Pengalaman
Salah Jurusan Sampai Lulus
 
																								
												
												
											Penulis kerap kali merasa dirinya salah jurusan sewaktu kuliah, bahkan hingga detik ini. Bahkan pekerjaannya sekarang lumayan melenceng dari studi yang telah ditamatkan selama 4.5 tahun.
Kenapa bisa seperti itu? Apa yang membuat Penulis memutuskan untuk mengambil jurusan Informatika? Bagaimana konsekuensinya di kehidupan yang sekarang?
Mumpung adik kandung Penulis dan adik-adik Karang Taruna banyak yang sedang mengikuti ujian masuk universitas, Penulis ingin berbagi pengalamannya.
Kenapa Merasa Salah Jurusan?
Mungkin ada yang penasaran, mengapa Penulis sampai merasa salah jurusan. Jawabannya sederhana, Penulis tidak bisa menguasai apa yang dipelajarinya selama kuliah.
Sebagai sarjana yang menyandang gelar S. Kom, orang akan berekspetasi kalau Penulis akan mahir dalam pemograman alias ngoding. Kenyatannya, tidak.
Sejujurnya ketika ada yang bertanya “kok anak TI enggak bisa ngoding?” atau “lulusan IT kok enggak jadi programmer?”, Penulis akan merasa sedikit terbebani dan semakin menegaskan kalau Penulis salah jurusan.
Akan tetapi dengan seiring berjalannya waktu, Penulis menyadari bahwa itu sudah suratan takdir yang telah dilalui. Tidak mungkin semua itu terjadi begitu saja tanpa ada hikmah yang bisa dipetik.
Bagaimana ceritanya sehingga Penulis bisa memilih dan masuk ke jurusan ini?
Awal Mula Pemilihan

Kampus Tercinta (Twitter)
Sewaktu SMA, Penulis masuk ke kelas IPA. Tidak termasuk anak pintar, biasa-biasa saja. Nilai rata-rata UN-nya hanya 7, walau setidaknya itu murni hasil sendiri.
Bisa dibilang tidak ada pelajaran IPA yang Penulis senangi atau kuasai. Penulis justru lebih tertarik dengan pelajaran IPS seperti sejarah dan geografi.
Oleh karena itu, sama sekali tidak pernah terbesit untuk kuliah di jurusan IPA, baik murni maupun terapan. Hal ini membuat Penulis sempat bingung ingin mengambil jurusan apa.
Penulis justru merasa ingin mengambil jurusan Hubungan Internasional (HI). Selain karena tertarik dengan materinya, orangtua Penulis juga sama-sama lulusan HI.
Kalaupun ada jurusan IPA yang membuat Penulis tertarik, mungkin jurusan Teknik Informatika (TI). Alasannya sederhana, Penulis sejak kecil suka mengutak-atik komputer.
Sempat ragu karena passing grade-nya tinggi, Penulis akhirnya memilih jurusan tersebut setelah mendapatkan dorongan dari ayah. Pada akhirnya, Penulis mengikuti jalur IPC (Campuran) dengan memilih 3 jurusan di Universitas Brawijaya:
- Teknik Informatika
- Hubungan Internasional
- Pariwisata
Harapannya, karena TI passing grade-nya tinggi, Penulis bisa masuk ke jurusan HI yang passing grade-nya lebih rendah. Sayang, takdir berkata lain. Penulis diterima di jurusan TI.
Shock Therapy

