Connect with us

Politik & Negara

Mengamati Pilpres 2024 Bagian 1: Antara Perubahan dan Keberlanjutan

Published

on

Menjelang hari pemilihan umum (pemilu) yang tinggal menghitung hari, Penulis merasa inilah waktunya untuk menuangkan hasil pengamatan, riset, dan opini pribadinya tentang pemilu presiden (pilpres) 2024 yang akan datang.

Kebetulan selama beberapa bulan terakhir, Penulis baca membaca dan menonton berbagai sumber untuk keperluan riset, baik dari media massa, media sosial, hingga YouTube. Semua menyajikan data-data yang dibutuhkan untuk memilih mana yang paling cocok bagi Penulis.

Karena tulisan dengan tema ini akan panjang, Penulis memutuskan untuk membaginya menjadi tiga bagian. Tulisan pertama, Penulis akan membahas tentang bagaimana pemilih dihadapkan akan dua pilihan: antara PERUBAHAN atau KEBERLANJUTAN.

Apa yang Ditawarkan oleh Ketiga Paslon?

Ketiga Pasang Capres-Cawapres di Pemilu 2024 (VOA Indonesia)

Pilpres 2024 menghadirkan tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, yakni Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (01), Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka (02), dan Ganjar Pranowo – Mahfud MD (03).

Dalam berbagai kesempatan, baik dalam debat resmi yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), diskusi yang diadakan oleh pihak lain, maupun dalam forum internal, ketiga paslon memiliki arah yang berbeda.

Kubu 01 dengan tegas menyuarakan PERUBAHAN, sesuai dengan nama koalisinya. Meksipun diusung oleh dua partai politik (parpol) yang sebelumnya berada di pemerintahan (Nasdem dan PKB), kubu 01 menyatakan banyak yang harus dibenahi dari pemerintahan sebelumnya.

Kubu 02 terlihat berfokus pada KEBERLANJUTAN, yang terlihat dari bagaimana Prabowo maupun Gibran kerap berorasi dan menyatakan akan melanjutkan apa yang selama ini telah dikerjakan dengan baik oleh Presiden Joko Widodo selama 10 tahun terakhir.

Di sisi lain, Kubu 03 menurut Penulis terlihat berada di tengah-tengah, di mana mereka mencanangkan PERBAIKAN dan PERCEPATAN. Artinya, mereka akan melanjutkan apa yang sudah dikerjakan pemerintahan sebelumnya, tapi menjadi versi lebih baiknya.

Memiliki paslon yang jelas perbedaannya seperti ini tentu memudahkan kita sebagai pemilih. Jika kita merasa pemerintahan sebelumnya berhasil, maka pilih yang akan melanjutkan. Jika tidak, maka perubahan menjadi pilihan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pemerintahan sebelumnya layak untuk dilanjutkan, atau memang perlu ada perubahan ke arah yang lebih baik? Untuk mengetahui hal tersebut, mari kita sedikit melakukan evaluasi singakt terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dalam 10 tahun ia berkuasa.

Mengevaluasi Kinerja Pemerintah dalam 10 Tahun Terakhir

Presiden Joko Widodo (Kominfo)

Tidak ada sosok pemimpin yang sempurna. Itu pula yang terjadi pada Presiden Joko Widodo. Menjabat dalam dua periode, bisa dibilang beliau memiliki nilai rapor yang nano-nano. Ada yang perlu diapresiasi, ada yang perlu dikritik.

Untuk membantu Pembaca menentukan mana yang dibutuhkan antara PERUBAHAN dan KEBERLANJUTAN, Penulis akan mencoba merangkum semua hal positif dan negatif dari berbagai sumber, yang tentu tidak akan benar-benar lengkap.

Namun, Penulis perlu ingatkan kalau pemaparan di bawah ini tidak akan sepenuhnya netral dan objektif. Pasti akan ada bias dari pribadi Penulis (yang menulis lebih banyak sisi buruknya karena itu yang ditemukan). Jadi, dimohon untuk kebijaksanaan Pembaca dalam membaca.

Apa yang Perlu Diapresiasi

Jokowi Identik dengan Pembangunan Infrastruktur (Antara)

Apa yang paling melekat pada sosok Jokowi adalah pembangunan infrastruktur yang lebih merata, tidak hanya berfokus di luar Jawa. Penulis mendapatkan cerita bahwa di daerah Labuan Bajo, baru di era Jokowilah mereka memiliki akses berupa jalan raya.

Banyak penyebab akselerasi pembangunan infrastuktur di era Jokowi, mulai dari menghapus subsidi BBM hingga melibatkan BUMN dan swasta. Tidak hanya jalan tol, ada juga bandara, pelabuhan, jembatan, pasar, rumah, bendungan, hingga dana desa.

Melansir dari data Bappenas, tol laut yang dikembangkan oleh Jokowi juga berkontribusi dalam menurunkan biaya logistik di Indonesia. Walaupun ada beberapa catatan, kita harus mengakui kalau pembangunan infrastruktur di era Jokowi sangat masif.

