Politik & Negara

Mengamati Pilpres 2024 Bagian 1: Antara Perubahan dan Keberlanjutan

Published

on

Menjelang hari pemilihan umum (pemilu) yang tinggal menghitung hari, Penulis merasa inilah waktunya untuk menuangkan hasil pengamatan, riset, dan opini pribadinya tentang pemilu presiden (pilpres) 2024 yang akan datang.

Kebetulan selama beberapa bulan terakhir, Penulis baca membaca dan menonton berbagai sumber untuk keperluan riset, baik dari media massa, media sosial, hingga YouTube. Semua menyajikan data-data yang dibutuhkan untuk memilih mana yang paling cocok bagi Penulis.

Karena tulisan dengan tema ini akan panjang, Penulis memutuskan untuk membaginya menjadi tiga bagian. Tulisan pertama, Penulis akan membahas tentang bagaimana pemilih dihadapkan akan dua pilihan: antara PERUBAHAN atau KEBERLANJUTAN.

Apa yang Ditawarkan oleh Ketiga Paslon?

Ketiga Pasang Capres-Cawapres di Pemilu 2024 (VOA Indonesia)

Pilpres 2024 menghadirkan tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, yakni Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (01), Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka (02), dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD (03).

Dalam berbagai kesempatan, baik dalam debat resmi yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), diskusi yang diadakan oleh pihak lain, maupun dalam forum internal, ketiga paslon memiliki arah yang berbeda.

Kubu 01 dengan tegas menyuarakan PERUBAHAN, sesuai dengan nama koalisinya. Meksipun diusung oleh dua partai politik (parpol) yang sebelumnya berada di pemerintahan (Nasdem dan PKB), kubu 01 menyatakan banyak yang harus dibenahi dari pemerintahan sebelumnya.

Kubu 02 terlihat berfokus pada KEBERLANJUTAN, yang terlihat dari bagaimana Prabowo maupun Gibran kerap berorasi dan menyatakan akan melanjutkan apa yang selama ini telah dikerjakan dengan baik oleh Presiden Joko Widodo selama 10 tahun terakhir.

Di sisi lain, Kubu 03 menurut Penulis terlihat berada di tengah-tengah, di mana mereka mencanangkan PERBAIKAN dan PERCEPATAN. Artinya, mereka akan melanjutkan apa yang sudah dikerjakan pemerintahan sebelumnya, tapi menjadi versi lebih baiknya.

Memiliki paslon yang jelas perbedaannya seperti ini tentu memudahkan kita sebagai pemilih. Jika kita merasa pemerintahan sebelumnya berhasil, maka pilih yang akan melanjutkan. Jika tidak, maka perubahan menjadi pilihan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pemerintahan sebelumnya layak untuk dilanjutkan, atau memang perlu ada perubahan ke arah yang lebih baik? Untuk mengetahui hal tersebut, mari kita sedikit melakukan evaluasi singakt terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dalam 10 tahun ia berkuasa.

Mengevaluasi Kinerja Pemerintah dalam 10 Tahun Terakhir

Presiden Joko Widodo (Kominfo)

Tidak ada sosok pemimpin yang sempurna. Itu pula yang terjadi pada Presiden Joko Widodo. Menjabat dalam dua periode, bisa dibilang beliau memiliki nilai rapor yang nano-nano. Ada yang perlu diapresiasi, ada yang perlu dikritik.

Untuk membantu Pembaca menentukan mana yang dibutuhkan antara PERUBAHAN dan KEBERLANJUTAN, Penulis akan mencoba merangkum semua hal positif dan negatif dari berbagai sumber, yang tentu tidak akan benar-benar lengkap.

Namun, Penulis perlu ingatkan kalau pemaparan di bawah ini tidak akan sepenuhnya netral dan objektif. Pasti akan ada bias dari pribadi Penulis (yang menulis lebih banyak sisi buruknya karena itu yang ditemukan). Jadi, dimohon untuk kebijaksanaan Pembaca dalam membaca.

Apa yang Perlu Diapresiasi

Jokowi Identik dengan Pembangunan Infrastruktur (Antara)

Apa yang paling melekat pada sosok Jokowi adalah pembangunan infrastruktur yang lebih merata, tidak hanya berfokus di luar Jawa. Penulis mendapatkan cerita bahwa di daerah Labuan Bajo, baru di era Jokowilah mereka memiliki akses berupa jalan raya.

Banyak penyebab akselerasi pembangunan infrastuktur di era Jokowi, mulai dari menghapus subsidi BBM hingga melibatkan BUMN dan swasta. Tidak hanya jalan tol, ada juga bandara, pelabuhan, jembatan, pasar, rumah, bendungan, hingga dana desa.

Melansir dari data Bappenas, tol laut yang dikembangkan oleh Jokowi juga berkontribusi dalam menurunkan biaya logistik di Indonesia. Walaupun ada beberapa catatan, kita harus mengakui kalau pembangunan infrastruktur di era Jokowi sangat masif.

Angka kemiskinan juga berhasil ditekan, dari 28,51 juta pada tahun 2015 menjadi 25,9 juta pada tahun 2023. Selain itu, negara kita juga berhasil relatif stabil di kala pandemi COVID-19 tengah memporak-porandakan negara-negara lain.

Penyerahan sertifikat tanah kepada masyarakat juga patut diapresiasi. Pada tahun 2023, Jokowi telah menyerahkan 109 juta sertifikat tanah kepada masayrakat, dan ditargetkan pada tahun 2024 akan menjadi 120 juta sertifikat.

