyak teman yang meminjam ke Penulis jika sedang ingin membaca sesuatu.
Apalagi, kita sudah dibuat tergantung sedemikian besar dengan gawai, sehingga keberadaan buku semakin terasa tidak diperlukan. Ketika buku terasa tidak dibutuhkan, toko buku pun perlahan akan terus ditinggalkan, hingga akhirnya harus menyerah dan tutup.
Apakah Toko Buku Sudah Kehilangan Relevansinya?
Dulu ketika masih kuliah, dalam satu bulan setidaknya Penulis bisa ke toko buku hingga dua kali. Kadang beli, kadang cuma lihat-lihat. Bagi Penulis, toko buku seolah memiliki suasana magis yang membuat kita merasa berada di alam yang berbeda.
Belakangan ini, Penulis semakin jarang ke toko buku karena beberapa alasan. Selain karena merasa bukunya sudah terlalu banyak, Penulis juga sudah tidak membaca sebanyak dulu. Sekarang, paling hanya 15-30 menit per hari, bahkan sering tidak membaca sama sekali.
Apakah ini menjadi semacam pembenaran kalau toko buku memang sudah kehilangan relevansinya? Tentu tidak, karena ini hanya contoh dari satu individu. Penulis yakin toko buku akan tetap ada, terutama yang mampu menyesuaikan diri dengan zaman.
Memang, sekarang kita dimudahkan dengan adanya marketplace atau toko buku online. Namun, bagi Penulis pribadi, keberadaan toko buku fisik rasanya tidak akan tergantikan begitu saja. Mungkin akan ada yang tutup, tapi pasti ada yang berhasil bertahan.
“Kenikmatan” ketika mata memperhatikan buku demi buku, rak demi rak, tak bisa digantikan dengan scroll di marketplace. Apalagi, di toko buku kita bisa membaca sekilas apa isi buku tersebut, sehingga bisa menambah keyakinan untuk membeli suatu buku.
Apa yang Harus Dilakukan oleh Toko Buku agar Bertahan?
Berdasarkan video yang dibuat oleh Dr. Indrawan Nugraha, ada banyak cara yang bisa dilakukan toko buku agar bisa bertahan. Salah satunya adalah menjadikan toko buku bukan sekadar jualan buku, tapi menjadi tempat berkumpulnya komunitas.
Jika selama ini toko buku terkesan individual karena orang-orang hanya membeli buku yang diinginkan, maka di masa depan toko buku justru harus terbuka dan menyediakan tempat nongkrong atau berdiskusi. Beberapa toko buku di Indonesia sudah menerapkan hal tersebut.
Bahkan, tak jarang toko buku sekarang menggandeng brand F&B atau bahkan membuka brand mereka sendiri. Jadi, setelah berbelanja buku, pengunjung dapat bersantai menikmati kopi sembari membaca buku yang baru saja dibeli.
Selain itu, sekarang rasanya jarang toko buku hanya menjual buku. Gramedia misalnya, terkenal karena juga menjual alat tulis, alat olahraga, pernak-pernik, dekorasi, mainan, dan lain sebagainya. Ini bisa menarik pengunjung yang tidak suka buku.
Tentu masih ada cara lain yang telah atau akan dilakukan oleh toko buku. Dengan jatuhnya Gunung Agung bukan berarti toko buku yang lain akan mengikuti jejaknya. Pada akhirnya, semua dituntut untuk sekreatif mungkin agar bisa bertahan di era modern ini.
Lawang, 26 Juni 2023, terinspirasi setelah menonton video Dr. Indrawan Nurgroho yang membahas mengenai kiamat toko buku
Foto Featured Image: Abby Chung
Sumber Artikel:
You must be logged in to post a comment Login