Angka kemiskinan juga berhasil ditekan, dari 28,51 juta pada tahun 2015 menjadi 25,9 juta pada tahun 2023. Selain itu, negara kita juga berhasil relatif stabil di kala pandemi COVID-19 tengah memporak-porandakan negara-negara lain.

Penyerahan sertifikat tanah kepada masyarakat juga patut diapresiasi. Pada tahun 2023, Jokowi telah menyerahkan 109 juta sertifikat tanah kepada masayrakat, dan ditargetkan pada tahun 2024 akan menjadi 120 juta sertifikat.

UU Omnibus Law Cipta Kerja berhasil menggaet lebih banyak investor hingga dua kali lipat, terutama dari China. Jokowi juga melakukan hilirisasi (tidak menjual biji mentah) nikel dan bahan tambang lain, yang membuat Indonesia sempat digugat oleh Uni Eropa.

Beberapa upayanya untuk menasionalisasi beberapa aset perusahaan asing juga berhasil, seperti Freeport, TotalEnergies, dan Chevron. Untuk mengurangi impor minyak, Jokowi juga memerintahkan perusahaan minyak di Indonesia menjual minyaknya ke Pertamina.

Apa yang Perlu Dikritik

Hilirisasi Nikel yang Membawa Dampak Negatif (BBC)

Terlepas dari sisi positif dari pemerintahan Jokowi, Penulis menyoroti beberapa kebijakan yang kurang srek di hati dan merasa butuh memberikan kritik. Contoh paling mudah dan terlihat adalah pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).

Setahu Penulis, ketika berada dalam masa kampanye untuk periode keduanya di tahun 2019, Jokowi tidak pernah menyebut rencana pemindahan ibukota. Tiba-tiba, ibukota pindah ke Kalimantan Timur tanpa ada diskusi dengan publik terlebih dahulu.

Padahal sewaktu menjadi Walikota Solo dulu, ia kerap melakukan komunikasi dengan publik untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Boro-boro dengan publik, dengan masyarakat yang berada di sekitar area IKN pun tidak.

Konflik agraria dan HAM memang kerap terjadi atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak hanya IKN, masalah di Wadas hingga Rempang menjadi contoh lainnya. Jumlahnya dua kali lipat jika dibandingkan dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pembangunan infrastruktur yang masif di era Jokowi juga belum bisa dikatakan sukses, mengingat pertumbuhan ekonomi kita hanya nyaris stagnan di angka 4-5%, jauh dari target 7%. Mungkin memang butuh waktu agar hal tersebut bisa terlihat hasilnya.

Tidak hanya IKN, banyak UU yang tiba-tiba muncul dan mendapatkan persetujuan yang relatif kilat, mulai dari UU Omnibus Law Cipta Kerja, UU KPK, UU ITE, hingga Food Estate .Maklum saja, Jokowi didukung 81,9% kursi di parlemen, nyaris tanpa oposisi.

UU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap terlalu berpihak kepada pihak investor atau pengusaha dan menekan buruh atau karyawan. Keberpihakan ini juga menjadi salah satu yang Penulis soroti, terutama jika kita melihat masalah hilirisasi nikel.

Meskipun niatnya bagus, hilirisasi nikel yang dilakukan terasa ugal-ugalan hingga merusak alam dan merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang maupun smelter nikel. Bahkan, China lebih banyak meraup untung daripada kita sendiri.

Masalah pelemahan KPK juga kerap disorot. Jauh sebelum ketua KPK Firli Bahuri terkena kasus, sudah banyak suara-suara yang menentang pelemahan KPK. Skor corruption perception index kita juga stagnan, berada di angka 34 dan menghuni peringkat 115.

Selain itu, ada banyak penurunan yang terjadi di era Jokowi. Dilansir dari Media Indonesia, kriminaliasi berdasarkan UU ITE paling banyak ditemukan di era Jokowi. Ini membuat indeks kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di Indonesia menurun.

Contoh lainnya adalah Indeks Demokrasi Indonesia, yang cenderung menurun selama 10 tahun terakhir. The Economist Intelligencce Unit bahkan mengategorikan Indonesia sebagai “demokrasi cacat”.

Terakhir, tentu saja yang perlu dikritik adalah cawe-cawenya Jokowi dalam Pilpres 2024 ini dan ambisinya untuk membangun dinasti politik. Meskipun telah mengatakan tidak akan berkampanye, banyak sekali tindakannya yang bertolak belakang dengan ucapannya tersebut.

Penulis akan membahas lebih detail mengenai hal ini di tulisan selanjutnya, karena ada banyak kegundahan dan keresahan karena hal tersebut.

***

Setelah memahami sisi positif dan negatif dari pemerintahan kita selama 10 tahun terakhir, sekarang kita menentukan pilihan: mau PERUBAHAN atau KEBERLANJUTAN? Mungkin memang belum bisa ditentukan karena masalah ini cukup kompleks dan data di atas belum terlalu lengkap.

