Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 88 Pengakuan Markus
Pengumuman kelulusan muncul dua minggu setelah pertemuanku dengan Zane dan Awan, tepatnya pada akhir Mei. Selama itu pula Kenji masih harus dirawat di rumah sakit. Kata dokter, kondisinya masih belum stabil walaupun ia terlihat kuat ketika bertemu dengan teman-temannya. Aku pun jadi makin mengkhawatirkan kondisinya.
“Untung ya Le sekolah kita lulus semua. Nilai kelas kita pun tinggi-tinggi,” kata Rika di kelas setelah kami mendengar pengumuman kelulusan.
“Iya Rika.”
“Kenji harus kita beri tahu, nilainya sempurna, satu-satunya dari provinsi! Pasti ia senang dengar kabar ini.”
“Iya Rika.”
Menyadari aku menjawabnya dengan asal-asalan, Rika pun memegang pundakku dan berlalu. Ia paham kalau aku butuh waktu sendiri. Bukan karena nilaiku kalah sedikit dari nilai Kenji, melainkan karena merasa kehilangan. Seharusnya, momen seperti ini bisa dirayakan bersama-sama. Jika Kenji sedang dalam kondisi sehat, ia akan berdiri di depan kelas dan mengatakan kalimat-kalimat yang mengharukan.
Dari sudut kelas, aku bisa memperhatikan ekspresi bahagia teman-teman setelah mengetahui mereka telah lulus dari SMA dan sedikit tegang membayangkan bagaimana kehidupan perkuliahan nanti. Beberapa memang sudah mendapatkan kampusnya, namun masih ada teman-teman yang masih harus berjuang melalui jalur tes tulis nanti. Aku tidak bisa memberikan bantuan apa-apa selain mendoakan yang terbaik untuk mereka semua. Aku jadi merasa sedikit sentimentil. Mau bagaimanapun, mereka semua adalah teman-teman yang baik. Mereka mau menerimaku setelah semua kelakuanku di masa-masa MOS. Membayangkan kalau setelah ini harus berpisah dengan mereka membuatku merasa sedih.
“Leon kenapa? Kok matanya berkaca-kaca gitu?” tiba-tiba Gita datang dari arah samping dan memergokiku sedang bersedih. Aku mengusap air mata dan menjawab tidak apa-apa.
“Kamu sedih ya karena harus pisah dari kami? Kamu harus lanjut kuliah di Jakarta, jauh dari kami semua,” kata Gita lagi.
“Ketebak, ya.”
“Ya kita jadi teman sekelas udah dua tahun, wajar kan? Apalagi, kamu bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan ekspresi. Semua kamu tampilkan apa adanya.”
“Iya Gita, terima kasih.”
“Tenang Le, kami pasti akan nunggu kamu pulang dari Jakarta. Enggak mungkin kan kamu akan terus-terusan di sana? Pasti ada waktunya kamu balik, entah lebaran entah kapan. Di saat itu, kita semua akan berkumpul lagi seperti biasanya!”
Aku mengucapkan terima kasih ke Gita. Ia membalasnya dengan senyuman. Kami berdua tidak pernah benar-benar dekat, namun entah mengapa aku bisa merasa kalau kami bisa saling memahami. Kalimat-kalimat yang muncul dari Gita memberiku semangat lagi. Aku yakin, kami semua akan bertemu lagi di waktu yang akan datang. Kami sudah bagai keluarga tanpa ikatan darah. Mungkin aku memang tidak dekat dengan semuanya, tapi aku merasa telah menjadi bagian dari keluarga ini. Aku yakin suatu saat kami akan berkumpul bersama lagi. Di saat itu, Kenji telah sembuh total dari penyakitnya dan akan memeriahkan suasana seperti biasa.
***
Sepulang dari sekolah, mengabaikan kelas-kelas lain yang memulai tradisi corat-coret seragam yang tak berfaedah, aku mendapatkan telepon dari Zane.
“Halo Leon, kata Rachel hari ini pengumuman kelulusan, ya? Selamat ya buat kelulusannya.”
“Iya, terima kasih Zane.”
“Saya punya sesuatu sebagai hadiah kelulusanmu.”
“Oh iya? Apa itu?”
“Saya sudah tahu di mana Markus berada. Kamu senggang sekarang? Kalau iya, satu jam lagi saya meluncur ke rumahmu.”
Kabar tersebut membuat perasaanku yang tadinya sendu mendadak bergelora. Lebih tepatnya, terbakar emosi. Siapa yang menyangka kalau aku akan bertemu dengan pembunuh ibuku secepat ini. Aku harus mengendalikan diri agar emosi ini segera surut dan aku tidak berbuat hal yang bisa merugikan diriku sendiri.
“Kakak, kenapa wajahnya jadi tegang gitu? Kan kakak udah lulus,” tanya Gisel yang memecah lamunanku.
