Pengembangan Diri
Kecemasan Itu Respons Alami dari Tubuh, kok
Coba cari posisi membaca yang paling nyaman, karena Penulis ingin mengajak Pembaca sekalian mengingat-ingat masa lalunya. Cari tempat yang tenang dan minim distraksi. Tak perlu terburu-buru, santai saja. Silakan, Penulis akan menunggu dengan sabar.
Sudah? Kalau sudah, mari kita sama-sama bersiap diri untuk melakukan perjalanan lintas waktu, ketika masalah rasanya belum sesulit saat ini. Kita kembali ke saat-saat di mana kecemasan yang kita rasakan belum seberat saat ini.
Menengok Kecemasan di Masa Lalu
Coba ingat ketika kita masih duduk di bangku sekolah. Apa yang sering kita cemaskan sebagai seorang siswa ketika duduk di bangku SD? Mungkin tidak mengerjakan tugas, takut dimarahi guru karena nakal, dan masalah anak-anak lainnya.
Beranjak ke SMP, masalah akan semakin bertambah. Harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, benih-benih cinta mulai muncul, tawuran antar sekolah, adalah beberapa masalah yang bisa saja menjadi sumber kecemasan.
Bagaimana ketika sudah duduk di bangku SMA? Di fase ini, biasanya kita sudah mulai merasa dewasa dan mulai menemukan jati diri. Seringnya, sumber kecemasan paling besar akan menjelang kelulusan.
Alasannya, setelah lulus kita akan langsung dihadapkan banyak pilihan: Mau lanjut kuliah atau kerja? Kalau kuliah, kuliah apa dan di mana? Kalau kerja, mau kerja apa? Keputusan di momen ini seolah akan menjadi penentu masa depan kita untuk sukses atau tidak.
Di fase-fase usia 20-an, kecemasan yang timbul pun semakin bervariasi. Masalah di kerja, percintaan, bagaimana masyarakat yang cenderung kompetitif, adanya standar masyarakat yang seolah harus dipenuhi, dan masih banyak lagi.
Ketika sudah menikah, kecemasan yang muncul pun akan semakin bertambah. Mencemaskan masa-masa pensiun nanti, gaji yang terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kekhawatiran anaknya akan salah pergaulan, dan seabrek masalah lainnya.
Nah, saat memasuki usia senja, biasanya kita sudah mulai bijak dalam menyikapi kehidupan. Banyaknya pengalaman hidup yang telah dilalui membuat kita bisa menanggapi kecemasan dengan lebih baik lagi. Kecemasan masih ada, tapi kita bisa mengendalikannya lebih baik.
Semakin Bertambah Usia, Semakin Bertambah Kecemasan yang Dirasakan
Dari ilustrasi di atas, kita bisa menyimpulkan kalau semakin bertambah usia, semakin berat masalah yang akan kita hadapi. Sekarang bukan hanya memikirkan PR yang belum dikerjakan, melainkan bagaimana cara mencari uang untuk membayar tagihan bulanan.
Dulu kita tidak perlu pusing mencari uang untuk membeli cilok karena dikasih uang jajan oleh orang tua. Sekarang, kita sudah tidak bisa bergantung lagi ke orang tua. Tuntutan untuk punya skill dan relasi agar bisa mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sebuah kewajiban.
Kita juga bisa menyimpulkan, kalau kecemasan (atau anxiety) adalah hal yang sering kita alami dalam semua fase kehidupan kita. Semakin bertambah usia, semakin banyak pula kecemasan yang akan datang menghampiri kita.
Biasanya, hal ini akan dipicu oleh ketidakpastian yang membuat kita merasa tidak tahu apa yang akan terjadi. Penulis akan berusaha untuk memberikan contoh dari pengalaman pribadinya selama ini.
Ketika lulus dari bangku kuliah, Penulis belum ada bayangan akan kerja sebagai apa karena merasa salah jurusan sampai lulus. Butuh satu tahun lebih sampai Penulis mendapatkan pekerjaan formal, setelah berkali-kali gagal mendapatkan beasiswa S2 di luar negeri.
Penulis merasa tidak tahu harus berbuat apa. Entah berapa lama Penulis terjebak dalam ketidakpastian, takut dengan kenyataan dan masa depan yang harus dihadapi. Penulis merasa gagal dalam hidupnya dan hanya menjadi beban dalam keluarga.
Lantas, Penulis memutuskan harus berbuat sesuatu untuk menghalau kecemasan-kecemasan dan segala pikiran negatif tersebut. Setelah ditolak NET TV, Penulis memutuskan untuk membantu di tempat kerja ayah.
Dari sana, ternyata ada titik-titik yang terhubung hingga membawa Penulis di titik yang sekarang. Seolah semuanya ternyata memiliki benang merah. Padahal, awalnya hal-hal yang Penulis alami rasanya tidak memiliki keterkaitan sama sekali.
