Distopia Bagi Kia
Bagian 7 Konsekuensi Sebuah Perbuatan
Keputusan nekat Kia untuk masuk ke dalam museum tanpa penjagaan dari pak Tejo ternyata berbuntut panjang. Papa sangat murka dan memecat supir Kia sejak kecil tersebut dengan emosi. Fakta ini baru diketahui Kia satu minggu kemudian, sewaktu ia merasa heran karena yang mengantarnya adalah pak Iman yang sehari-hari bertugas sebagai satpam rumahnya.
“Pak Tejo dipecat?” tanya Kia tanpa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.
“Iya non, pak Tejo sekarang sedang berada di kamarnya, lagi siap-siap buat balik ke kampungnya. Kemarin malam, pak Labdajaya baru sempat telepon dia. Si Tejo juga dengan polosnya laporan apa adanya, cerita kalau dia nganter non Kia ke museum buat tugas sekolah. Sewaktu ditanya apakah pak Tejo ikut masuk ke dalam museum dan dia bilang enggak, wah tuan besar langsung marah besar non. Akhirnya pak Tejo dipecat deh.”
Kia begitu terperangah mendengar cerita pak Iman sehingga ia tidak bisa berkata-kata. Saat air matanya mulai menggenang, ia memutuskan untuk lari menuju ruangan pak Tejo yang terletak di bagian belakang rumahnya.
“Non, mau ke mana? Nanti telat sekolah lo.” ujar pak Iman berusaha mencegah Kia lari, yang tentu tidak dihiraukan oleh Kia. Di pikirannya, ia merasa begitu bersalah sehingga membuat supir yang selalu sabar menghadapinya diberhentikan secara buruk. Kia berlari sekencang mungkin, seolah takut pak Tejo tiba-tiba lenyap dari rumahnya.
Begitu sampai di depan kamar pak Tejo yang pintunya terbuka, Kia bisa melihat supirnya tersebut sedang memandangi sebuah foto tanpa pigura yang sedang ia genggam. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan raut wajah sedih, melainkan senyum getir yang bisa dirasakan oleh siapapun yang sedang melihat pak Tejo. Kia menjadi sedikit ragu untuk mengganggu momen pak Tejo. Terbesit di pikirannya untuk mengurungkan niatnya meminta maaf.
Untunglah pak Tejo menyadari bahwa ada orang yang sedang memperhatikannya. Ia memandang Kia dengan tatapan seperti biasanya ketika mereka akan berangkat dan pulang dari sekolah. Sama sekali tidak ada perasaan kesal ataupun dendam meskipun pemecatan yang diterimanya bisa dibilang berasal dari Kia.
“Eh non Kia, enggak berangkat? Hari ini yang nganter pak Iman ya, bapak udah enggak bisa nganter lagi.” kata pak Tejo diiringi dengan senyum tulusnya.
Pecahlah tangis Kia mendengar kalimat yang dilontarkan oleh pak Tejo. Ia terduduk sembari menutupi wajahnya. Pak Tejo langsung menghampiri Kia dan berusaha menenangkannya. Digiringnya Kia untuk duduk di sebuah kursi yang terletak di depan kamarnya. Kia terus menangis, tangisan penuh penyesalan. Seandainya saja ia tidak egois, seandainya saja ia mau menuruti permintaan pak Tejo, pasti hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Seandainya pak Tejo menemaninya ke dalam museum, mungkin saja Kia tidak perlu berurusan dengan kakek kurang waras yang ia temui tempo hari.
“Kenapa non kok nangis, sekarang udah hampir jam masuk sekolah lo, nanti nona telat enggak boleh masuk sekolah.” kata pak Tejo sembari menyodorkan segelas air putih ke Kia.
Butuh beberapa menit agar Kia bisa menghentikan tangisnya. Pak Iman dan beberapa pelayan rumahnya sudah berada di sekitarnya, memandangi Kia dengan wajah yang menunjukkan rasa penasaran yang besar. Tentu wajah pak Iman juga menunjukkan ekspresi khawatir karena bisa-bisa dia yang dipecat jika sampai Kia terlambat masuk sekolah.