“Ah, maaf Gisel, kakak baru dapat telepon dari Zane. Kakak harus pergi satu jam lagi.”
“Yah, Gisel ditinggal lagi. Sebelum kakak pergi, kakak harus makan kue buatan Gisel, khusus buat merayakan kelulusan kakak.”
Gisel segera berlari ke arah dapur dan kembali dengan membawa sebuah kue mungil yang terlihat sangat manis. Aku pun terkejut melihat kejutan dari adikku yang paling manis ini.
“Sejak kapan Gisel bisa bikin kue kayak gini?” tanyaku keheranan.
“Hehehe, akhir-akhir ini Gisel emang sering latihan biar bisa kasih hadiah buat kakak. Cobain kak!”
Aku pun mengambil sepotong dan langsung memasukkannya ke dalam mulut. Kue buatan Gisel langsung luber di dalam, begitu empuk. Manis, tapi tidak terlalu manis. Pas untuk seleraku.
“Ini kue terenak yang pernah kakak makan. Makasi ya Gisel, sini kakak peluk.”
Gisel pun berlari ke arahku dan memelukku dengan sangat erat. Emosiku yang muncul tadi tiba-tiba padam begitu saja. Gisel memang orang yang paling bisa meredakan emosiku. Aku bersyukur memilikinya dalam hidupku.
***
Mobil Zane terdengar berhenti di depan rumahku. Aku yang sudah siap dari tadi menghampirnya dengan segera setelah berpamitan dengan Gisel. Ternyata, ia juga bersama Awan. Tanpa banyak basa-basi, kami pun segera pergi entah ke mana tujuannya. Aku duduk di bangku belakang, sedangkan Awan duduk di sebelah Zane yang mengemudi.
“Jadi Leon, ternyata si Markus ini tengah dipenjara karena kasus lain. Saya mendapatkan informasi ini kemarin malam. Oleh karena itu, saya langsung meneleponmu hari ini dan mengajak Awan juga. Siapa tahu kita bisa mendapatkan informasi tambahan darinya dengan iming-iming masa hukumannya bisa diperingan,” jelas Zane di dalam perjalanan.
“Ada masalah Leon?” tanya Zane tiba-tiba. Ternyata ia memperhatikanku dari kaca spion. Nampaknya ketegangan wajahku berhasil ia tangkap. Aku segera berkata tidak ada apa-apa agar tidak membuatnya cemas dan membatalkan pertemuan ini. Zane memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah dan beralih dengan membicarakan berbagai topik dengan Awan. Awalnya aku berusaha menyimak percakapan mereka, sebelum akhirnya terbawa oleh lamunanku sendiri.
Sekitar satu jam kemudian, kami sampai di depan penjara. Zane nampak kenal dengan petugas-petugas yang ada di sana. Aku dan Awan hanya membuntutinya di belakang, menuju sebuah ruangan yang sedikit pengap. Kami diminta untuk menunggu di sana. Lima menit kemudian, pintu terbuka dan terlihat seorang laki-laki berkepala botak di hadapan kami. Jadi inilah Markus, orang yang sudah memaksa ibuku bunuh diri.
“Wah wah, kukira siapa, ternyata kawan lamaku Awan,” kata Markus tanpa terlihat bersalah sama sekali.
“Santai sekali kamu Markus, padahal posisimu sedang mengenakan baju narapidana dan kedua lengan diborgol,” jawab Awan tak mau kalah.
“Wah, nampaknya dirimu sekarang dikawal ya? Makanya bisa sedikit congkak seperti ini. Aku enggak akan lupa sama wajah takutmu ketika tahu anakmu dibunuh.”
Awan berdiri, namun segera ditenangkan oleh Zane. Ia memutuskan untuk mengendalikan situasi.
“Markus, mungkin kamu pernah mendengar nama saya. Saya Zane Trunajaya dan di sini bertindak sebagai pengacara Awan. Semua kata-kata yang terucap dari mulutmu akan menentukan lamamu mendekam di penjara. Jadi, hati-hati dengan kalimatmu.”
Markus hanya menyeringai diberi peringatan seperti itu. Ia terlihat seperti seseorang yang sudah pasrah dengan hidupnya dan tidak peduli lagi dengan apapun. Oleh petugas, ia digiring untuk duduk di hadapan kami. Wajahnya benar-benar memuakkan.
“Jadi ucapanku tadi juga termasuk dicatat ya, sial.”
“Kamu mengakui kalau kamu orang dibalik pembunuhan anakku?” tanya Awan dengan nada suara tinggi.
“Kamu kira aku bodoh ya? Jelas-jelas tuan pengacara ini bilang semua ucapanku akan dicatat, lantas kamu suruh aku mengakui sesuatu yang belum tentu benar?”
“Markus, kalau Anda berani mengakui semua kejahatan yang sudah diperbuat, saya yang menjamin kalau masa hukuman Anda tidak akan terlalu berat karena bisa diajak kerja sama.”
