Pengalaman
Salah Jurusan Sampai Lulus
Penulis kerap kali merasa dirinya salah jurusan sewaktu kuliah, bahkan hingga detik ini. Bahkan pekerjaannya sekarang lumayan melenceng dari studi yang telah ditamatkan selama 4.5 tahun.
Kenapa bisa seperti itu? Apa yang membuat Penulis memutuskan untuk mengambil jurusan Informatika? Bagaimana konsekuensinya di kehidupan yang sekarang?
Mumpung adik kandung Penulis dan adik-adik Karang Taruna banyak yang sedang mengikuti ujian masuk universitas, Penulis ingin berbagi pengalamannya.
Kenapa Merasa Salah Jurusan?
Mungkin ada yang penasaran, mengapa Penulis sampai merasa salah jurusan. Jawabannya sederhana, Penulis tidak bisa menguasai apa yang dipelajarinya selama kuliah.
Sebagai sarjana yang menyandang gelar S. Kom, orang akan berekspetasi kalau Penulis akan mahir dalam pemograman alias ngoding. Kenyatannya, tidak.
Sejujurnya ketika ada yang bertanya “kok anak TI enggak bisa ngoding?” atau “lulusan IT kok enggak jadi programmer?”, Penulis akan merasa sedikit terbebani dan semakin menegaskan kalau Penulis salah jurusan.
Akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, Penulis menyadari bahwa itu sudah suratan takdir yang telah dilalui. Tidak mungkin semua itu terjadi begitu saja tanpa ada hikmah yang bisa dipetik.
Bagaimana ceritanya sehingga Penulis bisa memilih dan masuk ke jurusan ini?
Awal Mula Pemilihan
Sewaktu SMA, Penulis masuk ke kelas IPA. Tidak termasuk anak pintar, biasa-biasa saja. Nilai rata-rata UN-nya hanya 7, walau setidaknya itu murni hasil sendiri.
Bisa dibilang tidak ada pelajaran IPA yang Penulis senangi atau kuasai. Penulis justru lebih tertarik dengan pelajaran IPS seperti sejarah dan geografi.
Oleh karena itu, sama sekali tidak pernah terbesit untuk kuliah di jurusan IPA, baik murni maupun terapan. Hal ini membuat Penulis sempat bingung ingin mengambil jurusan apa.
Penulis justru merasa ingin mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI). Selain karena tertarik dengan materinya, orangtua Penulis juga sama-sama lulusan HI.
Kalaupun ada jurusan IPA yang membuat Penulis tertarik, mungkin jurusan Teknik Informatika (TI). Alasannya sederhana, Penulis sejak kecil suka mengutak-atik komputer.
Sempat ragu karena passing grade-nya tinggi, Penulis akhirnya memilih jurusan tersebut setelah mendapatkan dorongan dari ayah. Pada akhirnya, Penulis mengikuti jalur IPC (Campuran) dengan memilih 3 jurusan di Universitas Brawijaya:
- Teknik Informatika
- Hubungan Internasional
- Pariwisata
Harapannya, karena TI passing grade-nya tinggi, Penulis bisa masuk ke jurusan HI yang passing grade-nya lebih rendah. Sayang, takdir berkata lain. Penulis diterima di jurusan TI.
Shock Therapy
Penulis suka dunia komputer sejak kecil. Komputer Pentium 4-nya dulu kerap dimodifikasi tampilannya dengan berbagai cara. Penulis juga suka melakukan editing gambar ataupun video.
Ekspetasi Penulis seperti itu ketika masuk ke jurusan IT. Kenyataannya, jauh berbeda. Penulis benar-benar merasa masuk ke dunia yang sama sekali asing.
Memang Penulis pernah tahu tentang bahasa pemrograman karena teman SMA pernah ada yang mengikuti olimpiade komputer. Penulis tak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan bertemu dengannya secara langsung, setiap hari, tanpa ampun.
Kenapa bisa sampai seperti itu? Mungkin karena waktu melakukan pemilihan, Penulis kurang melakukan riset dan tidak punya orang yang bisa ditanyai seputar dunia perkuliahan.
Maka dari itu, Penulis sekarang berusaha semaksimal mungkin untuk membantu adik-adiknya dalam memilih jurusan kuliah. Kalau bisa, jangan sampai apa yang Penulis alami ini terulang pada mereka.