Menyadari bahwa semua orang sedang menatapnya, Kia akhirnya angkat suara.
“Hari ini Kia ijin enggak masuk sekolah aja, Kia ngerasa enggak enak badan. Tolong bilang ke pak Budi buat bikinkan surat ijin.” Pak Budi adalah kepala pelayan di rumah Kia, bertugas menyelesaikan berbagai urusan rumah, termasuk surat ijin apabila Kia tidak masuk sekolah.
Semua mengangguk-angguk, merasa maklum dengan apa yang sedang dirasakan oleh Kia sekarang. Satu per satu mereka meninggalkan Kia dan pak Tejo, kembali mengerjakan tanggungjawab mereka. Pak Tejo masih berdiri di samping Kia. Ia paham, anak majikannya tersebut memiliki sesuatu yang hendak disampaikan untuk dirinya. Sekarang, yang bisa ia lakukan adalah menunggu Kia tenang dengan sabar, sesuatu yang hampir setiap hari ia lakukan selama kurang lebih 10 tahun.
“Kia minta maaf pak, gara-gara Kia pak Tejo jadi dipecat. Pak Tejo jangan pergi dulu, nanti Kia akan berusaha mengubah pikiran papa. Mungkin papa ambil keputusan sambil emosi, jadinya enggak dipikir panjang.” Kia pada akhirnya mengeluarkan apa yang dari tadi hendak disampaikan sambil terisak.
“Enggak kok non, saya yang salah. Bagaimanapun, tuan sudah memberikan amanah ke saya buat menjaga nona, dan saya dianggap lalai dalam melaksanakan tugas. Nona Kia jangan merasa bersalah ya.”
“Tapi pak, Kia maunya diantar sama pak Tejo. Kia enggak mau diantar sama orang lain.”
“Saya paham sama perasaannya non, tapi perintah tuan enggak bisa dibantah. Saya sama sekali enggak jengkel ke nona kok. Saya yakin, semua peristiwa pasti ada hikmah di baliknya.”
Kia kembali terisak. Perasaannya terluka. Ia belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya, menerima konsekuensi atas perbuatannya. Selama ini, ia tidak pernah membuat keputusan yang melawan keinginan orang tuanya. Kejadian di museum adalah pertama kalinya Kia memohon kepada orang lain agar mengabulkan keinginan egoisnya. Ia tak menyangka, keinginan tersebut menyebabkan kerugian untuk mereka berdua, Kia dan pak Tejo.
“Pak Tejo jangan pulang kampung dulu, Kia akan coba telepon papa. Mungkin papa bisa membatalkan keputusannya.” Kia masih berusaha mencegah kepergian pak Tejo.
“Enggak perlu non. Sejujurnya, saya juga sudah berencana untuk mengundurkan diri. Jadi, ya kebetulan kalau diberhentikan.”
“Kenapa pak? Apa pak Tejo udah enggak mau nganter Kia ke sekolah?”
“Bukan kok non, saya seneng selama jadi supirnya non.”
Pak Tejo menunjukkan sebuah foto seorang anak gadis kepada Kia, kira-kira masih duduk di bangku SMP. Kata pak Tejo, itu adalah foto anaknya di kampung. Di foto tersebut, ia tersenyum dengan manisnya, berdiri dengan posisi sedikit miring. Kia tidak pernah tahu bahwa pak Tejo memiliki anak perempuan. Bahkan, sebenarnya Kia tidak tahu apa-apa tentang pak Tejo.
“Saya merasa udah cukup lama merantau di ibukota, meninggalkan keluarga di kampung. Saya ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak saya lebih lama, walaupun penghasilan kerja di kampung tidak sebanding dengan gaji yang saya terima di sini. Jadi, saya harap nona bisa mengerti ya keputusan saya ini.”
Kia mengangguk kepala, walaupun sorot matanya masih mengandung penyesalan.