Bahasa Java (netbeans.org)
Penulis suka dunia komputer sejak kecil. Komputer Pentium 4-nya dulu kerap dimodifikasi tampilannya dengan berbagai cara. Penulis juga suka melakukan editing gambar ataupun video.
Ekspetasi Penulis seperti itu ketika masuk ke jurusan IT. Kenyataannya, jauh berbeda. Penulis benar-benar merasa masuk ke dunia yang sama sekali asing.
Memang Penulis pernah tahu tentang bahasa pemrograman karena teman SMA pernah ada yang mengikuti olimpiade komputer. Penulis tak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan bertemu dengannya secara langsung, setiap hari, tanpa ampun.
Kenapa bisa sampai seperti itu? Mungkin karena waktu melakukan pemilihan, Penulis kurang melakukan riset dan tidak punya orang yang bisa ditanyai seputar dunia perkuliahan.
Maka dari itu, Penulis sekarang berusaha semaksimal mungkin untuk membantu adik-adiknya dalam memilih jurusan kuliah. Kalau bisa, jangan sampai apa yang Penulis alami ini terulang pada mereka.
Dasar dari jurusan TI adalah pemograman. Semester 1, mata kuliah Pemograman Dasar, Penulis berkenalan dengan Java dan mendapatkan nilai C. Padahal, itu mata kuliah dasar yang akan menjadi landasan untuk mata kuliah lainnya.
Pemograman membutuhkan pemahaman yang kuat. Masalahnya, Penulis mengalami kesulitan dalam memahami konsep logika pemograman, termasuk memahami bahasa-bahasanya.
Apalagi di semester-semester berikutnya, Penulis bertemu dengan bahasa pemograman lain yang tak kalah rumit dari Java, seperti PHP dan mySQL.
Alhasil, sempat terbesit di kepala untuk mengundurkan diri dari jurusan TI dan mengikuti SBMPTN tahun berikutnya. Untungnya, Penulis mengurungkan niat tetsebut dan melanjutkan kuliah. Mengapa Penulis bisa bertahan hingga lulus?
Ketua Kelas D dan 11 Pria Tampan

11 Pria Tampan
Pada hari pertama kuliah, Penulis dengan percaya dirinya mengajukan diri sebagai ketua kelas TIF-D. Alasannya jelas, Penulis ingin membuka lembaran hidup baru.
Bahkan sejak kuliah, Penulis meninggalkan nama panggilannya di rumah dan memilih untuk menggunakan nama Fanandi saja.
Dengan menjadi ketua kelas, Penulis bisa berinteraksi dengan semua teman kelas dan dosen, sesuatu yang mungkin akan sulit terwujud jika Penulis hanya menjadi mahasiswa biasa.
(Trivia, zaman dulu kami belum terbiasa menggunakan Google Drive, sehingga jika dosen memberikan materi, teman-teman akan memberikan Flash Disk-nya ke Penulis dan Penulis akan mengopinya satu per satu.)
Setelah satu semester bersama kelas D, semester 2 kelas kami dicampur dengan kelas H. Kami pun berkenalan dengan banyak teman baru.
Penulis masih ingat ketika semester 4, secara iseng Penulis membuat grup bernama 11 Pria Tampan (disingkat 11PT). Siapa yang menyangka kalau grup (atau geng) tersebut masih bertahan hingga sekarang, walau ada anggota yang “menghilang”.
Bisa dibilang, 11PT inilah yang membuat Penulis bisa bertahan di jurusan ini sampai lulus. Selain karena membuat Penulis betah karena rasa persaudaraan yang muncul, mereka juga kerap membantu studi Penulis termasuk ketika menyusun skripsi.
Menyesal?
Penulis merasa salah masuk jurusan hingga lulus, iya. Penulis menyesal karena sudah berkuliah di jurusan Informatika, tidak. Ada banyak hal yang Penulis dapatkan di luar bidang akademis.
Selain mendapatkan kawan-kawan yang suportif hingga sekarang, Penulis juga mendapatkan banyak pengalaman hidup yang dampaknya terasa hingga sekarang.
Dengan menjadi ketua kelas, Penulis yang cenderung introvert ini jadi bisa menjalin hubungan dengan banyak orang. Sebenarnya Penulis melakukan hal yang sama ketika SMA, namun entah mengapa dampaknya lebih terasa ketika kuliah.
Selama kuliah, Penulis mengikuti dua kegiatan kampus, yakni Pers Mahasiswa dan Kelompok Riset Mahasiswa. Dua-duanya tidak berakhir dengan baik karena kesalahan Penulis. Dari sana, Penulis belajar banyak.
Yang jelas, potongan-potongan peristiwa yang terjadi ketika masa kuliah berkontribusi banyak kepada diri Penulis yang sekarang. Karena itu semua, tidak sekalipun Penulis pernah merasa menyesal telah berkuliah di jurusan Informatika.
Penutup
Merasa salah jurusan bukan berarti Penulis tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari kampus. Setidaknya, dasar penalaran logikanya sangat membantu Penulis hingga sekarang.
Sebagai contoh, Penulis mampu menganalisa data dari tabel dan membuat kesimpulannya. Materi ini tidak diajarkan di kampus, namus basis pengetahuannya adalah logika.
Penulis berharap adik-adiknya tidak perlu mengalami apa yang sudah dialami oleh Penulis. Semoga mereka berhasil masuk ke jurusan yang sesuai dengan bayangan mereka. Amin.
Kebayoran Lama, 11 Juli 2020, terinspirasi dari adik-adiknya yang sedang mengikuti ujian SBMPTN
Foto: Inside Higher Ed
Pengalaman
Ketika Hobi Menulis Blog Justru Terasa Menjadi Beban
 
