Distopia Bagi Kia
Bagian 19 Permasalahan Pelik Karang Taruna
Hujan mengguyur deras beberapa menit setelah para anggota Karang Taruna hadir di rapat dadakan yang diadakan oleh Yoga. Tidak ada yang berani bersuara sedikit pun. Mereka sedikit-sedikit melirik ke arah Yoga yang masih terlihat sangat emosi. Yang dilirik menatap meja dengan pandangan kosong dan tangan mengenggam bulpen kuat-kuat seolah-olah ingin mematahkannya. Kia, yang duduk di sebelah Yoga karena tidak ada anggota lain yang berani duduk di sebelahnya, hanya bisa memain-mainkan jarinya karena gugup.
“Aku selalu berusaha memberikan kepercayaan ke kalian.” Yoga pada akhirnya angkat bicara.
“Aku percaya, tanpa aku pun kalian bisa melaksanakan semua program kerja yang telah kita susun bersama, yang telah kita sepakati untuk dilaksanakan bersama-sama. Tapi hari ini, aku menemukan sebuah fakta yang benar-benar membuat kecewa.”
Yoga mengambil jeda sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. Ia nampak berusaha keras untuk menahan intonasi suaranya tidak meninggi.
“Ternyata, selama ini aku dibohongi. Meskipun kalian menyangkal mati-matian, aku tahu kenyataan yang sebenarnya hanya dari ekspresi kalian. Aku tahu kalian hanya datang ketika aku ada, entah kalian tahu dari mana. Mungkin kalian memperhatikan kapan aku biasanya mampir, sehingga bisa menebak kapan aku akan datang.”
Sekali lagi Yoga menghela nafas panjang. Ia nampak benar-benar kesusahan mengontrol emosinya.
“Sekarang aku mau tahu alasan kalian satu per satu, kenapa tadi sore kalian tidak ikut di kegiatan Ruang Belajar. Mulai dari kamu La.”
Maka dimulai dari Lala, semua anggota memberi alasannya masing-masing. Ada yang beralasan mengerjakan tugas, kerja kelompok, membantu orang tua, hingga ketiduran. Yang tertangkap basah pun tidak bisa memberikan alasan lain karena sudah ketahuan. Hanya beberapa yang menjawab secara meyakinkan, sisanya sangat kentara membualnya. Yoga memperhatikan jawaban mereka dengan seksama, hingga pada akhirnya semua selesai menjawab.
“Sekarang kamu Kia, kenapa kamu enggak melaporkan hal ini waktu rapat bulanan kemarin?”
“Maaf kak, aku cuma enggak mau kak Yoga marahin teman-teman.”
“Dan ternyata hasilnya aku tetep marahin mereka sekarang. Kamu paham enggak sih dengan yang namanya kepercayaan? Aku selama ini percaya kalau kamu jujur sama aku, tapi kenyataannya? Aku kecewa sama kamu Kia, bener-bener kecewa.”
Kia hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menahan tangisnya agar tidak keluar. Setidaknya, ia tidak ingin menangis di sini. Ia tidak ingin menunjukkan ekspresi sedihnya di depan orang lain. Karang Taruna yang dulu terasa dekat, kini perlahan semakin menjauh darinya.
“Untuk sementara, aku akan menonaktifkan kegiatan ini. Percuma ada kegiatan ini kalau kaliannya malas-malasan.”
Mendengar ini, akhirnya air mata Kia tumpah juga. Isak tangisnya terdengar oleh anggota yang lain meskipun Kia sudah berusaha keras untuk menahan suaranya. Beberapa anggota mulai tergerak hatinya untuk mendukung Kia, terutama yang belum terpengaruh oleh Rei dan Kaka.
“Mas Yoga, aku minta maaf karena selama ini jarang bantu karena sibuk di sekolah. Tapi maaf mas, aku enggak setuju kalau kegiatan yang positif ini dihentikan. Kasihan mbak Kia, dia udah berjuang mati-matian selama ini.” kata Adam memberanikan diri untuk beradu argumen dengan ketuanya.
“Iya benar, Kia memang sudah berjuang mati-matian. Kaliannya yang enggak tahu diri dan enggak menghargai usaha Kia.”
“Kasih kami kesempatan mas buat berubah. Aku yakin setelah ini anak-anak juga bakal lebih aktif ikut kegiatan ini.” sangkal Adam tak mau kalah.
“Siapa yang berani menjamin kalian bisa berubah?”
Tidak ada satupun yang menjawab pertanyaan Yoga, termasuk Adam yang berusaha membela Kia. Suasana malam itu benar-benar mencekam untuk semuanya. Baru kali ini Karang Taruna tersebut mengalami permasalahan seperti ini.
“Enggak ada, kan?”
“Maaf mas, aku mau protes.” kata Kaka sambil mengangkat tangannya.
