Film & Serial

Setelah Menonton Sekala Niskala dan Hongkong Kasarung

Published

on

Sebenarnya tidak ada niatan untuk menonton di bioskop ketika penulis melakukan perjalanan ke Jakarta. Hanya saja, ketika membuat rekening Genius dari BTPN saat penulis berada di even Education Fair, penulis mendapatkan voucher menonton di Cinema XXI. Walaupun bukan termasuk hobi, apa salahnya menonton ketika punya tiket gratis.

Maka penulis pun mencari-cari, film apa yang sekiranya bisa dilihat. Setelah menimbang-nimbang dan teringat kampanye Chelsea Islan dengan hashtag #banggafilmindonesia, penulis pun memilih film Sekala Niskala yang mengangkat budaya Bali.

Setelah tertunda beberapa kali, penulis akhirnya berangkat menuju Cinema XXI yang berada di Taman Ismail Marzuki karena dekat dengan Masjid Cut Meutia (baca: Pengalaman Sholat Jum’at di Masjid Cut Meutia).

Sekala Niskala

Sekala Niskala (http://www.suaramerdeka.com/ekspresi/detail/504/Sekala-Niskala-Hubungan-Magis-Antara-Saudara-Kembar)

Ketika berada di loket, penulis melihat bahwa film terbaru Sule, Hongkong Kasarung, telah tayang di bioskop. Maka dari itu penulis putuskan untuk menonton sekalian film tersebut. #banggafilmindonesia

Penulis sedikit terlambat karena waktunya yang agak mepet dengan waktu berakhirnya Sholat Jum’at. Pikir penulis, pasti sudah banyak yang datang. Ternyata, baru enam orang yang datang. Fakta ini penulis ketahui ketika memilih kursi di loket, ketika warna hijau mendominasi layar. Penulis sampai bertanya kepada petugas loket, yang kosong yang warna apa, merah atau hijau.

Karena banyak kursi kosong, penulis bisa bebas memilih kursi mana yang ingin diduduki. Bioskop serasa milik sendiri, walaupun di belakang banyak pasangan yang juga ikut menonton.

Lalu, bagaimana filmnya?

Melihat Sekala Niskala itu serasa membaca puisi. Multitafsir dan butuh penghayatan yang dalam. Penulis butuh browsing untuk bisa memahami film tersebut.

Ternyata, Sekala dan Niskala adalah dua dunia yang berbeda, di mana Sekala adalah dunia nyata di mana kita tinggal dan Niscaya adalah alam lain, yang di film ini merupakan dunia imajinasi dari karakter utama.

Budaya Bali dalam film ini sangat kentara, mulai dari bahasa hingga tarian-tarian yang ditampilkan. Benar-benar membawa budaya asli Indonesia, bukan hanya sekedar kata-kata dalam bahasa daerah (termasuk kata kotornya) seperti film sebelah.

Walaupun sempat tertidur karena banyaknya adegan sinden bernyanyi yang membuat penulis terkantuk-kantuk, penulis merasa puas melihat film ini, bagaikan melihat almarhum Rendra membawakan puisinya.

Hongkong Kasarung

Hongkong Kasarung (youtube.com)

Setelah melihat film serius (sama sekali tidak ada humor dalam film Sekala Niskala), penulis menonton film komedi Hongkong Kasarung. Awalnya penulis agak skeptis melihat film komedi lokal, takutnya garing seperti kerupuk.

Untunglah, semua pesimisme penulis salah besar. Film tersebut kocak habis! Banyak adegan-adegan lucu yang berhasil membuat tawa penulis lepas. Guyonan khas Sule dkk muncul dalam film ini. Penggunaan bahasa Sunda menambah nilai positif film ini.

Intinya, film ini penulis rekomendasikan untuk semua kalangan usia.

Penutup

Tahun 2018 ini merupakan rekor penulis dalam menonton film, dengan menonton 4 film dalam tiga bulan. Sebagai perbandingan, tahun 2017 kemarin, selama satu tahun penulis hanya menonton satu kali, yakni film Sword Art Online the Movie: Ordinal Scale (padahal penulis tidak pernah melihat serial Sword art Online, alhasil teman penulis menjadi korban karena penulis tak pernah berhenti bertanya tentang film tersebut).

Dari empat film tersebut, tiga di antaranya adalah film lokal (baca: Setelah Menonton Si Juki), hanya Black Panther yang film buatan luar (karena penulis penggemar Superhero).

Mengapa bisa seperti itu?

Karena penulis menyadari bahwa kita bisa berperan memajukan perfilman Indonesia dengan cara menontonnya. Kalau bisa, bukan film-film terkenal macam cinta-cintaan anak SMA itu, melainkan film-film yang mengangkat budaya lokal. Tapi jika maunya film yang bergenre romantis, ya enggak apa-apa, yang penting masih film lokal.

Semangat #banggafilmindonesia ini terinspirasi dari teman penulis semasa di Pare, bang Edo, yang pernah berkata:

“Kalau ada film Indonesia, aku akan berusaha untuk menontonnya.”

Kalau film-film box office dari luar negeri kan sudah tersebar ke mana-mana tuh, pasti banyak penontonnya. Karena itu, sebagai warga negara yang baik, menonton karya anak bangsa adalah salah satu bentuk dukungan kita kepada perfilman Indonesia agar semakin maju.

Sekali lagi, #banggafilmindonesia

 

 

Lawang, 23 Maret 2018, terinspirasi setelah menonton film Sekala Niskala dan Hongkong Kasarung

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version