Untuk itu, penting untuk mengetaui visi misi dan program kerja yang ditawarkan oleh masing-masing paslon. Pada artikel selanjutnya, Mengamati Pilpres 2024 Bagian 2: Menyelami Visi Misi Paslon, Penulis akan mencoba untuk merangkum sebisanya.

Selain itu, perlu digarisbawahi kalau anggapan hanya Kubu 02 yang akan melanjutkan program kerja yang telah dilakukan di era Jokowi. Menurut Penulis, program kerja yang baik pasti akan dilanjutkan oleh siapapun yang nantinya akan terpilih.

Untuk tulisan yang lebih kredibel, Penulis menyarankan untuk membaca artikel-artikel yang sudah Penulis cantumkan di bawah. Jika ingin ada yang ditambahkan atau mengoreksi dari tulisan, silakan untuk menghubungi Penulis.


Lawang, 12 Februari 2024, terinspirasi setelah mengamati perkembangan politik menjelang pemilihan presiden

Sumber Foto:

Sumber Artikel:

Politik & Negara

Malangnya Jadi Masyarakat Kelas Menengah yang Terus Digencet

Published

on

By

Dalam pemilihan presiden (pilpres) yang telah berlangsung beberapa waktu lalu, ada salah satu tim dari pasangan calon (paslon) yang mengatakan ingin memperhatikan nasib kelas menengah, yang selama ini terkesan selalu berjuang sendirian.

Penulis menyukai gagasan tersebut karena merasa dirinya termasuk ke dalam kelas tersebut, setidaknya menurut definisi Penulis sendiri. Versi Penulis, kelas menengah adalah kelompok masyarakat yang tidak cukup miskin untuk dapat bantuan, tapi tidak cukup kaya hingga mendapatkan insentif.

Sayangnya, paslon tersebut tidak berhasil memenangkan pilpres dan Penulis pun jadi merasa was-was dengan masa depannya sebagai kelas menengah. Apalagi, belakangan ini banyak peraturan-peraturan baru yang semakin menekan kelas menengah.

Memahami Kelas Menengah di Indonesia

Gambaran Kelas Menengah di Indonesia (Kompas)

Tentu definisi yang Penulis gunakan di paragraf pembuka adalah versi dangkal yang sangat disederhanakan. Ada banyak definisi yang lebih bisa dipercaya, contohnya adalah versi Merriam-Webster berikut ini:

Kelas sosial yang menempati posisi antara kelas atas dan kelas bawah dan sebagian besar terdiri dari para pebisnis dan profesional, pejabat pemerintah, petani, dan pekerja terampil

Kalau di Indonesia, kelas menengah diklasifikasikan masyarakat yang memiliki upah antara Rp2,04 juta hingga Rp9,9 juta per bulannya. Bisa dilihat, range untuk masuk kelas ini cukup luas sehingga sebenarnya tak bisa disamaratakan. Dua juta ke 10 juta itu jaraknya 8 juta, loh.

Di tahun 2024 ini, ada sekitar 43,85 juta masyarakat yang masuk ke dalam kategori kelas menengah. Jika jumlah penduduk Indonesia dibulatkan menjadi 250 juta jiwa, maka kelas menengah di Indonesia mencapai sekitar 17%.

Jumlah tersebut terjadi karena adanya penurunan kelas menengah yang cukup tinggi. Dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 9,5 juta kelas menengah yang harus turun kelas ke “calon kelas menengah” atau bahkan masuk “kelas rentan miskin.”

Sebagai perbandingan, jumlah masyarakat “calon kelas menengah” di Indonesia saat ini mencapai 137,5 juta atau lebih dari setengah penduduk Indonesia. Angka ini berpotensi akan bertambah karena ada prediksi bahwa sebanyak 2% masyarakat kelas menengah akan turun kelas pada tahun 2025 mendatang.

Mengapa Kelas Menengah di Indonesia Semakin Menurun?

Grafik Penurunan Kelas Menengah (Bisnis.com)

Salah satu bukti penurunan jumlah kelas menengah ini bisa dilihat melalui penurunan transaksi menggunakan QRIS dalam periode Juni hingga Agustus 2024. Memang ini hanya satu parameter kecil saja, tapi cukup mencerminkan penurunan daya beli masyarakat pada umumnya, mengingat pengguna QRIS kebanyakan dari kelas menengah.

Jumlah gaji yang cukup ngepres alias pas-pasan tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan hidup yang terus bertambah. Kita tidak sedang membicarakan gaya hidup masyarakat hedon, ini sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Mari kita gunakan data. Berdasarkan data dari BPS pada tahun 2022, rata-rata biaya standar rumah tangga di Jakarta mencapai Rp14,8 juta. Tahu berapa Upah Minimum Regional (UMR) di (calon mantan) ibukota? Rp4,6 juta saja. Jika suami-istri punya gaji UMR pun belum cukup untuk hidup ideal di Jakarta.