Markus hanya mendengus mendengar kalimat Zane.
“Terserah kalian lah, aku juga udah enggak punya apa-apa lagi sekarang. Si tua itu udah mau bangkrut, tinggal tunggu waktu.”
“Baiklah, saya mulai tanya jawabnya. Apakah Anda mengakui terlibat dalam kasus pembunuhan anak saudara Awan yang bernama Syarifudin?”
“Iya iya, aku yang menabraknya karena Awan tidak mau menyerahkan bukti jahanam itu.”
“Anda juga mengakui kalau terlibat rekayasa pembunuhan yang dialami oleh Ibu Dewi?”
“Wah, sampai ke situ juga ya? Iya, aku pelakunya.“
Mendengar pengakuan tersebut, darahku kembali mendidih. Aku mengepalkan tangan sebagai upaya untuk menahan emosi.
“Di sebelah saya ini adalah anak dari beliau. Ia punya beberapa pertanyaan untukmu.”
“Wah benarkah? Kalau tidak salah waktu itu cuma ada anak perempuan. Aku tidak tahu kalau Dewi punya anak laki-laki.”
“Diamlah brengsek dan dengarkan pertanyaanku.”
Semua terkaget mendengar kalimat yang meluncur dari bibirku. Markus yang dari tadi terlihat angkuh pun terkejut. Sorot matanya untuk pertama kali menunjukkan ketakutan.
“Bagaimana kau merekayasa kematian ibuku?”
“Aku memaksanya menggantung lehernya sendiri, kalau tidak anaknya yang kecil itu akan kubunuh. Ia menuruti permintaan tersebut dan kami pun pergi begitu saja. Kami membunuhnya sebagai peringatan kepada Awan.”
“Kau tidak sendirian waktu itu, ke mana rekanmu yang satu lagi?”
“Mati, dia sudah mati. Kalah judi, terlibat pertikaian hingga tertembak.”
“Dewi bukanlah ibu kandungku. Kau tahu orang kandungku, Bambang dan Ratih. Di mana mereka berada?”
“Tidak tahu, waktu mereka hilang aku belum membelot.”
“Di mana Wijaya sekarang?”
“Tidak tahu, kami selalu berkomunikasi melalui telepon. Sudah lama kami tidak bertemu secara langsung.”
“Kau tadi bilang si tua itu akan bangkrut, maksudnya Wijaya, kan?”
“Benar, tapi aku tahu itu karena si tua itu sudah tidak mampu membayar kami. Orang-orang yang ia bayar untuk mengawasi orang-orang seperti Awan juga sudah entah hilang ke mana.”
Aku menggertakkan gigi. Sudah tidak ada pertanyaan lagi yang ingin kutanyakan. Tapi aku benar-benar merasa kesal karena tidak banyak informasi baru yang berhasil kudapatkan darinya. Aku hanya bisa mengonfirmasi apa saja yang sudah ia lakukan.
“Satu lagi informasi buatmu nak. Wanita selingkuhan ayahmu itu juga orangnya Wijaya. Hal itu disengaja untuk merusak mental ibumu. Sayangnya, ibumu termasuk tangguh.”
Mendengar itu, aku langsung menerjang ke arahnya sebelum ditahan oleh Zane. Pernyataan itu benar-benar membuatku marah. Terlebih lagi ia bisa mengatakan itu dengan santainya.
“Leon tenang, ingat kataku tadi. Jangan sampai kita melukai saksi mata sekaligus tersangka. Tenang Leon, tenang,” kata Zane berusaha menahan diriku dengan tenaganya yang cukup besar. Aku berusaha mengatur napasnya yang tidak beraturan dan kembali duduk di kursiku.
“Baiklah Markus, ada hal lain yang bisa Anda sampaikan kepada kami? Di mana teman-temanmu yang lain? Siapa saja yang terlibat dengan kejahatan-kejahatan ini? Kalau informasimu benar, saya akan berusaha meringankan hukuman Anda.”
“Mau diringankan atau tidak terserah saja, aku sudah tidak peduli. Tangan ini sudah terlalu kotor, mau mati besok pun aku tidak peduli.”
“Markus, siapa lagi yang terlibat dalam kasus-kasus ini?”
Markus pun mulai menyebutkan nama-nama yang tidak aku kenal. Zane sesekali melontarkan pertanyaan untuk memperjelas sesuatu. Aku dan Awan hanya duduk diam memperhatikan kesaksian Markus. Jujur, aku sama sekali tidak merasa puas dengan pertemuan ini. Seandainya aku diberi kesempatan menyebutkan satu permintaan untuk dikabulkan, aku akan meminta agar dipertemukan dengan Wijaya. Aku ingin sekali bertemu dengannya dan membuat perhitungan. Sangat ingin, tak peduli berapapun harganya.
You must be logged in to post a comment Login