Sosial Budaya

Indonesia Tanpa Ujian Nasional (Bagian 1)

Published

on

Menteri pendidikan kita yang baru, Nadiem Makarim, membuat gebrakan yang cukup membuat gempar masyarakat. Bagaimana tidak, ia memutuskan untuk menghapus Ujian Nasional yang selama ini menjadi momok bagi siswa.

Sebagai gantinya, ia menerapkan Asesmen Kompetensi Minimum yang berfokus pada kemampuan nalar murid dalam bidang literasi dan numerik. Siswa yang duduk di kelas 4, 8, dan 11 yang akan menghadapi ujian jenis ini.

Apakah ini merupakan langkah yang tepat? Bagaimana sistem pendidikan kita jika dibandingkan dengan negara lain? Apakah Indonesia memang tidak membutuhkan Ujian Nasional?

Pendidikan di Negara Lain

Pendidikan di Finlandia (World Economic Forum)

Semenjak berkutat dengan Karang Taruna, pendidikan menjadi salah satu isu yang penulis perhatikan. Alasannya jelas, banyak anggota yang masih duduk di bangku sekolah sehingga penulis mengetahui gambaran kasar pendidikan sekarang.

Tidak hanya itu, penulis membaca beberapa buku yang membahas sedikit tentang pendidikan di negara lain. Buku yang sudah penulis baca adalah Strawberry Generation karya Rhenald Khasali dan Teach Like Finland karya Timothy Dale Walker.

Dari buku Strawberry Generation, penulis bisa mengintip bagaimana pendidikan di Selandia Baru. Penulis juga mengetahui sedikit bagaimana Finlandia bisa menjadi negara dengan edukasi nomor satu di dunia.

Setelah membaca kedua buku tersebut, penulis bisa menarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan di negara maju sangat berbeda dengan negara berkembang seperti kita.

Menariknya, mata pelajaran yang diajarkan di kedua negara tersebut jauh lebih sedikit dari negara kita. Hanya ada beberapa pelajaran wajib yang harus diambil oleh siswa. Sisanya disesuaikan dengan kebutuhan.

Dengan sedikitnya pelajaran yang diambil, otomatis jam belajar di sekolah pun tidak sepanjang di Indonesia. Artinya, mereka punya banyak waktu untuk mengembangkan diri mereka di luar jalur akademik.

Murid juga dibiasakan untuk berkolaborasi, bukannya saling berkompetisi. Kompetisi tetap ada, tapi pihak sekolah berupaya untuk mendorong agar para muridnya bisa bekerja sama dengan baik.

Selain itu, mereka tidak hanya mengedepankan nilai di atas kertas semata. Kepribadian dan karakter siswa telah dipupuk sejak di bangku dasar. Kalau tidak salah, hal ini juga berlaku di Jepang dan beberapa negara lainnya.

(Catatan Tambahan: Penulis gemar menonton anime yang berlatar belakang sekolah juga agar bisa mengintip bagaimana pendidikan di Jepang)

Sementara Itu di Indonesia…

Pendidikan di Indonesia (Lowy Institute)

Satu masalah utama yang penulis lihat dari sistem pendidikan kita adalah banyaknya mata pelajaran yang harus kita pahami. Entah itu nanti akan berguna atau tidak setelah lulus, tidak masalah.

Zaman penulis masih sekolah dulu, Ujian Nasional mengharuskan kita mengerjakan enam mata pelajaran yang berbeda. Kalau sekarang, murid SMA hanya mengerjakan empat mata pelajaran.

Jam belajar di sekolah pun terlihat sangat padat. Mulai pagi hingga menjelang sore, pulang sekolah masih kursus (apakah cuma di Indonesia yang ada kursus pelajaran?), pulang kursus masih harus mengerjakan tugas dan belajar untuk ulangan.

Kalau seperti itu, murid pun tidak akan punya waktu untuk melakukan aktivitas lain. Mau ikut kegiatan ekskul juga susah cari waktunya, quality time dengan keluarga dan teman juga sulit.

Penulis bisa menulis seperti ini karena melihat sendiri bagaimana adik bungsu penulis harus pulang malam-malam. Memang dia juga menjabat sebagai ketua OSIS sehingga pulangnya pun lebih sering telat.

Selain itu, pemerataan hak pendidikan juga belum terlalu merata. Hal ini bisa dimaklumi mengingat negara kita sangat besar dan terdiri dari negara kepulauan.

Finlandia dan Selandia Baru relatif lebih kecil dari Indonesia, sehingga secara logika lebih mudah bagi pemerintahan sana untuk memeratakan pendidikannya.

Pemerataan identik dengan kompetensi guru dan tersedianya fasilitas di sekolah. Pemerintah berusaha mengatasinya dengan menerapkan sistem zonasi yang cukup kontroversial. Akan tetapi, PR-nya masih jauh dari kata usai.

Masih banyak masalah lain, seperti rendahnya tingkat literasi, kesadaran yang rendah di masyarakat mengenai pentingnya pendidikan, dan lain sebagainya.

Bagaimana Jika Sistem Pendidikan Indonesia Seperti Negara Lain?

Penulis sering berandai-andai, bagaimana seandainya Indonesia menerapkan sistem pendidikan seperti negara-negara maju. Apakah hasilnya akan lebih bagus atau malah lebih buruk?

Lantas, apakah dengan mengganti Ujian Nasional menjadi Asesmen Kompetensi Minimum merupakan pilihan yang tepat untuk mengejar ketertinggalan kita dengan negara lain?

Karena tulisan yang satu ini sudah cukup panjang, penulis akan membahasnya di bagian kedua.

 

 

Kebayoran Lama, 24 Desember 2019, terinspirasi setelah Menteri Pendidikan memutuskan untuk mengganti Ujian Nasional

Foto: Media Indonesia

Fanandi's Choice

Exit mobile version