														Melalui tulisan “Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan”, Penulis telah mengungkapkan beberapa alasan mengapa dirinya makin ke sini makin jarang menulis. Saat itu, Penulis masih bertanya-tanya apa alasan di balik hal tersebut.
Karena merasa tidak ada perkembangan sejak tulisan itu diterbitkan, Penulis pun memutuskan untuk melakukan kontemplasi demi menemukan akar permasalahannya. Blog ini berharga bagi Penulis, sehingga membiarkannya terbengkalai meninggalkan perasaan bersalah.
Setelah direnungkan, Penulis merasa menemukan beberapa jawaban yang paling masuk akal, sehingga bisa menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil agar rutinitas menulis blog bisa kembali menjadi hobi yang menyenangkan.

Alasan Mengapa Menulis Blog Malah Menjadi Beban

Harusnya Menjadi Aktivitas yang Menyenangkan (George Milton)
Dalam tulisan sebelumnya, Penulis setidaknya menuliskan ada tiga alasan mengapa produksi artikel blog menjadi seret selama lima bulan terakhir: sedang ada banyak masalah, rasa malas, hingga merasa jenuh. Mari kita berangkat dari sana.
Namanya hidup, tentu saja kita akan selalu menjumpai permasalahan. Terkadang bisa diselesaikan dengan cepat, terkadang membutuhkan waktu lebih panjang. Yang paling penting adalah bagaimana respons kita terhadap masalah tersebut.
Dalam kasus ini, Penulis sering merasa kalau rasa malas di dalam diri ini menggunakan permasalahan tersebut sebagai justifikasi untuk tidak menulis blog. Padahal aslinya memang malas saja, tapi mencari berbagai pembenaran agar tidak merasa bersalah.
Oke, rasa malas memang bisa dilawan, tapi bagaimana dengan perasaan jenuh menulis? Sebagai seorang editor, membaca dan menulis telah menjadi rutinitas harian. Ribuan kata harus dicek dan diolah setiap harinya, sehingga wajar jika menimbulkan rasa jenuh.
Namun, apa yang Penulis bahas di blog ini dan apa yang dibahas di tempat kerja memiliki niche yang berbeda. Memang ada beberapa kategori yang bersinggungan, tapi angle yang digunakan jelas berbeda.
Justru, menulis di blog ini menjadi tempat agar gaya menulis Penulis tetap terasah dan tidak terpaku pada gaya penulisan industri. Apalagi, menulis adalah salah satu cara untuk menuangkan apa yang ada di pikirannya untuk mengurangi gejala overthinking.
Setelah menganalisis tiga alasan tersebut, apakah masih ada alasan lain yang membuat menulis blog menjadi memberatkan? Ada beberapa yang berhasil Penulis temukan setelah melakukan kontemplasi.
Alasan pertama, Penulis jadi terbebani dengan banyaknya ide artikel yang belum ditulis. Di Notion Penulis, ada puluhan ide artikel yang sampai saat ini belum dieksekusi hingga akhirnya Penulis sudah mulai lupa apa yang ingin dibahas dari ide tersebut.
Idealnya, sesuai tagline blog ini, sebuah ide harus segera dikerjakan begitu terpikirkan. Kenyataannya, karena sering menunda, ide tersebut malah menjadi usang. Mood untuk menulis ide tersebut pun menjadi hilang dan akhirnya malah jadi terbengkalai.
Alasan kedua, Penulis merasa terbebani dengan artikel-artikel yang membutuhkan riset lebih. Belakangan ini, Penulis merasa berkewajiban membuat artikel yang mendalam. Padahal, blog ini harusnya menjadi wadah bagi Penulis untuk menuangkan isi kepalanya.
Bisa jadi, Penulis terlalu berfokus bagaimana tulisan di blog ini bisa sampai ke Pembaca. Penulis sampai lupa kalau seharusnya blog ini menjadi alatnya untuk menuangkan apa yang sedang ada di pikirannya.
Alasan ketiga, pembuatan konten media sosial yang terkadang menimbulkan rasa malas untuk menulis. Meskipun pembuatannya hanya membutuhkan beberapa menit, entah mengapa membuat konten media sosial untuk artikel di blog ini memicu rasa mager.
Padahal, konten media sosial yang Penulis buat hanyalah sebuah Story dengan beberapa kalimat caption. Penulis tidak membuat video ataupun long carousel. Mungkin memang pada dasarnya malas saja.
Langkah Apa yang Diambil Setelah Memahami Akar Permasalahannya