UU Omnibus Law Cipta Kerja berhasil menggaet lebih banyak investor hingga dua kali lipat, terutama dari China. Jokowi juga melakukan hilirisasi (tidak menjual biji mentah) nikel dan bahan tambang lain, yang membuat Indonesia sempat digugat oleh Uni Eropa.

Beberapa upayanya untuk menasionalisasi beberapa aset perusahaan asing juga berhasil, seperti Freeport, TotalEnergies, dan Chevron. Untuk mengurangi impor minyak, Jokowi juga memerintahkan perusahaan minyak di Indonesia menjual minyaknya ke Pertamina.

Apa yang Perlu Dikritik

Hilirisasi Nikel yang Membawa Dampak Negatif (BBC)

Terlepas dari sisi positif dari pemerintahan Jokowi, Penulis menyoroti beberapa kebijakan yang kurang srek di hati dan merasa butuh memberikan kritik. Contoh paling mudah dan terlihat adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).

Setahu Penulis, ketika berada dalam masa kampanye untuk periode keduanya di tahun 2019, Jokowi tidak pernah menyebut rencana pemindahan ibukota. Tiba-tiba, ibukota pindah ke Kalimantan Timur tanpa ada diskusi dengan publik terlebih dahulu.

Padahal sewaktu menjadi Walikota Solo dulu, ia kerap melakukan komunikasi dengan publik untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Boro-boro dengan publik, dengan masyarakat yang berada di sekitar area IKN pun tidak.

Konflik agraria dan HAM memang kerap terjadi atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak hanya IKN, masalah di Wadas hingga Rempang menjadi contoh lainnya. Jumlahnya dua kali lipat jika dibandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pembangunan infrastruktur yang masif di era Jokowi juga belum bisa dikatakan sukses, mengingat pertumbuhan ekonomi kita hanya nyaris stagnan di angka 4-5%, jauh dari target 7%. Mungkin memang butuh waktu agar hal tersebut bisa terlihat hasilnya.

Tidak hanya IKN, banyak UU yang tiba-tiba muncul dan mendapatkan persetujuan yang relatif kilat, mulai dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU KPK, UU ITE, hingga Food Estate .Maklum saja, Jokowi didukung 81,9% kursi di parlemen, nyaris tanpa oposisi.

UU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap terlalu berpihak kepada pihak investor atau pengusaha dan menekan buruh atau karyawan. Keberpihakan ini juga menjadi salah satu yang Penulis soroti, terutama jika kita melihat masalah hilirisasi nikel.

Meskipun niatnya bagus, hilirisasi nikel yang dilakukan terasa ugal-ugalan hingga merusak alam dan merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang maupun smelter nikel. Bahkan, China lebih banyak meraup untung daripada kita sendiri.

Masalah pelemahan KPK juga kerap disorot. Jauh sebelum ketua KPK Firli Bahuri terkena kasus, sudah banyak suara-suara yang menentang pelemahan KPK. Skor corruption perception index kita juga stagnan, berada di angka 34 dan menghuni peringkat 115.

Selain itu, ada banyak penurunan yang terjadi di era Jokowi. Dilansir dari Media Indonesia, kriminaliasi berdasarkan UU ITE paling banyak ditemukan di era Jokowi. Ini membuat indeks kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia menurun.

Contoh lainnya adalah Indeks Demokrasi Indonesia, yang cenderung menurun selama 10 tahun terakhir. The Economist Intelligencce Unit bahkan mengategorikan Indonesia sebagai “demokrasi cacat”.

Terakhir, tentu saja yang perlu dikritik adalah cawe-cawenya Jokowi dalam Pilpres 2024 ini dan ambisinya untuk membangun dinasti politik. Meskipun telah mengatakan tidak akan berkampanye, banyak sekali tindakannya yang bertolak belakang dengan ucapannya tersebut.

Penulis akan membahas lebih detail mengenai hal ini di tulisan selanjutnya, karena ada banyak kegundahan dan keresahan karena hal tersebut.

***

Setelah memahami sisi positif dan negatif dari pemerintahan kita selama 10 tahun terakhir, sekarang kita menentukan pilihan: mau PERUBAHAN atau KEBERLANJUTAN? Mungkin memang belum bisa ditentukan karena masalah ini cukup kompleks dan data di atas belum terlalu lengkap.

Untuk itu, penting untuk mengetaui visi misi dan program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing paslon. Pada artikel selanjutnya, Mengamati Pilpres 2024 Bagian 2: Menyelami Visi Misi Paslon, Penulis akan mencoba untuk merangkum sebisanya.

Selain itu, perlu digarisbawahi kalau anggapan hanya Kubu 02 yang akan melanjutkan program kerja yang telah dilakukan di era Jokowi. Menurut Penulis, program kerja yang baik pasti akan dilanjutkan oleh siapapun yang nantinya akan terpilih.

Untuk tulisan yang lebih kredibel, Penulis menyarankan untuk membaca artikel-artikel yang sudah Penulis cantumkan di bawah. Jika ingin ada yang ditambahkan atau mengoreksi dari tulisan, silakan untuk menghubungi Penulis.


Lawang, 12 Februari 2024, terinspirasi setelah mengamati perkembangan politik menjelang pemilihan presiden

Sumber Foto:

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version