Sosial Budaya

Safa, Fanatisme Idola, dan Hubungan Parasosial

Published

on

Baru-baru ini, ada kejadian yang sedang ramai diperbincangkan di Twitter. Mungkin Pembaca juga sudah tahu mengenai kasus Safa yang “disidang” secara daring di Space Twitter akibat ulahnya yang melakukan hate speech kepada member boyband asal Korea, NCT.

Kasus ini sempat membuatnya menjadi trending topic di internet. Bahkan, beberapa public figure sudah membuat semacam video reaction yang menyoroti betapa “uniknya” kasus ini di mata mereka dan menunjukkan betapa gregetan-nya mereka.

Pada tulisan kali ini, Penulis ingin mencoba menjabarkan akar permasalahan ini sekaligus mencoba untuk mencari hikmah apa yang bisa kita dapatkan dari perisitiwa yang bagi sebagian orang dianggap konyol dan norak ini.

Rangkuman Kasus Safa di Twitter

Safa Space (via YouTube)

Safa merupakan solostan, istilah untuk menyebutkan penggemar yang hanya mengidolakan salah satu member dari sebuah kelompok. Nah, ia pun melancarkan hate speech ke member NCT lain yang tidak ia idolakan, bahkan menggunakan istilah-istilah yang sangat buruk.

Nah, para penggemar member yang dihina dan fans NCT secara umum merasa gerah dengan perbuatan Safa ini. Jika mengamati media sosial, Safa sebenarnya sempat ditegur secara personal, tetapi tidak ada perubahan dan ia tetap mengeluarkan hate speech.

Alhasil, akhirnya dibentuklah Space tersebut dengan Safa sebagai “tertuduh” utama. Entah berapa orang yang ikut menyidang Safa pada momen tersebut. Sampai di titik ini, kita masih bisa melihat kewajaran mengapa Safa sampai terseret kasus ini.

Safa dituntut untuk membuat surat pernyataan minta maaf di atas materai dan ditandatangani orang tua, serta membuat semacam video klarifikasi. Hal ini ditolak Safa karena dianggap melanggar privasinya. Penolakan inilah yang menjadi trigger kemarahan orang-orang yang berada di dalam Space tersebut.

Bahkan, ada satu orang yang menggunakan semacam power abuse untuk mengintimidasi Safa dengan menyebutkan berbagai anggota keluarga dan kenalannya yang memiliki pengaruh, mulai kader Golkar sampai anggota tentara dan kepolisian.

Tidak hanya itu, ia juga memberikan ancaman kalau dirinya bisa membuat ayah Safa, yang juga merupakan polisi, untuk dimutasi atau diturunkan pangkatnya. Ia juga menyebutkan bahwa dirinya akan membawa kasus ini ke ranah hukum dengan dasar UU ITE.

Iya, Safa diancam akan dibawa ke kepolisian “hanya” karena menghina idol Korea yang bahkan tidak tahu kalau mereka eksis di dunia ini.

Ancaman memidanakan Safa tidak hanya dilakukan oleh mbak-mbak berusia 29 tahun dan aktivis HAM ini, melainkan dilakukan oleh anggota Space yang lain juga. Bahkan, ada yang mengaku sebagai “emaknya” atau perwakilan dari anggota NCT.

Menghadapi serangan dari berbagai arah, Safa terlihat mampu mengendalikan diri dan tidak kalah begitu saja. Ia mengakui perbuatan salahnya, tetapi ia menganggap memperkarakan ini hanya akan ditertawakan oleh pihak yang berwajib.

Penulis kurang tahu pasti bagaimana ending dari Space tersebut. Penulis sempat membaca kalau Space tersebut ditutup ketika Safa bertanya apa kesimpulan dari diskusi tersebut karena ia harus mengerjakan tugasnya.

Fanatisme Idola

Begitu Fanatik kepada Idola (via The Star)

Kebanyakan netizen pun berpendapat bahwa apa yang dilakukan orang-orang di dalam Space tersebut sangat berlebihan. Sebegitu hebatnya mereka membela idol mereka hingga rasanya bagi kita mereka begitu aneh dan norak.

Melihat kasus tersebut, tentu banyak orang (termasuk Penulis) yang menganggapnya sebagai sebuah fanatisme. Apalagi, ini menyangkut tentang penggemar K-Pop yang sudah kadung dicap publik sebagai kalangan penggemar yang paling “keras” dan tidak bisa disenggol.

Sebenarnya, fanatisme terhadap seorang idola tidak hanya terlihat dari penggemar K-Pop. Fanatisme seseorang juga bisa terjadi kepada sosok politik, klub bola, karakter anime, aktor film, dan masih banyak lagi lainnya.

Bahkan, terkadang fanatisme terhadap hal-hal tersebut telah memberikan dampak yang lebih parah daripada menyidang Safa di Twitter. Contoh, suami-istri yang cerai karena beda pilihan calon presiden atau kematian akibat perkelahian antarklub sepak bola.

Penulis merasa penasaran dengan adanya fenomena fantisme yang berlebihan ini, sehingga memutuskan untuk bertanya kepada seorang kawan (sebut saja Naufal) yang Penulis anggap cukup “ahli” dalam memberikan pendapat dalam kasus-kasus seperti ini.

Hyperreality dan Hubungan Parasosial

Istilah Halus untuk Menggambarkan Halu? (via Verywell Mind)

Menurutnya, kita sekarang tengah berada di tengah kondisi hyperreality, sebuah konsep yang diajukan oleh Jean Baudrillard, di mana manusia semakin kesulitan untuk membedakan mana realita mana yang bukan.

Di era postmodern seperti sekarang, kondisi ini semakin menjadi-jadi berkat “dukungan” dari media, teknologi, media sosial, dan lain-lain. Idola yang dulu rasanya jauh, kini terasa dekat seolah mereka benar-benar menjadi bagian dari kehidupan kita secara nyata.

Penggemar yang awalnya hanya mengagumi idola dan karyanya pun berevolusi: Mereka jadi ingin memiliki hubungan yang dekat dengan idola. Ini memunculkan sebuah fenomena lain yang disebut sebagai parasocial relantionship atau hubungan parasosial.

Tambah kawan Penulis, hubungan parasosial ini membuat para penggemar ingin di-notice oleh idolanya. Karena tahu akan sulit, mereka pun menggunakan berbagai cara, bahkan kadang dengan cara yang ekstrem seperti yang dilakukan oleh sasaeng.

Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di Space Safa sebenarnya “lumrah” dilakukan di era hyperreality seperti sekarang. Mungkin, karena dilakukan di media sosial-lah yang membuatnya jadi banyak disorot oleh publik.

Penutup

Dari kasus Safa setidaknya kita bisa belajar dua hal: Jangan melakukan hate speech dan jangan menjadi penggemar yang fanatik. Apa yang dilakukan oleh Safa memang tidak bisa dibenarkan, tapi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di Space tersebut juga salah.

Di era di mana batas antara mana yang nyata dan tidak semakin tipis seperti sekarang, kita harus bisa menempatkan diri dengan baik. Jangan sampai kita kerap susah membedakan mana yang sungguh-sungguh terjadi mana yang tidak.

Peristiwa yang sebenarnya tak terlalu penting ini ternyata mampu memberi kita pelajaran yang begitu berarti, sekaligus menjadi sebuah peningkatan bahwa apapun yang berlebihan tak pernah berakhir dengan baik.


Lawang, 29 Mei 2022, terinspirasi setelah membaca “drama” mengenai Safa di Twitter satu minggu yang lalu

Foto Banner: Kpop Wiki – Fandom

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version