Mencoba Lebih Spontan (Andrea Piacquadio)
Setelah menemukan beberapa akar permasalahan dari seretnya produksi blog ini, saatnya fokus ke solusi. Ada beberapa langkah yang akan Penulis ambil, dengan harapan menulis artikel bisa kembali menjadi hobi yang refreshing dan menyenangkan.
Pertama, menghilangkan penjadwalan artikel. Penulis ingin kembali seperti dulu, di mana setiap harinya murni spontan (uhuy!) mengenai artikel apa yang ingin ditulis. Bank ide di Notion tetap ada, untuk jaga-jaga jika hari itu blank tidak tahu ingin menulis apa.
Pencatatan progres yang dilakukan Notion mungkin tetap ada, tapi sifatnya lebih ke dokumentasi saja. Bagi Penulis, melihat berapa banyak artikel yang telah ditulis atau berapa panjang streak yang berhasil dilakukan berhasil menimbulkan dopamin.
Mungkin ada beberapa artikel yang harus tetap dijadwal, seperti artikel-artikel review buku dan board game yang telah menjadi rubrik mingguan. Bedanya, Penulis tidak akan menulis urut sesuai dengan buku mana yang telah selesai dibaca duluan.
Kedua, segera menulis ide tulisan yang terlintas di pikiran. Penulis harus membuang konsep “First In First Out” di mana ide yang lebih lama harus ditulis terlebih dahulu. Penulis harus mendahulukan apa yang ingin ditulis, bukan apa yang harus ditulis.
Ketiga, menghindari artikel-artikel berat yang butuh riset lebih panjang. Ada banyak artikel di daftar ide yang butuh riset lebih mendalam, dan jujur saja itu menimbulkan rasa malas. Blog ini harus kembali ke akarnya, tempat menuangkan isi kepala.
Memang secara kualitas mungkin akan berkurang, tapi salah satu resolusi Penulis di tahun 2025 adalah mendahulukan diri sendiri dulu. Buat apa menulis jika hanya membebani diri sendiri? Lagipula, ini adalah blog milik Penulis.
Keempat, melakukan reset. Saat ini, sudah banyak artikel yang Penulis jadwalkan untuk ditulis. Semuanya akan Penulis reset dari awal, kembali ke bank ide. Penulis ingin bertanya “mau nulis apa hari ini?” setiap membuka laptopnya.
Kelima, memperbaiki pola hidup yang sedang berantakan. Alasan lain yang belum disebutkan di atas adalah pola hidup Penulis yang sedang berantakan. Akibatnya, waktu untuk menulis blog juga menjadi tidak teratur.
Idealnya, Penulis berharap bisa menulis blog di pagi hari sebelum jam kerja. Menulis blog memakan waktu antara 1-2 jam, jadi bisa dimulai pukul 7 pagi setelah melakukan rutinitas pagi. Untuk itu, Penulis harus memperbaiki jam tidurnya dan menghilangkan insomnianya.
Menulis di malam hari hanya menjadi opsi apabila dalam kondisi darurat, karena biasanya tubuh dan pikiran ini sudah merasa lelah. Lagipula, malam hari harusnya digunakan untuk bersantai dan menyiapkan diri untuk beraktivitas keesokan harinya.
Keenam, membuat konten media sosial terlebih dahulu sebelum menulis artikelnya. Penulis adalah tipe orang yang mengerjakan task tersulit terlebih dahulu. Karena membuat konten media sosial terasa yang paling berat, maka Penulis akan mendahulukannya.
Enam langkah itulah yang akan Penulis terapkan mulai hari ini, dimulai dari artikel ini. Semoga setelah menulis artikel ini, Penulis bisa kembali rutin menulis blog dengan perasaan senang, bukan terbebani.
Jika setelah artikel ini terbit Penulis masih jarang menulis lagi, entah apa lagi yang harus dilakukan…
Lawang, 20 Mei 2025, terinspirasi setelah merasa perlu ada perubahan agar aktivitas menulis blog tidak terasa menjadi beban
Foto Featured Image: Ivan Samkov
Pengalaman
Pada Akhirnya Hidup Kita Harus Tetap Berjalan
 
