Olahraga

Sudah Tak Tahu Lagi Apa yang Harus Diubah dari Tim Ini

Published

on

Hari Senin telah menjadi momok yang mengerikan bagi penggemar Manchester United (MU). Pasalnya, mood kami ditentukan oleh hasil yang diperoleh tim yang bermain di hari Minggu. Seperti yang kita tahu, hasilnya lebih sering kalahnya.

Terbaru, MU baru saja dihancurleburkan oleh tim sekota Manchester City dengan skor telak 0-3 pada hari Minggu (14/9) kemarin yang berlangsung di Etihad Stadium. Erling Haaland mencetak brace, sedangkan satu gol lagi disumbang Phil Foden.

Dengan hasil tersebut, MU kembali mencetak rekor baru, yakni awal musim terburuk di era Premiere League dengan hanya mencatatkan empat poin dari empat pertandingan awal dan hanya bisa bertengger di peringkat 14.

Pertanyaan pun muncul: apalagi yang harus diubah dari tim ini?

Padahal Pelatih dan Pemain Sudah Diganti

Benar-Benar Tersungkur (Detik)

Saat Ruben Amorim masuk menggantikan Erik Ten Hag, banyak optimisme yang muncul dari penggemar, apalagi jika mengingat prestasi menterengnya sewaktu melatih Sporting Lisbon. Sebenarnya ini selalu terjadi setiap ada pelatih baru yang masuk.

Formasi yang digunakan pun berubah drastis, dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-2-1 (ada juga yang menganggap 3-4-3). MU yang bertahun-tahun menggunakan formasi empat bek pun tentu harus melakukan adaptasi.

Oleh karena itu, ketika masuk di tengah musim dan MU meraih hasil yang sangat buruk di bawah Amorim, penggemar masih bisa memberi toleransi. Berada di peringkat 15 di akhir musim jelas memalukan, tapi Amorim masih baru, sehingga butuh waktu dulu.

Di awal musim 2025/26, optimisme masuk dengan serangkaian hasil positif di pra-musim. Banyak pemain baru didatangkan, mulai dari Matheus Cunha (Wolverhampton), Bryan Mbuemo (Brentford), Benjamin Sesko (RB Leipzig), hingga terbaru kiper Senne Lammens (Royal Antwerp).

Sebaliknya, pemain-pemain yang dianggap bermasalah pada dilepas atau dipinjamkan, mulai dari Marcus Rasford (loan ke Barcelona), Antony (dijual ke Real Betis), Jadon Sancho (loan ke Aston Villa), Alejandro Garnacho (dijual ke Chelsea), Rasmus Hojlund (loan ke Napoli), hingga Andre Onana (loan ke Trabzonspor).

Hasilnya? Ternyata tetap saja kacau. Saat kalah 0-1 atas Arsenal di laga pembuka, masih banyak pendukung MU yang masih optimis, bahkan mengapresiasi permainan MU yang lebih mengalir daripada musim sebelumnya.

Namun, setelah hasil imbang melawan Fulham (1-1) dan menang susah payah atas tim promosi Burnley (3-2) seolah menyadarkan kami akan realita yang ada. Belum lagi kekalahan memalukan dari tim divisi empat Grimsby di ajang Carabao Cup.

Kekalahan 0-3 dari Manchester City seolah menjadi puncak dari rentetan hasil buruk ini. Pertandingan selanjutnya akan mempertemukan MU dan Chelsea yang masih belum terkalahkan. Penulis sudah pasrah kalau tim ini akan kembali menelan kekalahan.

Rekor Buruk Amorim yang Seolah Tak Kunjung Usai

Terus Memaksakan Filosofinya (The Telegraph)

Amorim tentu menjadi pihak yang paling disorot atas performa buruk tim sepanjang 2025. Tak hanya itu, ia seolah tak pernah kehabisan rekor buruk untuk dipecahkan. Bayangkan, ia menjadi pelatih pasca-Alex Ferguson dengan winrate terendah, yakni 36.17%.

Dari 47 laga yang sudah dijalani Amorim, hanya 17 yang berujung dengan kemenangan. Itu pun mayoritas saat menghadapi klub-klub yang secara market value berada di bawah MU. Amorim sudah mengalami 18 kekalahan, sedangkan sisanya berakhir seri.

Jika hanya melihat statistik di Premier League, hasilnya lebih mengenaskan. Dari 31 laga, Amorim hanya berhasil mencatatkan 8 kemenangan atau setara 25% winrate. Sekitar 50% pertandingan MU (16 laga) harus berakhir dengan kekalahan.

Lini depan MU yang sudah mendapat suntikan tiga pemain baru pun patut dipertanyakan. Baru empat gol yang tercipta dalam empat pertandingan awal di Premier League, itu pun yang dua disumbang dari gol bunuh diri lawan dari satu penalti.

Satu-satunya gol yang tercipta dari open play adalah gol dari Mbuemo saat berjumpa dengan Burnley. Bayangkan, dari empat pertandingan, baru ada satu gol dari open play. Ini sangat menggambarkan betapa buruknya lini depan MU dalam urusan mencetak gol.

Keputusan Amorim yang tetap memaksakan formasi 3-4-2-1 pun dipertanyakan: mengapa tetap memaksakan formasi tersebut ketika hasilnya buruk terus? Mengharapkan hasil yang sama dengan usaha yang berbeda tentu merupakan hal yang konyol.

Bisa jadi, Amorim memang tidak memiliki strategi lain selain filosofi sepak bola yang dianutnya tersebut. Ia bukan tipe pelatih yang fleksibel dalam menerapkan strategi, sehingga terus memaksa MU yang tak pernah bermain dengan formasi tiga bek sebelumnya.

Xabi Alonso menggunakan formasi tiga bek waktu di Bayer Leverkusen, tapi mengubah taktiknya menjadi empat bek sewaktu pindah ke Real Madrid. Arne Slot pun menggunakan formasi yang menyesuaikan dengan daftar pemainnya, dan berhasil juara Premier League.

Walau begitu, seandainya Amorim akhirnya mencoba strategi baru, Penulis tetap pesimis hasilnya akan berubah. Pasti tim jadi butuh waktu lagi buat beradaptasi dan alhasil rentetan hasil buruk pun akan tetap datang.

Ujung-ujungnya, Penulis merasa Amorim akan dipecat dan diganti pelatih baru lagi. Setelah itu, MU akan kembali butuh proses adaptasi lagi, lalu meraih hasil buruk lagi, hingga akhirnya ganti pelatih lagi. Ini sudah berlangsung selama satu dekade terakhir.

Jujur saja, Penulis (dan rasanya mayoritas pendukung MU) sudah tak merasakan emosi apa-apa ketika melihat tim ini kalah. Kami seolah hanya sedang menanti keajaiban agar tim ini bisa berubah menjadi lebih baik lagi, entah kapan.

Boro-boro tsunami trofi yang selalu digaungkan di awal musim, yang ada trofi-trofinya tersapu tsunami karena buruknya permainan MU. Kalau sudah seperti ini, tidak degradasi pun sudah alhamdulillah buat Penulis.


Lawang, 15 September 2025, terinspirasi setelah menonton kekalahan Manchester United semalam atas Manchester City

Foto Featured Image: Liputan6

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version