Sosial Budaya
Kerja Secukupnya atau Kasih Value Lebih?
Ketika sedang berselancar di YouTube Shorts, tiba-tiba Penulis menemukan sebuah video dari Raymond Chin yang sedang menjelaskan quiet quitting yang katanya tengah menjadi tren di kalangan Gen Z.
Singkatnya, istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan karyawan yang bekerja setengah-setengah karena sebenarnya ingin resign. Hanya saja, ada kondisi yang membuat hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Dengan kata lain, kerja setengah hati.
Mereka hanya melakukan kewajiban mereka dan datang-pulang kantor tepat waktu. Dari sisi karyawan, mungkin ini adalah hal yang baik karena mereka jadi punya work-life balance yang baik dan punya waktu untuk kehidupan pribadi mereka.
Hanya saja, Raymond berpendapat bahwa hal tersebut kurang bagus untuk personal growth kita. Bahkan Raymond memberikan saran agar lebih baik kita mencari tempat baru yang membuat kita bisa bekerja sepenuh hati, bukan setengah-setengah.
Nah, ketika mampir ke kolom komentar, hampir semuanya kontra dengan pendapat Raymond tersebut. Dari yang Penulis baca, dapat disimpulkan bahwa mereka berpendapat ya memang sudah seharusnya karyawan cukup untuk bekerja sesuai dengan jobdesk-nya saja.
Penulis pun jadi terpikirkan untuk menuliskan pendapat pribadinya mengenai fenomena ini. Apakah kita memang perlu bekerja secukupnya saja, atau memberikan value lebih telah menjadi kewajiban untuk bisa bersaing di dunia kerja yang makin keras?
Pengalaman Pribadi Penulis
Penulis akan mencoba beropini lewat pengalaman pribadinya terlebih dahulu. Hingga saat ini, secara formal Penulis telah bekerja di dua tempat. Dua-duanya, Penulis sering memberikan lebih dari jobdesk awalnya.
Di tempat pertama, ketika masih menjadi content writer, Penulis dengan sukarela mengajukan diri untuk menjadi admin Instagram perusahaan. Di tempat kedua, Penulis yang seorang editor seolah merangkap sebagai data analyst dan SEO specialist kecil-kecilan.
Kok mau diperbudak sama korporat? Padahal kan kalau kerjaan tambahannya tidak dilakukan, gajinya juga sama saja? Iya, memang kelihatannya seperti itu. Penulis seolah terlihat bodoh karena mau saja “dikerjai” oleh perusahaan.
Namun, Penulis melihatnya dari sisi lain. Bagi Penulis, hal tersebut adalah kesempatan untuk bisa mengembangkan diri sendiri dengan menambah skill-skill baru. Apalagi, Penulis juga jadi punya “wadah” untuk mempraktekkan ilmu-ilmu yang didapatkan.
Bagi Penulis pribadi, mendapatkan pekerjaan yang di luar jobdesk boleh saja dilakukan, asal kita mendapatkan value lebih dan dilakukan dalam batas wajar. Kalau kerjaan tambahannya hanya menambah lelah tanpa kita mendapatkan apapun, ya skip.
Oleh karena itu, Penulis pun tidak merasa keberatan jika memang ada jobdesk lain selama itu juga memberikan keuntungan bagi Penulis. Hanya saja, memang perlu diingat kalau kita perlu menarik batas yang tegas sampai sejauh apa kita bekerja di luar jobdesk.
Dengan begitu, baik Penulis maupun perusahaan sama-sama mendapatkan keuntungan. Win-win solution. Penulis dapat ilmu dan skill baru, perusahaan juga mendapatkan benefit dari apa yang Penulis kerjakan.
Quiet Quitting Berawal dari Kurangnya Apresiasi Kantor?
Dalam kolom komentar video Raymond Chin, banyak yang curhat kalau mereka sudah mengupayakan yang terbaik dan bekerja melampaui kewajibannya. Hanya saja, kantor seolah tutup mata dan kurang mengapresiasi kerja keras mereka tersebut.
Penulis, untungnya, merasa cukup diapresiasi kerjanya, sehingga tidak memiliki keluhan tersebut. Hanya saja, Penulis juga berempati kepada rekan-rekan pekerja yang tidak mendapatkan apresiasi yang pantas mereka dapatkan tersebut.
Perusahaan memang ada baiknya melakukan interopeksi diri, apakah mereka sudah memperlakukan karyawannya dengan baik atau tidak. Jika ada yang berprestasi dan mampu memajukan perusahaan, sudahkah ada reward yang diberikan?