														Dalam empat bulan terakhir, atau sejak masuk tahun 2025, Penulis mengakui kalau sedang banyak masalah, yang kebanyakan hanya ada di pikiran. Hal tersebut membuat produktivitas menulis blog ini terasa mandek, dengan jumlah produksi artikel berkurang drastis.
Pada bulan Desember, masih lumayan ada tujuh tulisan yang terbit, sebelum di bulan Januari benar-benar tidak ada tulisan yang tayang. Februari ada satu tulisan, yang mirisnya merupakan tulisan pertama di tahun 2025. Di Maret setidaknya ada empat tulisan.
Blog ini, yang harusnya menjadi tempat menyalurkan hobi, justru belakangan terasa menjadi beban. Ada puluhan ide artikel yang tertumpuk begitu saja tanpa pernah dieksekusi. Ada belasan buku yang menanti untuk diulas, hingga lupa apa yang harus diulas.

Berhenti Menulis karena Rasa Malas?
Setiap merasa harus memutus lingkaran ini dan mulai kembali rutin menulis, keinginan tersebut terputus hanya setelah maksimal dua tulisan. Setelah itu kembali menghilang hingga waktu yang tidak ditentukan.
Apakah permasalahan yang Penulis sebutkan di atas hanya merupakan alibi untuk menutupi alasan sebenarnya dari berhentinya Penulis menulis, yaitu rasa malas? Bisa jadi. Namun, rasa malas bisa muncul dengan sebab, seperti kepala yang rasanya penuh sekali.
Ketika pikiran suntuk dan dengan “liarnya” mengembara ke sana kemari, itu sangat memengaruhi mood. Sekali lagi, menulis yang harusnya jadi aktivitas menyenangkan justru menjadi momok yang menakutkan.
Apakah rasa malas ini muncul karena di tempat kerja Penulis juga menulis? Bisa jadi, karena tentu itu memunculkan rasa jenuh. Mau sebagus apapun idenya, butuh tekad yang kuat untuk bisa mengeksekusinya, dan tekad itu bisa luntur karena rasa jenuh.
Apakah rasa malas ini muncul karena Penulis kesulitan mengatur waktunya? Bisa jadi, karena waktu yang dimiliki dalam 24 jam digunakan untuk aktivitas lainnya. Jujur, kebanyakan bukan aktivitas produktif sebagai pelarian dari masalah yang ada di kepala.
Lantas, apakah rasa malas ini bisa jadi pembenaran untuk berhentinya produksi blog ini? Entahlah, Penulis merasa dirinya terbagi menjadi dua. Satu menjustifikasi rasa malas tersebut karena memang sedang banyak pikiran, yang satu merutuk diri karena kontrol diri yang lemah.
Apakah produksi artikel di blog ini bisa kembali normal jika masalah-masalah yang ada di pikiran itu terselesaikan? Sekali lagi, entahlah. Bisa jadi berhentinya produksi artikel tersebut memang murni karena rasa malas saja, lalu mencari-cari justifikasi yang paling terlihat elegan.
Menyadari Kita Harus Tetap Berjalan