Dengan contoh tersebut, tak heran banyak masyarakat yang jadi menggantungkan hidupnya dengan pinjaman online maupun PayLater. Belum lagi diperparah adanya kegemaran untuk mengundi nasib lewat judi online, dengan harapan bisa mendapatkan cuan tambahan.

Mungkin ada pembelaan karena dalam lima tahun terakhir kita bergulat dengan pandemi Covid-19. Namun, rasanya bukan itu saja penyebabnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah juga memiliki andil atas makin terhimpitnya kelas menengah.

Kebijakan Pemerintah yang Makin Menekan Kelas Menengah

Kebijakan Pemerintah yang Menekan Perlu Mendapatkan Sorotan (Bareksa)

Salah satu wacana paling konyol yang menekan kelas menengah adalah penerapan subsidi KRL berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Artinya, masyarakat yang dianggap kurang miskin tidak akan boleh menikmati fasilitas subsidi ketika naik transportasi umum.

Di sisi lain, orang-orang kaya yang ingin membeli mobil listrik justru mendapatkan subsidi. Mana ada orang kelas menengah (apalagi masyarakat miskin) kepikiran untuk membeli mobil listrik? Padahal, terjangkaunya fasilitas transportasi umum menjadi kunci untuk mengurai kemacetan sekaligus mengurangi polusi udara.

Sudah transportasi umumnya mau dicabut subsidinya, mau naik kendaraan pribadi pun semakin dipersulit karena tidak boleh membeli Pertalite atau Solar. Agar lebih tepat sasaran, pemerintah, seolah kelas menengah dianggap selalu mampu membeli bahan bakar yang lebih mahal.

Gaji kelas menengah yang pas-pasan tadi semakin terasa sedikit karena adanya wacana iuran tambahan dana pensiun. Padahal, selama ini potongan gaji kita sudah diambil untuk Jaminan Hari Tua (JHT) msupun BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan.

Jangan lupakan kalau Pajak Pertambahan Negara (PPN) akan bertambah menjadi 12% mulai bulan Januari 2025 dengan alasan “masyarakat menyetujui keberlanjutan.” Padahal, PPN baru naik pada tahun 2022 lalu dari 10% menjadi 11% yang sudah cukup memberatkan.

Jangan lupa ada wacana potongan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebesar 3% yang dikabarkan akan diberlakukan mulai tahun 2027. Ingat, tidak semua yang membayar iuran Tapera bisa menggunakan uangnya untuk membeli rumah!

Belum lagi harga sembako yang konsisten naik, harga rumah yang terus meroket, biaya pendidikan semakin mahal, membuat kehidupan kaum menengah menjadi semakin sulit dan seolah tidak menjadi perhatian pemerintah. Kita seolah disuruh terus berjuang sendirian.

Negara yang Seolah Tak Memedulikan Kelas Menengah

Pembangunan IKN yang Megah di Tengah Susahnya Masyarakat (NOW! Jakarta)

Kesannya, negara sedang memalak rakyatnya sendiri karena butuh dana tambahan untuk mendanai proyek-proyek mercusuarnya seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Belum lagi jika nanti program makan siang gratis benar-benar diberlakukan, yang pastinya akan memakan anggaran lebih besar lagi.

Mau berjuang untuk bertahan hidup pun tak mudah karena lapangan pekerjaan rasanya semakin sulit untuk diraih. Jumlah lowongan yang tersedia tak sebanding dengan jumlah calon pekerja yang membutuhkan pekerjaan. Entah ke mana 10 juta lapangan pekerjaan yang dijanjikan 10 tahun yang lalu.

Bukannya bertambah, beberapa sektor industri justru harus melakukan pengurangan jumlah karyawan dengan melakukan PHK. Penulis mengalami sendiri hal ini di tempatnya kerja, di mana ada pengurangan karyawan dengan tujuan efisiensi biaya.

Padahal di satu sisi, katanya negara sedang menggalakkan hiliriasi sumber daya kita untuk kemakmuran rakyatnya. Kita bisa melihat bagaimana program ini begitu dibangga-banggakan ketika debat calon presiden dan wakil presiden kemarin.

Namun, mengapa hingga hari ini kita belum merasakan dampaknya secara langsung? Apakah memang program tersebut hanya untuk kemakmuran rakyat tertentu saja? Jika disuruh bersabar karena masih proses, mau disuruh bersabar sampai kapan?

Pemberian bantuan sosial (bansos) hanya berlaku untuk masyarakat miskin. Namun, itu pun bukan solusi terbaik untuk mengentaskan kemiskinan. Apalagi, kelas menengah sama sekali dianggap tidak layak untuk mendapatkan bantuan walaupun sebenarnya kita masih membutuhkannya.

