Distopia Bagi Kia
Bagian 30 10 Tahun Kemudian
“Aqila, tolong bantu ambilkan handphone kakak di kasur, dong.” ujar Kia yang sedang sibuk merias diri di depan cermin. Posisinya yang sedang menggambar alis membuatnya tak bisa beranjak dari tempat duduknya. Untunglah, adik angkatnya Aqila sedang berada di kamarnya.
“Ini kak, mau ke mana sih?” tanya Aqila sambil menyerakan ponsel kakaknya. Ia jarang melihat kakaknya merias diri di depan cermin. Artinya, kakaknya ini akan menghadiri sebuah acara penting bagi hidupnya.
“Mau meresmikan impian kakak semenjak sekolah. Mumpung sudah lulus kuliah, kakak punya sedikit waktu senggang sebelum masuk ke perusahaan papa. Kamu sih diajakin enggak mau.”
“Ih, Aqila kan ada les main biola. Bulan depan papa mau ada acara keluarga di sini, dan kakak tahu sendiri gimana papa. Selalu ingin membanggakan anak-anaknya.”
“Hehehe, gantian, dulu kakak juga sering banget les piano sampai jari-jarinya kakak keriting. Untung kamu punya bakat main biola, kalau enggak mungkin kamu disuruh mainin gendang!”
“Ih, kakak nakal!” kata Aqila sambil mencubit-cubit lengan Kia.
Kia tertawa ketika melihat ekspresi kesal yang ada di wajah Aqila. Adiknya ini telah menjadi gadis remaja cantik berusia 15 tahun. Dirinya sendiri telah berusia 27 tahun, telah menyandang gelar PHD bidang manajemen bisnis di salah satu kampus terbaik dunia untuk bidang tersebut. Dengan kemampuan otaknya yang cerdas, Kia bisa menembus ketatnya persaingan di sana, melawan mahasiswa-mahasiswa dari seluruh dunia yang juga mengincar gelar serupa.
Setelah lulus dengan waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan teman-teman kuliahnya, ia memutuskan untuk pulang agar bisa membantu papanya yang sudah menunjukkan isyarat akan segera pensiun. Dulu, tak pernah terbayang ia akan masuk ke dalam perusahaan papanya. Di dalam benaknya, hal tersebut merupakan neraka tambahan baginya. Namun sekarang pikirang tersebut sudah bisa ia enyahkan. Dengan senang hati ia akan meneruskan pekerjaan papanya, dimulai dari tingkat bawah dan mempelajari semua yang bisa dipelajari.
Meskipun begitu, Kia memiliki impian yang sudah lama ingin ia realisasikan. Baru sekarang lah ia memiliki kesempatan untuk mewujudkan impian tersebut. Ia begitu bahagia dengan semua yang ia alami ini.
Kia mengecek ponselnya dan memeriksa pesan yang masuk. Lima belas menit lagi ia akan datang menjemput dan mengantarnya pergi ke acara penting tersebut.
***
Selesai berdandan, ia segera mencari mamanya yang biasanya sibuk di dapur. Semenjak pensiun dari dunia kerja, Bu Labdajaya sering melakukan eksperimen makanan dan banyak berhasil. Malah, Bu Labdajaya membuka sebuah restoran baru dan laris manis hingga membuka cabang di luar negeri. Bu Labdajaya hanya berperan sebagai pemilik, sehingga tidak terlalu sering meninggalkan rumah. Memang kalau otaknya sudah otak bisnis, apapun bisa menjadi lahan pemasukan.
“Ma, Kia berangkat dulu, ya.” kata Kia ketika menemukan mamanya sedang memegang senampan kue yang baru dikeluarkan dari oven.
“Sarapan dulu, nanti asam lambungmu naik lagi, loh.”
“Udah kok tadi, tenang aja aku bawa obat maag.”
“Dasar kamu, ya. Tapi kamu keliatan cantik banget hari ini.”
“Kan Kia mau ada acara penting.”
“Ada acara penting apa karena mau dijemput sama calon suami?”
Mendengar ucapan mamanya tersebut, Kia langsung tersipu malu. Dirinya belum pernah membicarakan masalah tersebut dengan laki-laki itu, walaupun beberapa kali sudah membayangkan. Di usianya yang sekarang ini, menikah adalah hal yang lumrah. Apalagi, mereka berdua berasal dari keluarga yang mapan sehingga tidak alasan untuk menunda pernikahan.
“Ih mama selalu gitu, Kia kan jadi malu.”
“Ya udah kamu hati-hati. Bilang sama Yoga, jangan mentang-mentang mobilnya canggih terus jadi seenaknya sendiri.”
“Tenang ma, Yoga kalau nyetir pelaaaaaan banget. Kalau ada semut lewat aja dia pasti berhenti dulu, nunggu semutnya lewat.”
“Kamu sayang ya sama Yoga?”