Saat menulis artikel ini, justru masalah-masalah di kepala tengah berada di klimaksnya. Tentu aneh, mengapa ketika berada di puncak permasalahannya Penulis justru akhirnya memutuskan untuk menulis lagi setelah sekian lama.
Mungkin, karena sudah berada di klimaksnya, Penulis menyadari bahwa setelah ini jalannya akan melandai, menurun. Permasalahan, apapun bentuknya, pasti akan selesai. Semua itu hanya sementara, tidak akan terjadi selamanya.
Mungkin, karena pada akhirnya Penulis menyadari bahwa hidup harus tetap berjalan. Yang namanya berjalan, tentu tak pernah selalu mulus. Pasti beberapa kali kita akan menemukan jalan yang rusak, gronjalan, kubangan lumpur, dan masih banyak lagi lainnya.
Namun, pada akhirnya kita tetap melanjutkan perjalanan. Memang kita jadi kotor, mungkin ada luka juga, tapi itu adalah “harga” yang harus dibayar untuk mencapai tujuan. Demi tujuan itulah kita terus berjalan.
Lantas, apa tujuan yang sedang Penulis tuju sekarang? Penulis tidak akan menuliskannya di sini, tapi yang jelas, untuk mencapai tujuan tersebut, bisa mendisiplinkan diri untuk konsisten menulis artikel di blog ini adalah salah satu jalan yang harus Penulis tempuh.
Untuk itulah, Penulis akhirnya memutuskan untuk menulis artikel ini, yang mungkin secara bobot tidak ada bobotnya, lebih sekadar gerutuan karena insomnia datang menyerang. Setidaknya, ini adalah upaya nyata Penulis untuk kembali ke jalan yang benar.
Entah cara apa yang akan Penulis lakukan agar aktivitas menulis blog ini menjadi kembali menyenangkan dan membuat Penulis bersemangat, bahkan ketika isi pikirannya penuh dengan masalah. Sambil berjalan, Penulis akan berusaha menemukan jawabannya.
Lawang, 8 April 2025, terinspirasi karena insomnia karena berbagai masalah yang ada di pikirannya
Foto Featured Image: Tobi via Pexels
Pengalaman
Ini adalah Tulisan Pertama Whathefan di 2025
 
														Memulai tulisan pertama tahun 2025 di bulan Februari memang sangat terlambat. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir Penulis bisa dibilang cukup rajin dalam menulis di hari pertama pergantian tahun, walau setelah itu juga kurang bisa konsisten.
Ada beberapa alasan yang membuat Penulis “menghilang” hampir dua bulan di blog ini, tapi pada tulisan kali ini Penulis hanya akan menyebutkan satu alasan: kehilangan gairah untuk menulis, atau singkatnya bisa dibilang malas.
Tentu rasa malas itu tidak datang begitu saja, ada banyak alasan yang menyertainya. Namun, rasanya alasan-alasan tersebut tidak perlu diungkapkan. Pada tulisan kali ini, Penulis ingin melakukan beberapa refleksi saja mengenai apa yang sudah terjadi di tahun 2024 ini.
Dompet Menangis karena Membeli Banyak Perangkat