Seharusnya, pemerintah mampu memberikan solusi jangka panjang untuk mengatasi kemiskinan struktural seperti ini agar jumlah tidak bertambah setiap tahunnya. Memberi kail dan jala pada rakyatnya, bukan sekadar ikan yang langsung dimakan.

***

Kelas menengah adalah salah satu penggerak roda perekomian negara. Menurunnya jumlah masyarakat kelas menengah biasanya dibarengi dengan penurunan daya beli masyarakat, yang tentunya akan memacetkan roda perekonomian.

Gaji kita dipotong untuk ini itu setiap bulannya, walau memang harus diakui ada yang manfaatnya bisa langsung kita rasakan seperti BPJS Kesehatan. Hampir semua barang yang kita beli dikenai pajak, hingga muncul anekdot kalau suatu saat menghirup oksigen pun akan dikenai pajak.

Masyarakat menengah dianggap tidak berhak untuk mendapatkan subsidi, padahal kita butuh berhemat karena gaji yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat menengah dianggap mampu berdikari di tengah kebijakan pemerintah yang makin menekan.

Jika kelas menengah terus diperah bagaikan sapi seperti ini, bukan tidak mungkin kalau masalah perekonomian negara kita akan semakin berat dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin pun semakin lebar di masa depan.


Lawang, 17 September 2024, terinspirasi setelah dirinya merasa makin tergencet dengan berbagai keputusan dari pemerintah

Foto Featured Image: The Jakarta Post

Sumber Artikel:

Continue Reading

Politik & Negara

Berusaha Memahami Situasi Politik yang Sedang Terjadi Saat Ini

Published

on

By

Selama beberapa minggu terakhir, drama perpolitikan di Indonesia benar-benar dinamis sekaligus panas. Penyebab utamanya tentu saja Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta yang entah mengapa penuh dengan drama.

Tidak hanya drama di Jakarta, banyak peristiwa politik lain yang juga terjadi bersamaan. Salah satu yang mencuri perhatian Penulis adalah banyaknya calon kepala daerah yang hanya berhadapan dengan kotak kosong karena terlalu gemuknya koalisi.

Oleh karena itu, ada banyak hal yang terbesit di pikiran Penulis setelah mengamati dunia politik pada masa-masa ini, sehingga merasa perlu untuk menuangkan pikiran dan opininya melalui tulisan ini.

Gagal Paham Netizen (atau Buzzer?) Menyikapi Peringatan Darurat

Reza Rahadian Sampai Turun ke Jalan (VOI)

Penulis sudah merangkum kejadian Peringatan Darurat pada tulisan sebelumnya. Intinya, pada akhirnya keinginan DPR untuk membuat RUU Pilkada demi membatalkan putusan MK dibatalkan karena desakan dari masyarakat.

Seperti yang kita tahu, menjelang rapat untuk membahas RUU Pilkada tersebut, masyarakat berkumpul di beberapa kota besar Indonesia untuk melakukan aksi protes. Bahkan, banyak public figure yang turun seperti Reza Rahadian, Andovi, serta banyak komika.

Nah, dengan dikabulkannya permintaan tersebut, tentu kita sebagai masyarakat merasa senang karena berhasil menahan pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengubah peraturan demi kepentingan tertentu. Iya, kan?

Ternyata, tidak semua berpikiran seperti itu. Ada pihak (kemungkinan buzzer) yang menuduh kalau gerakan Peringatan Darurat tersebut merupakan gerakan terstruktur yang dikomandoi oleh pihak tertentu untuk tujuan lain. Siapa? Mereka tidak menyebutkannya.

Lantas, tujuan lainnya itu apa? Nah, di sini Penulis tidak paham. Mayoritas pos yang kontra dengan Peringatan Darurat tidak menjelaskan secara spesifik apa maksud lain dari gerakan tersebut. Kalau yang pro kan jelas, kami tidak ingin peraturan diubah seenak udel-nya.

Anehnya, mereka justru melempar isu lain untuk memperkeruh keadaan. Contoh, mereka menyinggung masalah politik dinasti di Banten. “Kenapa kalian diam ketika ada dinasti di Banten,” kurang lebih begitu narasi dari mereka.

Bagi Penulis, mereka yang bernarasi seperti itu tidak paham substansi. Peringatan Darurat bukan muncul semata-mata untuk menolak dinasti, tapi (sekali lagi) mencegah agar jangan sampai peraturan bisa diubah semena-mena demi kepentingan tertentu.

Politik dinasti sudah banyak terjadi selama ini, bukan dipelopori oleh keluarga Joko Widodo selaku presiden kita. Tidak ada perarturan yang melarang kalau kita kerabat dari pejabat publik, kita dilarang untuk menjadi pejabat publik juga.

Yang dipermasalahkan adalah kalau dinasti itu dibangun dengan mengubah peraturan yang sudah ada. Kedua anak Jokowi, Gibran dan Kaesang, sama-sama terganjal umur. Gibran berhasil diloloskan pamannya, tapi Kaesang tidak.