Dasar dari jurusan TI adalah pemograman. Semester 1, mata kuliah Pemograman Dasar, Penulis berkenalan dengan Java dan mendapatkan nilai C. Padahal, itu mata kuliah dasar yang akan menjadi landasan untuk mata kuliah lainnya.
Pemograman membutuhkan pemahaman yang kuat. Masalahnya, Penulis mengalami kesulitan dalam memahami konsep logika pemograman, termasuk memahami bahasa-bahasanya.
Apalagi di semester-semester berikutnya, Penulis bertemu dengan bahasa pemograman lain yang tak kalah rumit dari Java, seperti PHP dan mySQL.
Alhasil, sempat terbesit di kepala untuk mengundurkan diri dari jurusan TI dan mengikuti SBMPTN tahun berikutnya. Untungnya, Penulis mengurungkan niat tetsebut dan melanjutkan kuliah. Mengapa Penulis bisa bertahan hingga lulus?
Ketua Kelas D dan 11 Pria Tampan
Pada hari pertama kuliah, Penulis dengan percaya dirinya mengajukan diri sebagai ketua kelas TIF-D. Alasannya jelas, Penulis ingin membuka lembaran hidup baru.
Bahkan sejak kuliah, Penulis meninggalkan nama panggilannya di rumah dan memilih untuk menggunakan nama Fanandi saja.
Dengan menjadi ketua kelas, Penulis bisa berinteraksi dengan semua teman kelas dan dosen, sesuatu yang mungkin akan sulit terwujud jika Penulis hanya menjadi mahasiswa biasa.
(Trivia, zaman dulu kami belum terbiasa menggunakan Google Drive, sehingga jika dosen memberikan materi, teman-teman akan memberikan Flash Disk-nya ke Penulis dan Penulis akan mengopinya satu per satu.)
Setelah satu semester bersama kelas D, semester 2 kelas kami dicampur dengan kelas H. Kami pun berkenalan dengan banyak teman baru.
Penulis masih ingat ketika semester 4, secara iseng Penulis membuat grup bernama 11 Pria Tampan (disingkat 11PT). Siapa yang menyangka kalau grup (atau geng) tersebut masih bertahan hingga sekarang, walau ada anggota yang “menghilang”.
Bisa dibilang, 11PT inilah yang membuat Penulis bisa bertahan di jurusan ini sampai lulus. Selain karena membuat Penulis betah karena rasa persaudaraan yang muncul, mereka juga kerap membantu studi Penulis termasuk ketika menyusun skripsi.
Menyesal?
Penulis merasa salah masuk jurusan hingga lulus, iya. Penulis menyesal karena sudah berkuliah di jurusan Informatika, tidak. Ada banyak hal yang Penulis dapatkan di luar bidang akademis.
Selain mendapatkan kawan-kawan yang suportif hingga sekarang, Penulis juga mendapatkan banyak pengalaman hidup yang dampaknya terasa hingga sekarang.
Dengan menjadi ketua kelas, Penulis yang cenderung introvert ini jadi bisa menjalin hubungan dengan banyak orang. Sebenarnya Penulis melakukan hal yang sama ketika SMA, namun entah mengapa dampaknya lebih terasa ketika kuliah.
Selama kuliah, Penulis mengikuti dua kegiatan kampus, yakni Pers Mahasiswa dan Kelompok Riset Mahasiswa. Dua-duanya tidak berakhir dengan baik karena kesalahan Penulis. Dari sana, Penulis belajar banyak.
Yang jelas, potongan-potongan peristiwa yang terjadi ketika masa kuliah berkontribusi banyak kepada diri Penulis yang sekarang. Karena itu semua, tidak sekalipun Penulis pernah merasa menyesal telah berkuliah di jurusan Informatika.
Penutup
Merasa salah jurusan bukan berarti Penulis tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari kampus. Setidaknya, dasar penalaran logikanya sangat membantu Penulis hingga sekarang.
Sebagai contoh, Penulis mampu menganalisa data dari tabel dan membuat kesimpulannya. Materi ini tidak diajarkan di kampus, namus basis pengetahuannya adalah logika.
Penulis berharap adik-adiknya tidak perlu mengalami apa yang sudah dialami oleh Penulis. Semoga mereka berhasil masuk ke jurusan yang sesuai dengan bayangan mereka. Amin.
Kebayoran Lama, 11 Juli 2020, terinspirasi dari adik-adiknya yang sedang mengikuti ujian SBMPTN
Foto: Inside Higher Ed
You must be logged in to post a comment Login