Tahun 2024 adalah tahun yang berat untuk dompet Penulis. Ada banyak sekali pengeluaran, entah itu untuk kebutuhan maupun keinginan. Saking banyaknya, arus kas Penulis sepanjang 2024 jadi minus, pertama sejak terakhir kali minus pada tahun 2020.
Kalau tahun 2020 minus wajar, karena Penulis resign pada bulan September 2020, sehingga ada beberapa bulan Penulis tidak mendapatkan gaji rutin. Pemasukan dari pekerjaan sebagai freelancer tentu tidak menutup kebutuhan sehari-hari.
Nah, kalau di 2024 kemarin, minus yang terjadi murni terjadi karena banyaknya pengeluaran. Mungkin ini akan terdengar sebagai flexing, tapi Penulis di tahun yang sama membeli smartphone dan laptop baru, serta build PC dengan alasan awal “untuk bantu skripsi adik.”
Penulis memang sudah berencana untuk membeli smartphone baru di awal tahun karena merasa tidak nyaman dengan Xiaomi POCO F4, yang akhirnya Penulis berikan kepada ibu. Awalnya mengincar Samsung S24, tapi karena pakai Exynos, Penulis beralih ke iPhone 13.
Lalu ketika bulan puasa, di kala uang THR sudah masuk ke rekening, adik Penulis mengatakan bahwa dirinya butuh PC untuk menunjang skripsinya. Sebagai kakak, tentu Penulis berusaha memenuhi hal tersebut, hitung-hitung mewujudkan cita-cita untuk punya PC.
Kampretnya, setelah selesai build PC, PC tersebut justru jarang dipakai adik Penulis untuk skripsian! Pada akhirnya PC tersebut jadi perangkat utama Penulis untuk bekerja dan bermain game. Yah, setidaknya dengan demikian tidak ada penyesalan.
Menjelang akhir tahun, tepatnya di bulan Oktober, Penulis sempat iseng mampir ke Digimap. Sialnya, sedang ada promo pelajar yang memberikan potongan 500 ribu. Ditambah voucher MAP 300 ribu, Penulis akhirnya memutuskan untuk membeli laptop MacBook Air M1.
Setelah membeli laptop tersebut, laptop lama Penulis akhirnya dibeli adik Penulis (yang tadi minta di-build-kan PC!) dengan harga miring karena memang butuh laptop dengak spek yang lumayan tinggi untuk menunjang kerjaan dan skripsinya.
Memang nyesek rasanya jika mengingat berapa uang yang dikeluarkan untuk perangkat-perangkat tersebut. Memang Penulis memanfaatkan cicilan 0% dari kartu kredit, tapi tetap saja pembelian-pembelian tersebut membuat dompet Penulis menangis.
Namun, jika melihat dari sisi lain, memiliki kombo PC + MacBook merupakan cita-cita Penulis sejak zaman kuliah. Jadi, anggap saja kalau ini memang sudah saatnya untuk menuntaskan impian tersebut.
Ke Jakarta dan Semarang Dua Kali, ke Solo Satu Kali