Sekali lagi pertanyaan mendadak dari mamanya membuat Kia merasa serba salah. Meskipun dirinya telah bisa bergaul dengan orang secara lebih baik, ia merasa tetap malu jika ditanya masalah cinta. Ia tak terlalu mengerti hal tersebut dan tak terlalu pandai mengekspresikannya. Wajar jika mamanya sering menggoda Kia.
“Ih mama, Kia enggak suka digoda kayak gitu.”
“Aduh, mama udah ingin gendong cucu nih, Aqila masih 15 tahun lagi, gimana ya caranya biar bisa dapat cucu.” Bu Labdajaya justru semakin menjadi-jadi dalam menggoda Kia.
Tidak ingin digoda lebih lanjut, Kia segera menyalami tangan mamanya yang masih menggunakan sarung tangan masak. Meskipun teknologi dapur sudah semakin canggih, Bu Labdajaya masih lebih suka menggunakan cara-cara tradisional. Katanya, kue dan masakan lebih enak jika prosesnya seperti ini.
Ketika Kia sudah berada di beranda rumah, terlihat Yoga dengan mobil elektriknya telah tiba, nyaris tanpa suara. Yoga memang seseorang yang sangat peduli dengan lingkungan. Ia sering melakukan aksi-aksi sosial untuk mengurangi polusi dan penggunakan bahan bakar fosil. Bahkan, ia sudah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang tersebut.
“Pagi Kia, cantik banget hari ini.” sapa Yoga ketika ia keluar dari mobilnya. Semenjak hubungan mereka makin dekat, Yoga tak pernah lagi menggunakan lo gue ketika berbicara dengan Kia.
“Pagi-pagi udah gombal kamu, ya. Ayo deh kita langsung berangkat.”
“Cie cie, pagi-pagi udah pacaran aja.” teriak Aqila dari jendela lantai atas. Seruannya tersebut membuat beberapa orang yang kebetulan sedang berada di dekat sana tertawa kecil.
“Aqilaaa!!!!” Kia berteriak untuk membuat adiknya bungkam, yang justru semakin membuat Aqila tertawa terbahak-bahak.
“Adikmu yang satu itu memang sangat jahil, ya.” celoteh Yoga, sedikit tersipu mendengar teriakan tadi.
“Ya begitulah, padahal waktu pertama kali kenal dulu pendiam.”
“Iya, aku kan kenal lebih dulu dari kamu, pasti tahulah. Syukurlah, nampaknya ia bahagia semenjak tinggal di sini.”
“Iya. Omong-omong, bagaimana kabar Lia?” Kia menanyakan tentang mantan teman sekamarnya di panti asuhan tersebut, meskipun Lia tak ingat pernah tinggal sekamar dengan dirinya.
“Baik kok, dia sudah jadi pengajar di panti, walaupun cara ngajarnya agak nyeleneh.”
“Yah, dari dulu ia memang begitu kok. Tapi Lia baik dan cerdas kok.”
“Kalau enggak gitu ya mana mungkin ia diangkat jadi pengajar. Ya udah, berangkat yuk, takut keburu macet.”
Maka mereka berdua pun melintasi jalanan Jakarta yang sebenarnya sudah tidak terlalu ramai. Selain karena ibu kota telah dipindah, jenis transportasi umum yang tersedia pun makin beragam. Kesadaran masyarakat juga semakin tinggi. Kota ini, kota yang dulu tidak disukai oleh Kia, telah bertransformasi menjadi kota yang begitu ramah lingkungan.
“Pulangnya, mampir ke Kota Tua ya.” kata Kia tiba-tiba.
“Ada apa emangnya?”
“Enggak apa-apa, pengen aja. Emang enggak boleh?”
“Boleh kok, iya nanti kita ke sana.”
Setelah 30 menit perjalanan, Kia dan Yoga telah sampai di tempat tujuan. Sebuah gedung berlantai tiga terlihat baru saja diselesaikan pembangunannya. Kia akan memberikan nama tempat ini Ruang Belajar, sama seperti nama kegiatan mengajarnya ketika berada di dunia cermin tersebut. Bangunan ini akan menyediakan fasilitas gratis bagi siapapun yang ingin belajar, selama menunjukkan keinginan yang kuat. Harta keluarganya lebih dari cukup untuk membuat tempat ini, dan hari inilah peresmiannya.
Kia menjalani beberapa prosesi acara dengan baik, hingga puncak acaranya pemotongan pita. Beberapa orang sejak pagi telah mengantri untuk melakukan pendaftaran. Kia melihat orang-orang yang melakukan pendaftaran tidak sebatas anak-anak usia sekolah. Banyak orang dewasa yang juga ikut mendaftarkan diri untuk mengikuti kegiatan ini.
Kia yang sedang mengamati para calon peserta tiba-tiba terdiam ketika melihat sepasang suami istri sedang ikut berbaris. Kia segera menghampiri mereka untuk memastikan ia tidak salah melihat.