“Maaf kalau lancang, tapi nona sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Setiap pagi, setiap sore, saya merasa sedang mengantar anak saya sendiri. Karena itulah saya menikmati pekerjaan ini. Apalagi, nona tipe anak penurut yang enggak suka aneh-aneh. Pulang sekolah enggak pernah minta diantar ke tempat lain, kecuali kalau ada tugas kayak kemarin.”
Kia tidak membalas kalimat pak Tejo tersebut. Ia tidak pernah menganggap pak Tejo sebagai pengganti papanya, walaupun intensitas bertemunya dengan pak Tejo lebih panjang jika dibandingkan dengan papanya. Ia memutuskan untuk diam dan mendengarkan kalimat-kalimat selanjutnya dari pak Tejo.
“Saya berangkat satu jam lagi, dari sini naik bemo terus naik kereta. Kemarin si Budi sudah mengurus tiket pulang saya, jadi saya enggak perlu repot-repot beli tiket kereta. Nona baik-baik ya di sini, sementara Iman yang akan nganter nona sampai tuan menemukan supir baru buat nona.”
Sekali lagi, Kia menganggukkan kepalanya.
***
Setelah melihat kepergian pak Tejo dari balik jendela kamarnya, Kia memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya. Ia berbaring di tempat tidurnya sambil memeluk guling, berharap guling tersebut bisa memeluknya balik untuk memberikan rasa tenang. Kejadian hari ini membuatnya sadar, bahwa dirinya tidak seacuh yang ia pikirkan. Dirinya masih memiliki kepedulian kepada orang lain, kepada pak Tejo, walaupun selama ini ia selalu bersikap dingin kepada beliau. Memang benar kata orang, kita baru merasa memiliki di saat kita kehilangan.
Walaupun pak Tejo bilang bahwa dirinya memang berencana pensiun sebagai supirnya, pasti tetap saja yang namanya dipecat secara tidak hormat terasa menyakitkan. Apalagi, sumber permasalahan tersebut berasal dari dirinya. Kia ingin menghukum dirinya sendiri, namun tak tahu harus berbuat apa. Menyayat tangannya sendiri dengan silet? Kia tidak berani melakukan hal-hal sadis seperti itu. Hatinya terlalu lemah hanya untuk sekedar memegang silet, apalagi mengiriskannya ke tangan.
Kia ingin mencurahkan apa sedang ia alami kepada seseorang, tapi siapa? Menelepon orangtuanya jelas bukan pilihan. Salah satu pelayan di rumahnya? Tidak mungkin, Kia tidak pernah dekat dengan mereka semua. Teman sekolah? Kia tidak punya yang namanya teman sekolah, walaupun hanya sekedar nomor ponselnya.
Berpikir tentang teman sekolah membuatnya teringat, tugas kelompok sejarah yang telah ia kerjakan sendirian masih ada di dirinya. Padahal, hari ini adalah hari pengumpulannya. Artinya, teman-temannya akan kena marah guru karena tidak bisa mengumpulkan tugas. Kia tidak terlalu mempedulikan hal itu, toh mereka sama sekali tidak membantu. Biarkan mereka menggunakan alasan absennya dirinya untuk mengelak dari teguran guru.
Kia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja riasnya. Selama ini, hanya bayangannya di cerminlah yang menjadi teman bicaranya di saat ia membutuhkan orang lain mendengarkan ceritanya. Walaupun tak pernah mendapatkan respon balik, Kia merasa bayangannya jauh lebih bisa mendengar daripada manusia betulan.
“Apakah memang lebih baik aku hanya diam dan menuruti segala perintah orang tuaku?”
Mungkin jawabannya adalah iya. Sekali ia mencoba untuk melawannya, ternyata berakibat fatal. Dampaknya memang tidak langsung ke dirinya, tapi ke orang lain. Ia begitu menyesali kepergian pak Tejo karena kesalahannya.
“Jika aku yang salah, mengapa papa tidak meneleponku dan memarahiku? Kenapa hanya marah ke pak Tejo?”
