Pengembangan Diri

Menyalahkan Kondisi Terus hingga Lupa Interopeksi Diri

Published

on

Ketika sedang bermain Instagram, muncul sebuah pos dari akun @doraemon_hari_ini yang menampilkan panel komik di mana Nobita sedang ditanya oleh Pak Guru kenapa Nobita bisa mendapatkan nilai 0. Nobita pun menjawab dengan enteng, “Kan diberi oleh bapak.”

Penulis lupa panel tersebut berasal dari cerita atau volume berapa, tapi yang jelas panel tersebut berhasil menggelitik Penulis. Dalam sudut pandang Nobita, nilai 0-nya adalah karena pemberian orang lain, bukan karena ketidakmampuannya dalam mengerjakan soal.

Nah, hal ini membuat Penulis bertanya-tanya, jangan-jangan selama ini kita juga seperti Nobita yang menyalahkan faktor ekternal (Pak Guru) dan tidak menyadari kesalahan dari faktor internal (ketidakbecusannya mengerjakan soal). Kita menyalahkan kondisi, hingga lupa interopeksi diri.

10 Juta Gen Z Menganggur di Usia Produktif

Banyak Gen Z yang Menganggur (Parenting Teens and Tweens)

Melansir dari berbagai sumber, disebutkan bahwa jumlah Gen Z (generasi kelahiran 1997 – 2012) di Indonesia yang menganggur hampir mencapai 10 juta orang. Jika diperinci berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas pengangguran di Indonesia berusia 18 hingga 24 tahun.

Padahal, usia tersebut harusnya menjadi usia-usia produktif untuk bekerja dan berkarya. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, menyebutkan bahwa salah satu faktornya adalah ketidaksesuai keterampilan mereka dengan kebutuhan tenaga kerja.

“Pengangguran kita ini terbanyak disumbangkan dari lulusan SMK, anak-anak lulusan SMA, ini terjadi karena adanya miss-match,” ungkap Ida sebagaimana dilansir dari CNBC.

Masih dari sumber yang sama, alasan-alasan lain yang menjadi pendukung tingginya pengangguran dari kalangan Gen Z adalah putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, hingga kewajiban rumah tangga.

Penulis sempat mengira bahwa tingginya jumlah tersebut karena menghitung jumlah Gen Z yang masih menempuh studi. Faktanya, jumlah 10 juta tersebut benar-benar Gen Z yang tidak sedang menjalani studi maupun pelatihan apapun. Benar-benar full menganggur.

Mungkin ini juga ada kaitannya dengan kebanyakan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan memiliki gelar sarjana, bahkan untuk pekerjaan yang sebenarnya tidak membutuhkan tingkat pendidikan setinggi itu. Alhasil, lulusan SMA/SMK pun jadi kesulitan mencari pekerjaan dengan ijazah yang mereka miliki.

Di sisi lain, Penulis sendiri sering menemukan konten dari pihak perusahaan. Seperti yang kita tahu, banyak juga yang mensyaratkan maksimal umur 30 tahun. Artinya, mereka pun sebenarnya juga mencari pekerja dari kalangan Gen Z, bukan Milenial seperti Penulis.

Tidak hanya itu, pihak perusahaan pun banyak yang “curhat” mengenai susahnya mencari kandidat yang sesuai dengan keinginan mereka. Lowongan ada, calon pekerja ada, tapi tidak ketemu karena banyak hal. Tak heran jika jumlah pengangguran pun menjadi tinggi sekali.

Kondisi Memang Susah, tapi Tidak Boleh Menyalahkan Kondisi Terus

Yuk, Terus Kembangkan Value Diri (PPIC)

Pak Guru yang memberikan soal ujian adalah analogi untuk kondisi yang kita hadapi. Nobita adalah analogi dari diri kita sendiri. Ketika mendapatkan nilai 0, mana yang akan kita salahkan: soal sulit dari Pak Guru atau ketidakmampuan kita dalam mengerjakan soal?

