Cerpen
Perempuan yang Membaca Buku di Peron Stasiun
Peluh membasahi diriku pagi ini. Maklum saja, aku baru saja jalan kaki sekitar 10 kilometer di acara Car Free Day yang diadakan sepanjang jalan Sudirman hingga M. Thamrin ini. Oleh karena itu, setelah puas mengeluarkan keringat, aku mengeringkan diri dulu sebelum pulang.
Sekitar 45 menit aku beristirahat, duduk di lantai seperti peserta CFD lainnya yang kelelahan, aku berdiri untuk ikut mengantri membeli tiket di vending machine. Selain ingin istirahat, aku menunggu jumlah orang yang mengantri berkurang dulu. Aku tidak sedang terburu-buru, buat apa berdesak-desakan. Lebih baik bersabar sedikit agar mendapatkan kereta yang lenggang.
Setelah mendapatkan tiket, aku membeli minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokanku. Air mineral yang aku bawa dari rumah telah tandas sejak tadi. Aku yang tak pernah berjalan sejauh itu jelas butuh banyak mineral untuk menghindarkan diriku dari dehidrasi.
Aku naik KRL dari stasiun Sudirman, karena stasiun inilah yang terdekat dari lokasi CFD. Stasiun ini sejajar dengan jalan Sudirman, sehingga untuk bisa sampai ke peron perlu menggunakan eskalator. Saat menuruni eskalator inilah, aku melihat seorang perempuan yang sedang membaca buku di peron stasiun.
Entah karena naluri, aku pun berdiri di dekatnya. Bagi seorang kutu buku seperti diriku, bisa menemukan orang lain membaca di ruang publik sudah senang, apalagi jika orang tersebut seorang perempuan cantik. Aku mencuri pandang ke arahnya, mengamati lebih seksama.
Aku tidak pernah melihat kover buku yang ia baca, bahkan tampaknya buku tersebut ia beri sampul sendiri. Kuamati lagi ia dari belakang, karena aku tak berani berdiri di sampingnya persis. Ia berkacamata, aku suka perempuan berkacamata, dan berambut panjang. Wajahnya ia tutupi dengan masker. Ia mengenakan baju berwarna merah, sama dengan warna rambutnya.
Dalam hati aku sangat ingin menyapanya. Entah mana yang lebih menarik, buku yang ia baca atau pemiliknya. Selama ini aku selalu menganggap buku dan perempuan sama menariknya, hingga kawanku meledekku agar aku menikah saja dengan buku. Walaupun aku pecinta buku, tentu aku masih waras untuk tidak menikahi benda mati.
Kami sama-sama berada di peron 2, menunggu KRL yang melaju ke utara hingga pemberhentian akhir di stasiun Angke. Rumahku terletak di dekat stasiun Grogol, sehingga aku butuh transit di stasiun Duri. Aku penasaran, kemana kah perempuan ini hendak pergi? Atau, sebenarnya ia hendak pulang ke rumahnya? Semoga saja pemberhentian kami sama.
Kereta yang kami tunggu pun tiba. Sayang, kereta tersebut sangat penuh seolah tak ada lagi sisa ruang untuk kami masuk. Aku menunggu respon perempuan tersebut, dan ia hanya diam di tempatnya sembari meletakkan pembatas bukunya. Ia memutuskan untuk menunggu kereta selanjutnya. Aku pun memutuskan hal yang sama, toh aku sedang tidak terburu-buru.
Setelah kereta tersebut berlalu, aku berusaha untuk mencari aktivitas yang berguna. Bbiasanya aku selalu membawa buku untuk kubaca ketika menunggu. Sayangnya pagi tadi aku memutuskan untuk tidak membawa buku karena niatku ke CFD adalah untuk berolahraga. Selain itu, bukankah KRL sepi ketika hari libur? Tidak, aku salah besar.
Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mengambil handphoneku dan membaca novel yang aku tulis sendiri di blogku. Setidaknya, jika perempuan tersebut menoleh ke arahku, ia tahu aku pun sedang membaca, walaupun dalam format digital. Mungkin aku terlalu banyak berharap, karena sejak tadi perempuan tersebut seolah tidak menyadari ada laki-laki yang memperhatikan dirinya sejak tadi.