Nah, waktu meloloskan Gibran, tidak ada yang berdaya untuk mengubah keputusan MK tersebut, bukan? Lantas, mengapa saat MK memutuskan yang terakhir kemarin, tiba-tiba DPR bergerak cepat untuk menganulir keputusan tersebut? Ini kan anomali yang sangat aneh.

Isu lain yang dilempar ke publik adalah mempertanyakan mengapa para orang pro Peringatan Darurat tidak sevokal ini saat membahas RUU Perampasan Aset. Ini kesalahan logika lainnya karena sudah berbeda substansi. Buzzer memang selalu punya caranya sendiri, walau sering tak masuk akal.

Negara Tanpa Oposisi, tapi Lebih Parah

Diusung oleh Belasan Partai (Antara)

Salah satu poin yang diputuskan oleh MK adalah menurunkan batas threshold partai politik untuk bisa mencalonkan orang, dari 20% menjadi 7.5% saja. Tentu ini keputusan yang bagus sekali, karena threshold yang terlalu tinggi menimbulkan sedikitnya calon yang bisa dipilih.

Penulis pernah membahas mengenai bagaimana Jokowi berhasil mengalahkan lawan-lawannya tanpa berperang, yakni dengan cara mengajak koalisi lawan-lawannya. Hal ini tampaknya akan dilanjutkan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

Dalam satu pernyataan, Prabowo pernah mengatakan kalau oposisi bukanlah budaya Indonesia, karena budaya Indonesia adalah gotong royong. Bagi Penulis, dalam negara yang mengusung demokrasi, ini adalah hal yang cukup berbahaya.

Hal ini bisa dilihat dari peta Pilkada saat ini, di mana ada begitu banyak satu calon diusung oleh hampir semua partai yang ada untuk melawan kotak kosong, atau minimal melawan calon independen. Ada puluhan kasus seperti ini di seluruh Indonesia.

Penulis ambil contoh di Jakarta, di mana Ridwan Kamil diusung oleh 15 partai. Partai Nasdem, PKB, dan PKS, yang awalnya ingin mengusung Anies Baswedan, berbalik arah dan ikut mendukung Ridwan Kamil karena gagal mencapai threshold.

Setelah keputusan MK, PDIP akhirnya maju sendirian dengan mengusung pasangan Pramono Anung dan Rano Karno. Ada pasangan ketiga dari jalur independen, yang juga kontroversial karena mencatut banyak KTP orang dan tetap diloloskan untuk berlaga di Pilkada.

Di Jawa Timur pun begitu, di mana partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus mengusung Khofifah. Yang berbeda adalah PDIP yang mengusuk Risma dan PKB yang mengusung Luluk.

Bayangkan, satu orang diusung oleh belasan partai. Jika pun mereka kalah, suara mereka di dewan akan sangat dominan. Lantas, bagaimana pihak Eksekutif dan Legislatif bisa bekerja dengan baik jika tidak seimbang seperti ini?

Negara butuh kontrol, karena itulah kita menganut trias politika. Tidak boleh ada satu pihak yang terlalu dominan. Kalau Eksekutif dan Legislatif-nya sejalan terus, lantas siapa yang bisa menjamin kalau semua keputusan yang dibuat akan menguntungkan untuk rakyat?

Kita seolah semakin bertransformasi menjadi negara tanpa oposisi yang makin parah. Siapa yang tidak mau ikut, entah baik atau buruk, akan ditinggal. Memang benar kalau tidak semua orang tahan untuk menjadi oposisi dan berada di luar kekuasaan.

Penutup

Situasi politik di Indonesia saat ini, setidaknya bagi Penulis, sudah berada di tahap yang membuat geleng-geleng kepala. Konsep bernegara yang kita kenal selama ini perlahan digeser, sehingga tak terasa kita akan dibawa kembali ke era otoriter seperti dulu.

Mungkin kita masih bisa bersuara, mungkin kita masih bisa melempar kritik. Akan tetapi, negara ini seolah sedang diatur oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing alias oligarki. Negara ini mau maju mau mundur, suka-suka mereka.

Kalau mau sarkas, sudah tidak perlu adakan Pemilu saja sekalian. Silakan pilih suka-suka kalian. Apakah namanya masih bebas, jika pilihan yang ada diatur-atur oleh pemilik kekuasaan, baik dengan cara halus maupun kasar?

Penulis yang ilmunya rendah ini berusaha memahami situasi politik saat ini, dan kesimpulannya, ini hanya tentang bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankannya selama mungkin. Nasib kita sebagai rakyat tak menjadi pertimbangan sama sekali.


Lawang, 4 September, terinspirasi setelah melihat komentar-komentar netizen (atau buzzer?) terkait peringatan darurat yang ramai beberapa minggu lalu

Foto Featured Image: Merdeka

Continue Reading

Politik & Negara

Peringatan Darurat: Apa Memang Sedarurat Itu Situasi Politik Saat Ini?