Jika mampu untuk interopeksi diri, tentu kita akan menyadari kalau kesalahan terdapat pada diri kita yang mungkin kurang rajin belajar, tidak memperhatikan guru ketika menerangkan, dan lain sebagainya.

Dalam filsafat stoik, salah satu kunci utamanya adalah memahami apa yang bisa kita kendalikan dan mana yang tidak. Soal dan penilaian Pak Guru ada di luar kendali kita. Yang ada di kendali kita adalah usaha kita agar bisa mengerjakan soal dari Pak Guru.

Itu pun berlaku dalam konteks mencari pekerjaan yang sedang Penulis bahas. Saat kesulitan mencari pekerjaan, tentu lebih mudah untuk menyalahkan kondisi, entah karena persyaratan perusahaan yang tak masuk akal, janji pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang tak terealisasi, kalah dengan orang dalam, dan lain sebagainya.

Namun, terkadang kita lupa untuk menengok ke dalam diri sendiri. Jangan-jangan, kesulitan yang kita alami itu karena kitanya sendiri yang kurang mengembangkan value diri, baik hard skill maupun soft skill.

Jangan-jangan selama ini kita mendambakan pekerjaan dengan gaji yang layak, tapi dalam keseharian lebih banyak menghabiskan waktunya untuk rebahan dan scrolling media sosial atau push rank game HP. Waktu yang ada tidak digunakan untuk mengasah kemampuan diri.

Apalagi, saat ini sebenarnya sarana untuk mengembangkan diri banyak tersedia dan bisa diakses secara gratis di media sosial, YouTube, bahkan AI sekalipun. Coba pilih bidang yang diminati agar tidak malas dan merasa bersemangat ketika mempelajarinya.

Sebagai contoh, Penulis yang lulusan IT pun jadi harus mengembangkan dirinya sebagai Editor dan SEO Specialist secara otodidak. Akhir-akhir ini Penulis juga banyak melakukan eksplorasi terhadap dunia AI yang tampaknya akan menjadi masa depan dunia kerja.

Yang tidak kalah penting dari hard skill adalah soft skill. Percuma saja jika memiliki hard skill, tapi attitude-nya minus, tak mampu berbicara di depan orang banyak dengan lancar, tidak disiplin, kesulitan bersosialiasi dengan orang, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, mungkin kita sering lolos hingga sesi wawancara ketika melamar pekerjaan, tapi tak pernah mendapatkan panggilan selanjutnya. Kalau seperti itu, bisa jadi ada yang salah dari performa kita selama wawancara, sehingga harus ada yang perlu diperbaiki.

Mengembangkan relasi juga tak kalah penting. Jangan hanya ngomel karena kalah dari orang dalam, kita juga harus berusaha menjalin relasi dengan banyak orang. Yakinkan kalau kita memiliki skill yang mereka butuhkan, sehingga mereka bisa menjadi “orang dalam” untuk kita.

Penutup

Memang ada banyak sekali faktor yang memengaruhi mengapa kita kesulitan mendapatkan pekerjaan. Namun, menurut Penulis alangkah baiknya jika kita fokuskan diri kepada apa yang bisa kita kendalikan, yakni diri kita sendiri.

Menyalahkan kondisi terus-menerus tidak akan membantu apa-apa. Yang ada malah membuat hati jengkel dan gelisah terus. Tentu sayang tenaga dan pikiran dibuang untuk melakukan hal tersebut, sampai tak lagi tersisa untuk mengembangkan diri sendiri.

Apalagi di era teknologi seperti ini, sarana untuk mengembangkan skill sangat tersedia di berbagai platform. Mumpung masih muda, coba saja eksplorasi semuanya hingga menemukan mana yang paling membuat kita bersemangat. Asah terus skill untuk meningkatkan value diri sehingga kita punya nilai lebih di dunia kerja.


Lawang, 11 Juni 2024, terinspirasi setelah menyadari bahwa kita sebagai manusia kerap menyalahkan kondisi di luar, tapi lupa untuk melihat ke dalam

Foto Featured Image: Doraemon Hari Ini

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version