“Pak Kusno dan Bu Imah?” tanya Kia dengan suara yang sedikit bergetar.
“Iya, mbak kok tahu nama kami?” jawab Pak Kusno dengan perasaan sedikit takut karena takut dirinya sudah melakukan hal yang salah.
Kia tak bisa membendung air matanya ketika melihat mereka berdua, meskipun ia tahu Pak Kusno dan Bu Imah tak pernah melihat dirinya. Ia tiba-tiba memeluk mereka berdua dan membuatnya menjadi tontonan orang-orang. Yang dipeluk bingung harus berbuat apa.
“Maaf maaf, bapak dan ibu mirip dengan kenalan saya, kebetulan namanya sama. Bapak dan ibu mau mendaftar di sini, kan? Silakan, semoga kami bisa membantu bapak dan ibu.”
Setelah berkata seperti itu, Kia meninggalkan mereka berdua yang nampak kebingungan. Yoga melihat hal ini dan bertanya kepada Kia apa yang terjadi.
“Enggak apa-apa kok, aku cuma kaget aja waktu lihat mereka. Aku harus pastikan mereka berdua mendapatkan apa yang dibutuhkan selama belajar di sini.” jawab Kia dengan mata yang masih berkaca-kaca.
***
Yoga menepati janjinya dengan mengantar Kia pergi ke Kota Tua seusai acara. Kia sendiri tidak tahu mengapa dirinya ingin pergi ke sana. Perasaannya yang menuntun dirinya pergi ke tempat yang sudah memberikannya banyak hal ketika ia masih gadis berusia 17 tahun. Mungkin, ia ingin berterima kasih kepada tempat tersebut, terutama cermin yang ada di museum tersebut.
Setelah menemukan tempat parkir, Yoga dan Kia berjalan bersama untuk masuk ke dalam Museum Sejarah Jakarta. Ketika berada di lantai dua, Kia segera mencari cermin raksasa yang membuat dirinya bisa masuk ke dunia lain. Anehnya, ia tidak berhasil menemukan cermin tersebut, bahkan setelah mengitari tempat tersebut berkali-kali.
“Yoga, kamu pernah tahu ada cermin antik yang ukurannya besar di museum ini, enggak?” tanya Kia kepada Yoga yang sudah memasang wajah kebingungan.
“Cermin? Seingatku enggak ada deh. Emang kapan kamu terakhir lihat?”
“Sepuluh tahun lalu, sewaktu kita masih SMA. Dulu ada cermin besar gitu, yang bikin…” Kia tak melanjutkan kalimatnya. Hingga hari ini, belum ada yang tahu kisahnya di dunia cermin. Mamanya pernah mendengar cerita tersebut, namun Kia mengatakannya sebagai mimpi.
“Mungkin sudah dipindah? Coba aku tanyain ke petugas museum.”
Yoga pun segera menghampiri salah satu petugas museum yang ada di dekat mereka. Sang petugas segera menjawab pertanyaan tersebut.
“Selama dua puluh tahun kerja di sini, enggak pernah ada cermin neng di sini. Yang ada paling ya lemari, meja, kursi, tapi enggak ada cermin.”
“Tuh Kia, enggak pernah ada cermin di sini.” ujar Yoga menambahkan.
Kia merasa bingung dengan kejadian ini, tapi memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih lanjut. Mungkin, sang kakek tua itulah yang telah membawa cermin itu ke mari, dan sang kakek pula yang membawa cermin itu keluar. Kia pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Sebelum beranjak pergi, ia berkata lirih yang ditujukan kepada museum.
“Terima kasih, karena telah mengeluarkanku dari distopia.”
***
Di belahan dunia lain yang tak seorang pun tahu di mana berada, seorang kakek tua sedang memegang tongkat pancingnya dengan sabar. Tak ada tanda-tanda ikan mau menggigit umpannya. Di sebelahnya, terdapat sebuah cermin ajaib yang mampu berubah wujud dan mengabulkan keinginan pemiliknya. Hanya aja, cermin tersebut hanya bisa digunakan oleh orang-orang yang berhati tulus dan tidak memiliki niatan jahat sama sekali. Tugas sang kakek adalah mencari orang yang membutuhkan bantuannya.
Untuk kasus Kia, perjalanan yang ia lalui memang harus panjang. Keinginannya sederhana, namun Kia tidak menyadari bahwa semuanya bergantung pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia harus mengalami berbagai peristiwa agar dirinya sadar dan permintaannya untuk hidup dengan penuh kasih sayang terkabulkan.
Tali pancing sang kakek tiba-tiba bergetar. Itu merupakan tanda bahwa ada seseorang yang sedang membutuhkannya.
“Ah, kali ini siapa yang akan membutuhkan bantuan cermin ini?”