Kereta kedua akhirnya tiba juga, dan sesuai dengan dugaanku, lebih lenggang dibandingkan kereta pertama tadi. Kami berdua pun masuk ke gerbong di depan kami melalui pintu yang berbeda. Berjarak satu deret kursi antara diriku dengannya. Lagi-lagi posisinya membelakangiku. Mungkin instingnya yang mengatakan bahwa ada mata liar yang sedang mengawasinya, walaupun sama sekali tidak ada keliaran pada pandanganku.
Ketika sampai di stasiun Tanah Abang, penumpang yang masuk bertambah cukup banyak, membuatku susah untuk bergerak. Di antara lautan manusia tersebut, ada sekelompok remaja, kira-kira masih SMA, masuk dengan tawa cekikikan. Mereka terdiri dari empat perempuan dan satu laki-laki. Karena mereka tidak mendapatkan pegangan untuk berdiri, aku bergeser sedikit agar mereka dapat memegang peganganku.
Melihat komposisi penumpang ini, aku langung menduga, bahwa laki-laki yang hanya seorang itu pasti pacar dari salah satu perempuan-perempuan ini. Benar saja, sesaat setelah kereta berjalan, mereka mulai menunjukkan gelagat-gelagat pemuda yang dimabuk asmara. Semakin lama, gerakan mereka semakin mesra, hingga pada akhirnya mereka berpelukan di antara penumpang lainnya.
Ingin rasanya aku mengambil kantong plastik di tasku untuk muntah. Aku merasa mual karena melihat aksi mereka. Jika di tempat umum saja sudah begitu intim, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan di tempat sepi. Menjijikkan.
Aku memutuskan untuk berpaling dari pasangan yang tak tahu diri itu. Perempuan berambut panjang dan berkacamata itu masih berdiri sempurna seperti pertama kali masuk ke dalam kereta. Ia tak melanjutkan buku yang sedang ia baca, mungkin karena sesaknya isi kereta.
Pada akhirnya, kereta sampai di stasiun Duri peron 2. Untunglah, aku tak harus dekat-dekat dengan pasangan yang tak punya malu ini lama-lama. Dengan sengaja aku maju sambil memberikan tatapan sinis kepada mereka, yang nampaknya tidak mereka sadari karena terlalu asyik berpelukan. Aku begitu geram melihat mereka hingga lupa menegecek apakah perempuan tersebut ikut turun di sini.
Ketika menjejakkan kaki di stasiun, nampaklah ia juga keluar dari kereta. Aku memutuskan untuk melangkah duluan untuk berpindah ke peron 4, peron dengan tujuan hingga Tangerang. Ia kutinggal di belakang karena takut ia menyadari bahwa dari tadi ada seorang laki-laki yang mengaguminya. Terjadi dilema di dalam diriku, apakah aku akan memberanikan diri untuk bicara dengannya atau berdiam diri saja agar menyesal nanti.
Di peron 4, aku menunggu datangnya kereta. Perempuan itu menyusul dan berdiri tepat di sampingku. Ternyata, kami memang satu tujuan, walaupun aku belum tahu di mana stasiun tujuannya. Akhirnya, dengan mengumpulkan keberanian, aku memulai percakapan, tak peduli apapun hasilnya.
“Maaf mbak, saya mau buat pengakuan, dari tadi saya memperhatikan mbak, karena sangat jarang seorang perempuan membaca buku di saat menantikan sesuatu. Saya sangat mengagumi mbak karena itu.”
Ia mengenakan masker, tapi entah bagaimana, aku tahu perempuan yang membaca buku di peron stasiun tersebut sedang tersenyum.
Jelambar, 14 Mei 2018, terinspirasi dari kejadian nyata (kecuali endingnya karena penulis pada akhirnya sama sekali tidak berusaha untuk mengajaknya berbicara)
You must be logged in to post a comment Login