Mungkin karena aku memang sebegitu tidak pentingnya di mata papanya, jawab Kia dalam hati. Sebegitu tidak berharganya dirinya, sehingga ia tidak layak untuk dihubungi orang tuanya sendiri. Kia mulai menangis lagi di depan cermin. Entah mengapa akhir-akhir ini Kia begitu mudah mengeluarkan air mata. Padahal, sebelum ia berumur 17 tahun, bisa dibilang ia hampir tidak pernah menangis. Ia menjalani rutinitasnya tanpa membawa perasaan, membuatnya selalu terlihat tidak memiliki ekspresi.
“Kenapa aku harus hidup di lingkungan seperti ini?”
Seandainya saja kata-kata kakek tersebut benar, apakah ia akan bahagia? Seandainya saja kata-kata kakek tersebut bisa terjadi secara nyata, apakah ia akan memilih untuk memasuki dunia lain melalui cermin antik di museum itu? Apakah mungkin kejadian yang di luar logika seperti itu benar-benar bisa terjadi? Apakah kakek tersebut sungguh-sungguh bisa membawanya pergi ke dunia lain yang bisa memberikannya kehidupan yang lebih baik?
Kepala Kia terasa berat. Nampaknya hari ini ia benar-benar sakit. Mungkin itu hukuman dari Tuhan karena telah membolos untuk pertama kali seumur hidupnya, walaupun ia memiliki alasannya sendiri. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat tidurnya, mencoba terlelap agar beban-beban kehidupan yang sedang ia panggul bisa ia letakkan sejenak.
***
“Nanti malam kamu jadi terbang ke Singapura?” tanya pak Labdajaya ke istrinya.
“Jadi.” jawab bu Labdajaya tanpa menoleh ke arah suami.
“Kalau gitu, titip berkas ini untuk diserahkan ke George ya. Kita harus tuntut habis-habisan orang yang sudah menipu kita di Kalimantan.”
Bu Labdajaya menerima berkas tersebut dan memasukkannya ke dalam koper. George adalah salah satu pengacara andalan keluarga Labdajaya, dan ia bekerja di Singapura. Sudah satu minggu pasangan tersebut berada di Kalimantan, lebih lama dari yang direncanakan. Bagaimana tidak, proses jual beli tanah yang sudah disepakati ternyata bermasalah. Sertifikat yang mereka dapatkan ternyata palsu, ditiru dengan teknologi canggih sehingga begitu mirip dengan sertifikat aslinya. Selama seminggu terakhir, pak Labdajaya uring-uringan terus meskipun nilai kerugian yang mereka tanggung tidak seberapa jika dibandingkan dengan total aset yang dimiliki. Hanya saja, ditipu merupakan hal yang paling dibenci oleh pak Labdajaya. Kini, ia berusaha untuk mengejar sang penipu yang telah kabur membawa uangnya.
Kemarahan tersebut menjalar ke mana-mana, termasuk keputusan memecat pak Tejo karena melepas Kia tanpa pengawasan. Bu Labdajaya sudah berusaha untuk mengurungkan niat suaminya tersebut, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Keputusan telah diambil, pak Tejo telah pulang ke kampung halamannya karena satu kesalahan kecil. Padahal, dulu pak Labdajaya sendiri yang memilih pak Tejo untuk menjadi supir pribadi anaknya. Seluruh dedikasi yang telah diberikan pak Tejo luntur hanya karena satu peristiwa.
“Mungkin memang sebaiknya malam itu kami tidak perlu berangkat ke Kalimantan, dan menghabiskan waktu lebih banyak bersama Kia.” gumam bu Labdajaya dalam hati.
Sebenarnya, ia ingin menghubungi anaknya. Akan tetapi, Kia sangat jarang mengecek ponselnya, bahkan seringkali dibiarkan mati selama beberapa hari. Bu Labdajaya khawatir, anak gadisnya tersebut sedang sedih karena harus berpisah dari supir pribadinya sejak kecil. Bagaimanapun, seorang ibu tentu memikirkan perasaan seorang anaknya, walaupun sang anak tidak bisa merasakannya.
You must be logged in to post a comment Login