Published

on

By

Media sosial berhasil dibirugelapkan oleh netizen. Bukan karena sedang mendukung Chelsea, melainkan karena mereka semua sedang memberikan Peringatan Darurat beserta lambang Garuda dengan latar belakang biru gelap.

Melansir dari CNN, foto itu sendiri sebenarnya diambil dari video EAS Indonesia Concept di YouTube. Entah siapa yang pertama kali memiliki ide menggunakan footage dari video tersebut, yang jelas hal tersebut berhasil menjadi viral di media sosial.

Berhubung sudah lama tidak menulis tentang politik dan kebetukan sedang memperhatikan “drama” yang terjadi menjelang Pilkada Jakarta, Penulis memutuskan untuk menuangkan opininya terkait hal ini, mumpung ada momentum yang tepat dengan adanya Peringatan Darurat.

Latar Belakang Terjadinya Peringatan Darurat

Mungkin para Pembaca sudah banyak membaca kronologinya di media sosial. Oleh karena itu, Penulis hanya akan merangkumnya untuk memahami mengapa Peringatan Darurat ini bisa menjadi viral, bahkan memicu aksi demo oleh pihak-pihak tertentu.

Kita tarik dari kejadian pada tanggal 4 Juni 2024, ketika Mahkamah Agung mengubah peraturan KPU dari calon gubernur minimal berusia 30 tahun saat pemilihan menjadi berusia 30 tahun saat pelantikan. Ini ditenggarai untuk memuluskan anak dari Jokowi, Kaesang Pengarep, untuk melanggeng ke pemilihan.

Lalu di Jakarta, awalnya Koalisi Perubahan di pilpres sepakat ingin mengusung Anies Baswedan sebagai Cagub. Bahkan, PKS sudah menyodorkan nama Sohibul Iman sebagai wakilnya. Masalahnya, ketiga suara partai ini belum menyentuh angka 20% sebagai ambang batas.

Alhasil, satu per satu partai meninggalkan Anies dan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan menjadi KIM Plus yang mengusung Ridwan Kamil. Anies, yang secara survei elektabilitas sebenarnya masih yang tertinggi, ditinggal begitu saja.

Di tengah drama partai politik ini, tiba-tiba ada calon independen yang berhasil mendapatkan ratusan ribu KTP: Dharma Pongrekun – Kun Wardana. Ternyata, banyak orang yang merasa KTP-nya dicatut begitu saja, padahal mereka merasa tidak pernah memberikan dukungan, termasuk anak dari Anies.

Kasus ini pun sempat ramai karena pihak kepolisian menghentikan penyelidikan dengan alasan itu adalah wewenagn Bawaslu. Padahal, pencurian data tersebut bisa dimasukkan ke dalam tindak pidana umum. Lebih parahnya lagi, KPU tetap menetapkan calon independen ini.

Pada tanggal 19 Agustus 2024, dengan sisa hanya dua bulan lagi, Jokowi melakukan reshuffle kabinet, termasuk Menter Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang berasal dari PDIP dengan Supratman Andi Agtas.

Keputusan dadakan ini banyak dianggap, selain membersihkan kabinet dari orang PDIP, juga menempatkan orangnya Jokowi di posisi penting tersebut. Ada yang menyebutkan kalau Jokowi sedang menyiapkan “sesuatu” hingga perlu melakukan reshuffle.

Keesokan harinya, pada tanggal 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan dari Partai Gelora dan Partai Buruh yang telah diajukan sejak tanggal 20 Mei 2024 untuk mengubah peraturan Pilkada. Keputusan tersebut adalah:

  1. Penurunan ambang batas atas dari 20% di DPRD atau 25% suara sah menjadi 7,5% suara sah
  2. Batas usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon, bukan saat pelantikan

Putusan pertama dianggap menguntungkan PDIP, yang saat ini solo player dan hanya memiliki 14% suara. Dengan peraturan ini, maka mereka memiliki tiket untuk maju ke Pilkada. Sedangkan putusan yang kedua akan menjegal Kaesang untuk maju ke Pilkada.

Namun, keesokan harinya pada 21 Agustus 2024, DPR melakukan rapat dan membahas RUU Pilkada. Singkat cerita, semua keputusan MK berusaha dibatalkan oleh mereka! Yang lebih bikin geram lagi, RUU untuk merespons putusan tersebut dibuat dengan sangat kilat.

Seperti yang kita tahu, selama ini DPR kerap bergerak lambat kalau menyangkut masalah rakyat, seperti RUU Masyarakat Adat dan RUU Perampasan Aset. Akan tetapi, kalau kebijakannya berkaitan dengan kepentingan kelompok tertentu, buset, cepatnya mengalahkan The Flash sekalipun.

Keputusan ini akan dibahas di rapat paripurna DPR yang kemungkinan diadakan pada hari Kamis, 22 Agustus 2024. Mengingat hampir semua partai berada di satu kubu, kemungkinan RUU tersebut akan disahkan dan akan membuat putusan MK tidak berlaku.

