Sosial Budaya

NFT oh NFT…

Published

on

Seminggu terakhir, media ramai-ramai mengangkat mengenai fenomena miliarder dadakan yang dialami oleh seorang pemuda bernama Ghozali berkat foto selfie-nya yang menjadi sebuah NFT.

Sontak, masyarakat kita pun berbondong-bondong mengikuti jejaknya dengan membuat NFT-nya sendiri. Parahnya, mereka menggunakan foto-foto yang tidak patut, seperti foto tidak senonoh, foto public figure, hingga foto KTP mereka.

Hal ini seolah menegaskan penyakit lama yang sudah lama diidap oleh masyarakat kita: Latah.

Apa Itu NFT?

Kebetulan, di tempat kerja Penulis sudah pernah membuat artikel yang cukup mendalam mengenai apa itu NFT. Para pembaca bisa membacanya melalui tautan di bawah ini:

Singkatnya, NFT merupakan kependekan dari non-fungiable token atau aset yang tak dapat dipertukarkan. Artinya, setiap NFT memiliki keunikan dan hanya bisa dimiliki oleh satu orang. Meskipun dapat disalin sebanyak mungkin, yang asli tetap hanya ada satu.

NFT disimpan di blockchain, sama seperti cryptocurrency. Semua informasi yang terkait dengan NFT tersimpan di blockchain tersebut, termasuk kepemilikan NFT. Hingga saat ini, NFT selalu berupa file digital, di mana mayoritas berupa gambar.

Ghozali bisa mendapatkan banyak uang karena foto selfie-nya yang diambil selama lima tahun dihargai mahal oleh orang-orang. Unique value NFT-nya terletak pada ketekunannya dalam mengambil foto selfie.

Dalam membeli sebuah NFT, orang-orang menggunakan cryptocurrency. Misalnya di platform OpenSea, kebanyakan akan melakukan transaksi menggunakan cryptocurrency bernama Ethereum, di mana satu Ethereum bisa bernilai puluhan juta.

Permasalahan kita sebagai orang Indonesia adalah, banyak yang asal latah mengikuti Ghazali tanpa merasa perlu belajar apa itu NFT dan apa itu cryptocurrency.

Penyakit Latah Masyarakat Indonesia

Berebut Atensi dengan Trending (Social Publi Blog)

Permasalahan latah ini sebenarnya telah lama menjangkiti kita. Apa yang sedang trending, diikuti begitu saja tanpa mencari tahu mengapa hal tersebut menjadi trending ataukah hal tersebut layak menjadi sesuatu yang trending. Semua seolah berebut atensi publik.

Dalam hal ini, kita tentu saja tergiur dengan fenomena yang dialami oleh Ghozali. Siapa yang tidak mau mendapatkan uang banyak dalam sekejap, apalagi dengan cara yang tidak melanggar hukum?

Hanya saja, langsung terjun tanpa mengetahui dengan jelas apa itu NFT, blockchain, dan cryptocurrency jelas salah. Buktinya sudah terlihat, di mana banyak orang yang asal menaruh sebuah foto dengan harapan ada orang “kelebihan uang” yang tertarik dengan foto tersebut.

Padahal, file yang sudah disimpan dalam teknologi blockchain tidak akan bisa dihapus, termasuk oleh pemiliknya sekalipun. Jika kita mengunggah foto di Instagram, lantas menuai kontroversi, kita bisa menghapusnya. Di blockchain, kita tidak bisa melakukannya.

Artinya, segala foto tidak senonoh maupun foto KTP yang sudah diunggah ke blockchain akan bertahan di sana selamanya, mungkin sampai kiamat. Bisa dibayangkan, bagaimana foto-foto tersebut bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Penutup

Sebenarnya tidak ada salahnya mengikuti jejak Ghazali, asal dengan cara yang baik dan benar. Ia bisa kaya “hanya” bermodal foto selfie karena dia autentik dan rasanya orang lain tidak akan bisa mengikuti jejaknya.

Kalai kita memiliki sebuah karya seni digital yang dirasa cukup bernilai, tidak ada salahnya untuk mencoba menjualnya di berbagai platform NFT. Siapa tahu, ada orang yang menganggap karya seni tersebut layak untuk dikoleksi.

Entah bagaimana cara mengobati penyakit latah yang sudah lama menjangkiti kita ini. Mungkin kita bisa mulai dari diri kita sendiri dulu untuk bisa belajar kritis dari setiap fenomena yang ada. Jangan hanya sekadar ikut-ikutan saja.


Lawang, 23 Januari 2022, terinspirasi setelah adanya fenomena Ghazali Everyday

Foto: OpenSea

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version