Penulis pun sampai sekarang masih sering merasa cemas. Cemas akan prospek karir di masa depan, cemas karena belum bisa memberikan apa-apa ke orang tua, cemas ditinggal orang-orang yang disayangi, cemas akan hidup sendirian tanpa pasangan, dan lain-lainnya.
Apalagi, Penulis adalah tipe orang yang mudah overthinking, terutama menjelang tidur. Ada saja pikiran-pikiran yang lewat dan menghalau kantuk datang. Ada saja hal-hal yang akan membuat Penulis merasa cemas.
Kecemasan Itu Bentuk Respons Alami dari Tubuh
Apakah wajar jika kita merasa cemas? Sangat wajar, karena pada dasarnya kecemasan adalah bentuk respons alami dari tubuh yang berfungsi sebagai pengingat. Kalau kita tidak pernah merasa cemas, justru bahaya.
Mungkin ketika kita masih SD, kecemasan karena tidak mengerjakan tugas tidak begitu parah. “Halah, paling nanti dimarahi sama guru.” Ketika diputuskan oleh pacar, kita bisa mengatasi kecemasan dengan berkata, “Halah, bisa cari pacar baru lagi.”
Ketika beranjak dewasa, kecemasan sudah tidak bisa diabaikan begitu saja. Contoh, kita merasa cemas akan masa depan setelah lulus sekolah. Kalau kecemasan seperti ini diabaikan, yang ada kita akan jadi bermalas-malasan dan menganggap enteng semua masalah.
“Buat apa kuliah/kerja, toh masih bisa hidup enak dari uang pemberian orang tua. Lebih baik hidup bebas dengan melakukan hal yang kita suka, seperti rebahan dan main game. Cari duitnya nanti aja.“
Saat kita beranjak dewasa, kecemasan sudah harus ditindaklanjuti dengan melakukan sesuatu untuk mengatasi kecemasan tersebut. Dengan merasa cemas, kita pun memiliki semacam dorongan untuk berbuat sesuatu karena tubuh telah memberi sinyal:
“Hei, kamu itu sudah dewasa, harus mulai hidup mandiri dan bisa cari uang sendiri. Makanya cari kerja sana, belajar skill baru, mau sampai kapan jadi beban orang tua!“
Tanpa adanya kecemasan, mungkin kita tidak akan pernah bisa berkembang dan menjadi lebih baik. Untuk itu, memiliki kecemasan sebenarnya adalah hal yang positif karena ia hadir sebagai pengingat kita untuk berbuat sesuatu.
Kecemasan akan menjadi buruk kalau kita tidak berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Merasa cemas, tapi mager untuk melakukan sesuatu yang bisa menghilangkan kecemasan tersebut. Kecemasan akan jadi hal buruk jika kita hanya larut terus dalam pemikiran kita sendiri.
Penutup
Penulis saat ini merasa cemas karena dirinya belakangan ini mudah sakit. Kecemasan ini akan sia-sia jika Penulis merasa tidak mengubah gaya hidupnya. Oleh karena itu, Penulis memutuskan untuk membiasakan diri bangun pagi dan lebih rutin berolahraga.
Contoh yang lain, Penulis merasa cemas dengan prospek masa depan karirnya. Bagaimana nanti kalau begini-begini saja tanpa ada perkembangan? Rasa cemas tersebut mendorong Penulis untuk belajar skill-skill baru yang akan bermanfaat di dunia kerja.
Terakhir, Penulis cemas tidak akan menikah karena terlalu lama sendiri. Penulis cemas tidak akan ada yang mau dengan Penulis. Cara mengatasinya, ya berusaha memantaskan diri untuk dia yang akan datang di waktu yang tepat.
Dengan adanya kecemasan-kecemasan tersebut, Penulis terdorong untuk melakukan sesuatu yang akan berdampak baik bagi Penulis. Tanpa adanya kecemasan, mungkin hidup Penulis akan begitu-begitu saja tanpa ada perubahan yang signifikan.
Kita sudah semakin dewasa, dengan masalah yang semakin kompleks. Dunia ini memang keras dan tidak adil, sehingga kecemasan dari berbagai penjuru akan selalu datang menghampiri kita.
Pertanyaannya, mau kita apakan rasa cemas tersebut? Berbuat sesuatu untuk menghilangkan kecemasan tersebut, atau memilih untuk diam dan terus dihantui oleh kecemasan tersebut? Kita sendiri yang memutuskan.
Lawang, 4 Agustus 2022, terinspirasi dari dirinya sendiri yang masih sering merasa cemas akan ketidakpastian
Foto: Hailey Kean
You must be logged in to post a comment Login