Pengalaman
Terobsesi Oleh Inggris
Dilihat dari gambar yang tertera sebagai gambar utama, nampak penulis sangat menyukai Inggris. Mulai dari wallpaper laptop, tepak, selimut, seprei hingga kursi semua bermotif Union Jack. Belum lagi jam dinding yang tidak masuk ke dalam frame. Lantas mengapa penulis begitu terobsesi dengan negara Ratu Elizabeth tersebut?
Mungkin alasan pertama, suka dengan motif benderanya. Sebagai penggemar hal-hal unik, jelas bendera Inggris Raya masuk ke dalam kategori tersebut. Sebenarnya Nepal juga memiliki bendera yang unik, sayangnya agak susah mencari aksesori bercorak bendera Nepal.
Alasan kedua, sekaligus alasan utama, penulis adalah penggemar berat serial Mr. Bean sejak kecil. Kesukaan akan kotanya, kehidupan masyarakat di sana seperti yang tercermin pada keseharian tokoh yang diperankan oleh Rowan Atkinson tersebut, melekat pada memori penulis hingga sekarang.
Bermimpi Ke Inggris
Sebenarnya penulis hanya berani berkhayal ke sana, tanpa tahu bagaimana bisa meraih impian tersebut. Lantas, setelah berbagai kejadian yang terjadi (bisa dibaca di cerpen Titik-Titik Kehidupan), penulis menemukan bahwa salah satu caranya adalah dengan melanjutkan studi ke sana. Karena biaya kuliah di sana sama dengan satu unit Innova (belum termasuk biaya hidup, tiket pesawat, dan lain-lain), maka penulis harus bisa mendapatkan beasiswa.
Beruntung, ketika sedang persiapan untuk tes IELTS di Kampung Inggris, Pare, penulis mengetahui beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris. Dengan modal nekat (karena dibutuhkan pengalaman kerja dua tahun, dan penulis hanya menggunakan pengalaman dari startup), penulis mendaftar beasiswa tersebut dengan tiga pilhan kampus, University of Reading, University of Birkbeck, dan Manchester Metropolitan University dengan jurusan Information Management/Information System.
Awal November tahun kemarin, setelah melakukan pendaftaran Chevening, penulis pergi ke Yogyakarta untuk datang ke acara education fair untuk bertemu dengan perwakilan dari Reading dan Manchester. Di sana penulis bercerita bahwa telah memilih kampus-kampus tersebut untuk beasiswa Chevening.
Entah karena telah bertemu dengan mereka atau memang karena berkas-berkas penulis memenuhi syarat, penulis berhasil mendapatkan LoA dari kedua kampus tersebut.
Ujian Pertama
LoA yang didapatkan penulis masih bersifat conditional, yang artinya masih bersyarat. Agar berubah menjadi unconditional, penulis harus mengirimkan sertifikat IELTS di atas 6.5 dan surat rekomendasi dari dosen ataupun atasan. Surat rekomendasi sudah dikantongi berkat komunikasi yang intens dengan dosen pembimbing skripsi dan atasan selama penulis kerja di Surabaya. Artinya, kurang nilai IELTS, sesuatu yang penulis tekuni selama empat bulan.
Dengan alasan feeling dan saran dari beberapa orang, penulis memutuskan untuk melakukan tes di Yogyakarta bersama seorang teman penulis sejak kuliah. Alhamdulillah, dua minggu setelah tes, penulis berhasil mendapatkan nilai yang dibutuhkan untuk mencari beasiswa.
Bukan Akhir dari Mimpi
Setelah mendapatkan LoA unconditional, nilai IELTS dan paspor, maka penulis melakukan update terhadap lamaran beasiswa penulis di situs Chevening dengan harapan bisa memperbesar peluang untuk lolos ke tahap wawancara.
Sayang, belum rezeki penulis untuk terbang ke Inggris.
Padahal, tiga hari sebelum pengumuman, penulis bertemu dengan Irem Oscoy, perwakilan dari University of Reading, di JW Marriot Surabaya dalam acara education fair juga. Di sana penulis bertanya tentang ini itu, termasuk bagaimana memberitahukan kepada pihak kampus bahwa kita tidak bisa membayar deposit awal karena masih menunggu beasiswa.
Tidak apa-apa, masih ada 999 jalan lain menuju Inggris. Bagaimana caranya, penulis belum tahu, setidaknya penulis tidak akan menyerah untuk menemukan ke 999 jalan tersebut. Berhenti percaya terhadap mimpi bukanlah pilihan penulis, walaupun jalan terjal harus dilalui untuk itu.
Lawang, 21 Februari 2018, setelah sharing dengan Nabilla, Angela, dan Claudia perihal next step yang harus diambil
You must be logged in to post a comment Login