Menurut Hasan Nasbi selaku Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, pemerintah bakal mengikuti revisi UU Pilkada yang baru dibahas di DPR. Artinya, seandainya DPR tetap mengesahkan RUU ini, maka putusan MK seolah tidak dianggap.

Masyarakat yang sudah geram dengan kebobrokan ini pun memutuskan untuk turun ke jalan dan menggelar aksi demo. Semoga saja tidak terjadi kerusuhan, apalagi sampai menimbukan korban jiwa.

Apakah Memang Sedarurat Itu?

Menurut Penulis, drama yang tersaji jelang Pilkada Jakarta ini lebih parah dibandingkan waktu Pilpres kemarin. Banyak kejadian “kebetulan” yang terjadi, seolah menyudutkan salah satu bakal calon agar tidak sampai maju ke pemilu.

Awalnya, terlihat ada upaya kalau calon dari KIM Plus harus dihadapkan dengan calon independen. Jika melawan Anies yang elektabilitasnya masih tinggi, mereka akan sulit menang Kalau melawan kotak kosong, bisa jadi kemungkinan kotak kosong yang akan menang dan Pilkada harus diulang.

Lantas, apakah memang sedarurat itu? Menurut Penulis, iya, sedarurat itu. Mengapa demikian? Karena hukum dalam beberapa waktu terakhir seolah bisa terus diubah oleh penguasa, menyesuaikan kebutuhan dan kepentingan mereka.

Dulu menghujat MK, kok sekarang malah bela MK? Karena keputusan yang sekarang menguntungkan Anies, ya?

Karena kasusnya berbeda. Saat pencalonan Gibran kemarin, hakim MK sekaligus pamannya terbukti melakukan pelanggaran etik. Anehnya, keputusan pencalonan Gibran tetap sah hingga akhirnya terpilih.

Pada kasus MK yang sekarang, putusan mereka memang terlihat menguntungkan Anies dan PDIP. Namun, keputusan tersebut langsung dibegal oleh DPR dan upaya untuk membatalkannya sangat masif.

Pertanyaannya Penulis balik: mengapa dulu DPR diam saja melihat putusan MK yang kontroversial tersebut? Mengapa baru sekarang, dengan kecepatan cahaya, mereka bisa membatalkan keputusan MK?

Para Influencer Telah Bersuara

Kedaruratan ini, salah satu parameter kecil lainnya, juga bisa dilihat dari banyaknya tokoh atau influencer yang menunjukkan dukungannya terhadap gerakan ini. Jika di Pilpres kemarin banyak yang tidak menunjukkan keberpihakannya, maka kali ini banyak sekali tokoh maupun influencer yang bersuara.

Di Instagram pun begitu, mulai Najwa Shihab melalui Narasi-nya hingga para komikus favorit Penulis. Juki dan Mice Cartoon membuat ilustrasi Darurat, sedangkan komikus lain seperti Komikkamvret membuat pesan implisit melalui komiknya.

Di linimasa X (Twitter) lebih ramai lagi, di antaranya ada Andovi da Lopez, Panji Pragiwaksono, dan Ernest Prakasa. Bahkan, akun parfum HMNS, Habis Nonton Film, hingga F1 Speed Indonesia pun ikut bersuara. Banyak yang merangkum kronologi kejadiannya untuk memudahkan orang yang tidak terlalu mengikuti.

Menariknya (atau mirisnya), ada beberapa akun yang mengaku mendapatkan tawaran bombastis. Akun Neo Historia Indonesia mengaku kalau mereka diminta untuk mengadu domba pendukung Anies dan PDIP atas kasus penistaan agama yang pernah dilakukan oleh Ahok pada tahun 2017.

Penulis merasa, banyak pihak yang sudah kehabisan kesabaran dengan kelakuan elit politik kita yang bisa dengan seenak udelnya bisa memainkan hukum sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, tak heran pada akhirnya banyak public figure, yang sebelumnya terkesan diam, mulai bersuara.

***

Ini sudah bukan masalah siapa yang akan menang pemilu, tapi ini sudah menyangkut masalah keadilan. Seperti yang dikatakan oleh Andovi, yang masyarakat inginkan adalah proses pemilu yang fair dan adil. Hanya itu.

Deadline pendaftaran akan ditutup pada tanggal 27 Agustus 2024 atau sekitar tujuh hari kerja lagi. PDIP telah menyatakan mereka akan tetap mengusung Anies pada tanggal tersebut, terlepas dari hasil rapat paripurna DPR yang sangat instan.

Bagaimana akhirnya? Mari kita nantikan bersama, dan semoga apa yang telah terjadi di Bangladesh tidak terjadi di sini.


Lawang, 21 Agustus 2024, terinspirasi setelah ramainya Peringatan Darurat di media sosial

Continue Reading

Fanandi's Choice

Copyright © 2018 Whathefan