Penulis mengetahui kalau ada perusahaan-perusahaan yang “nakal” ke karyawannya. Jangankan apresiasi, hak karyawan saja kadang ditahan-tahan. Karena orientasi perusahaan itu cuan, tak jarang mereka mengorbankan karyawan demi hal tersebut.
Sebaliknya, para karyawan pun juga perlu melakukan interopeksi diri. Apakah dalam jam kerja kita sudah bekerja dengan optimal? Apa jangan-jangan kita sering membuang waktu kerja kita dengan bermain media sosial, main game, ataupun nonton YouTube?
Jangan sampai fenomena quite quitting ini disalahartikan kalau kita bisa kerja seenak kita. Penulis sedikit khawatir ada beberapa oknum yang menggunakan fenomena ini sebagai alasan untuk bekerja ala kadarnya, lantas ngomel-ngomel karena merasa tidak diapresiasi.
Sebagai seorang karyawan, ada baiknya sesekali kita memosisikan diri sebagai bos. Seandainya kita menjadi bos dan memiliki karyawan seperti kita, apakah kita akan senang dan mempertahankannya? Jika jawabannya tidak, mungkin kita yang perlu memperbaiki diri.
Pulang Tepat Waktu = Tidak Outstanding?
Ada satu hal yang tidak Penulis suka dari kalimat Raymond, yakni ketika ia mempermasalahkan karyawan yang datang dan pulang kantor tepat waktu. Loh, adanya peraturan jam datang-pulang kantor kan untuk ditaati, masa dilanggar?
Menurut Penulis, selama kerjaan dan tanggung jawabnya selesai, karyawan memang harus pulang tepat waktu. Kalau kita bisa melakukan time management dengan baik di jam kerja, maka pulang tepat waktu adalah sesuatu yang harus diwajarkan.
Kerjaan sudah beres dengan baik, tapi masih dituntut untuk lembur mengerjakan sesuatu yang tidak menambah value kita. Kalau seperti itu mungkin perusahaannya memang toxic dan ingin mengeksploitasi karyawannya demi menghemat cuan.
Jika kita memosisikan diri sebagai bos, tentu senang melihat ada karyawan yang mampu bekerja secara efisien, cerdas, dan tepat waktu. Yang lembur-lembur, bisa jadi malah karena terlalu leha-leha di jam kerjanya.
Jadi, menurut Penulis pulang tepat waktu tidak sama dengan tidak outstanding. Kita bisa kok jadi karyawan yang outstanding tanpa harus lembur setiap hari. Caranya, tentu dengan memaksimalkan jam kerja dan mencari cara bekerja yang paling efektif dan efisien.
Selain itu, bekerja sesuai dengan jam kerja juga tidak sama dengan bekerja setengah hati. Kita pun memiliki kehidupan pribadi yang harus dijalani. Kalau kita kenapa-napa (seperti sakit), belum tentu perusahaan mau bertanggung jawab.
Toh, kalau alasannya lembur untuk personal growth, ada banyak cara di luar kantor untuk melakukannya. Misalnya, seperti yang sedang Penulis lakukan sekarang, adalah dengan mengikuti berbagai kelas online yang bisa menambah skill.
Penutup
Salah satu pemicu dari fenomena quiet quitting ini adalah adanya kondisi yang tidak memungkinkan untuk resign. Contohnya adalah karena sudah memiliki tanggungan keluarga atau sedang ada cicilan yang harus dilunasi.
Kalau memaksa resign seperti saran Raymond, belum tentu kita bisa mendapatkan gantinya dengan cepat. Kecuali, kita mengajukan resign setelah mendapatkan kepastian di tempat lain, tentu lebih baik kita pindah ke tempat yang kita rasa akan lebih baik untuk kita.
Lantas, mana yang benar? Kerja secukupnya atau kasih value lebih. Jawabannya Penulis kembalikan ke Pembaca, karena bagi Penulis tidak ada pilihan yang salah. Semua orang memiliki alasan masing-masing untuk memiliki mau bekerja seperti apa.
Kalau Penulis pribadi, Penulis akan memberi value lebih ke perusahaan dengan syarat itu juga akan menambah value untuk diri Penulis sendiri. Kalau tidak, ya untuk apa dikerjakan. Dapat ilmu/apresiasi enggak, capek dan sakit yang iya.
Lawang, 19 Oktober 2022, terinspirasi setelah menonton YouTube Shorts dari Raymond Chin
Foto: Forbes
You must be logged in to post a comment Login