Pengeluaran lain yang membuat arus kas Penulis minus adalah seringnya Penulis berpergian. Dalam satu tahun, Penulis dua kali pergi ke Jakarta dan Semarang, serta satu kali pergi ke Solo karena berbagai urusan.
Penulis ke Jakarta pertama kali di awal tahun 2024, karena kebetulan kantor Penulis mengadakan staycation. Setelah itu, Penulis tinggal di Jakarta kurang lebih satu bulan karena ada banyak teman yang ingin Penulis temui.
Sepulang dari Jakarta, Penulis berlibur satu keluarga ke Solo dan Semarang. Sebagai anak pertama, tentu Penulis berusaha untuk menjadi “sponsor” untuk acara liburan ini, walau tentu tidak semua pengeluaran Penulis yang menanggung.
Lantas di pertengahan tahun, Penulis harus kembali ke Jakarta. Kali ini sekeluarga, karena adik Penulis (bukan yang minta di-build-kan PC) lamaran. Karena satu keluarga, kunjungan ke Jakarta kali ini hanya sebentar.
Sepulang dari Jakarta (kami menggunakan mobil pribadi, pulang-pergi Malang-Jakarta), kami sempat mampir ke Semarang satu malam untuk istirahat sekaligus curi-curi liburan. Bisa dibilang, tahun 2024 kemarin merupakan tahun di mana Penulis keluar kota terbanyak.
Produksi Artikel Whathefan yang Meningkat
Salah satu achievement yang Penulis dapatkan di tahun 2024 adalah naiknya jumlah produksi artikel Whathefan jika dibandingkan dengan tahun 2023. Sejak pertama kali menulis di tahun 2018, jumlah artikel di blog ini memang cenderung menurun terus.
Tahun 2022 adalah penulisan blog paling sedikit sepanjang sejarah dengan 91 artikel, yang lalu meningkat sedikit menjadi 98 artikel di tahun 2023. Nah, di tahun 2024 jumlah tersebut melonjak menjadi 127 artikel.
Salah satu penyebab peningkatan ini adalah Penulis yang cukup rutin menulis, terutama di bulan Juni ketika Penulis berhasil menulis penuh satu bulan tanpa putus. Walau setelah itu kembali fluktuatif, setidaknya raihan tersebut bisa membuktikan kalau Penulis sebenarnya bisa konsisten menulis.
Biasanya, di awal tahun Penulis punya target untuk memproduksi artikel hingga 200 dalam satu tahun. Namun, mengingat artikel pertama blog ini saja baru ditulis bulan Februari, rasanya target yang realistis adalah jangan sampai produksi tahun ini lebih kecil dari tahun kemarin.
Untuk itu, mungkin akan ada penyesuaian juga agar Penulis tidak malas-malas amat dalam Penulis. Contohnya adalah penyesuaian Notion, yang entah sudah berapa bulan terbengkalai dan berisi schedule yang tak pernah dituntaskan.
Penutup
Jika dibandingkan dengan tahun 2023, tahun 2024 memang lebih dinamis (dan lebih banyak pengeluaran tentunya!). Setidaknya, satu impian Penulis akhirnya bisa dicapai, walau efeknya ke dompet juga lumayan terasa.
Di awal tahun 2025 ini, tentu Penulis berharap bisa melakukan pengetatan pengeluaran. Namun, dengan adik Penulis yang akan segera menikah pada bulan Februari, rasanya pengetatan pengeluaran ini baru bisa dilakukan ketika bulan puasa nanti.
Selain itu, sekali lagi Penulis berharap untuk bisa menjaga konsistensi dalam menulis artikel untuk blog ini. Semoga tahun ini Penulis lebih bisa mengendalikan emosi dan mood-nya, sehingga bisa sebanyak mungkin memproduksi artikel di blog ini.
Saat menulis artikel ini, Penulis sudah berada di Jakarta, menginap di kos adik yang juga merupakan kos lama Penulis. Rencananya, Penulis akan di Jakarta sekitar tiga minggu hingga acara pernikahan selesai. Semoga saja tabungan Penulis yang sudah menipis ini cukup.
Kebayoran Lama, 10 Februari 2025, terinspirasi setelah ingin mulai lebih rutin menulis di blog ini di tahun 2025
- 
																	   Anime & Komik11 bulan ago Anime & Komik11 bulan agoAi Haibara adalah Karakter Favorit Saya di Detective Conan 
- 
																	   Non-Fiksi11 bulan ago Non-Fiksi11 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca Filsafat Kebahagiaan 
- 
																	   Renungan11 bulan ago Renungan11 bulan agoBagaimana Manusia Diperbudak oleh Ciptaannya Sendiri 
- 
																	   Non-Fiksi11 bulan ago Non-Fiksi11 bulan ago[REVIEW] Setelah Membaca The Book of Everyday Things 
- 
																	   Musik12 bulan ago Musik12 bulan agoTier List Lagu-Lagu di Album “From Zero” Versi Saya 
- 
																	   Olahraga11 bulan ago Olahraga11 bulan agoKok Bisa, ya, Ada Klub Enggak Pernah Menang Sampai 7 Kali 
- 
																	   Permainan11 bulan ago Permainan11 bulan agoKoleksi Board Game #27: Here to Slay 
- 
																	   Permainan11 bulan ago Permainan11 bulan agoKoleksi Board Game #28: Point City 

 
									 
																	 
									 
																	 
									 
																	 
									 
																	 
									 
																	 
									 
																	 
											 
											 
											 
											 
											 
											
You must be logged in to post a comment Login