“Protes apa?” jawab Yoga.
“Kenapa seolah-olah kami ini enggak pernah aktif di Karang Taruna? Selama ini kita selalu berpartisipasi di setiap acara Karang Taruna, cuma di kegiatan ini aja kita sedikit keberatan dengan berbagai alasan. Baru kali ini kita diperlakukan seperti ini, sebelum ada Kia enggak pernah kejadian seperti ini.”
Kata-kata tersebut menusuk perasaan Kia sedemikian dalam. Ia menjadi sadar, bahwa dirinya adalah penyebab kekacauan ini. Ternyata niat baiknya memang tidak diterima di sini. Hal tersebut sudah lama ia rasakan, namun Kia memutuskan untuk mengabaikannya karena ingin berfokus menyalurkan ilmu yang dimilikinya. Ia tak memikirkan perasaan orang lain yang sebenarnya enggan belajar.
“Tolong dijaga ucapanmu.”
“Aku juga minta mas jaga ucapannya. Tahu enggak sih kalau ucapan dari mas nyakitin perasaan kita semua yang udah lama aktif di Karang Taruna? Kenapa kita dikumpulin seperti ini seolah-olah kita penjahat? Oke aku mungkin salah karena tadi sore main, tapi yang lain kan punya alasannya masing-masing.”
Setelah Kaka menuntaskan kalimatnya, Balai RW seketika hening. Yoga nampak kesulitan membalas perkataannya, sehingga ia hanya menatap Kaka sambil mengetuk-ngetukan jarinya di meja. Memanfaatkan situasi, Rei juga mengeluarkan unek-uneknya.
“Aku juga mau protes mas. Semenjak ada Kia, mas seperti menganakemaskan dia. Mas enggak pernah marah ke dia, selalu minta kita bantu dia. Mas enggak mikirin perasaan kita yang udah lama aktif di Karang Taruna.”
“Cukup.” ucap Yoga sambil menutup wajahnya. Ia tak menyangka bahwa masalahnya akan semakin pelik seperti ini. Ia baru sadar bahwa beberapa anggota yang lain tidak begitu menyukai kehadiran Kia. Padahal menurut ingatannya, di awal Kia datang ke kampungnya, mereka cukup membuka tangan dengan kehadiran Kia. Mungkin, mereka merasa iri karena dirinya terlihat mengistimewakan Kia, padahal ia adalah anak baru. Ujung-ujungnya, ini adalah kesalahan dirinya.
“Aku minta maaf kalau selama ini aku terlihat seperti itu. Aku berani bersumpah sama sekali tidak ada maksud seperti yang disampaikan oleh Rei. Aku juga minta maaf karena sudah terlihat gegabah hanya karena satu hal yang aku lihat sore ini. Tapi inti dari yang ingin aku sampaikan, aku ingin kegiatan Ruang Belajar yang sudah kita rintis ini bisa bertahan dan bermanfaat untuk kalian, untuk semua warga di sini.
“Yang benar-benar membuat aku marah adalah kebohongan yang sudah kalian sampaikan kepadaku. Waktu rapat kemarin, Kia menjawab selama ini lancar-lancar saja, padahal kenyatannya kalian semakin lama semakin jarang datang. Ketika Kia menyampaikan itu, tidak ada yang menyalahkan keterangan Kia. Itu benar-benar membuat aku kecewa.”
“Maaf mas memotong, mas tahu dari mana info kami semakin jarang datang?” sanggah Rei.
“Kalian enggak perlu tahu dari mana aku mendapatkan info. Yang jelas, pada awalnya aku enggak percaya sama laporan itu karena percaya sama kalian. Ternyata, hari ini terbukti bahwa laporan tersebut benar adanya.”
Yoga tidak sadar, bahwa ucapannya justru membuat kebencian terhadap Kia semakin menjadi-jadi. Siapa yang akan memberikan laporan semacam itu selain Kia? Sayangnya, Yoga tidak menyadari hal ini karena ketidakpekaan yang dimilikinya. Rei dan kawan-kawannya sudah malas menanggapi Yoga sehingga mereka memutuskan untuk diam.
“Maaf kak, aku boleh bicara?” tanya Kia setelah berhasil menguasai diri untuk berhenti menangis.
“Silakan Kia.”
“Aku enggak mau Karang Taruna jadi pecah hanya gara-gara aku. Kalian semua sudah baik ke aku. Kalau hanya karena ada aku kalian jadi berantem, mending aku yang pergi.”
“Maksudmu apa Kia?” tanya Yoga dengan sedikit terkejut.
“Aku mengundurkan diri dari kegiatan Ruang Belajar. Aku merasa bahwa aku lah sumber permasalahannya.”
“Tapi Kia, kegiatanmu . . .”
“Maaf kak Yoga, keputusanku udah bulat. Terima kasih buat dukungan dan bantuannya selama ini. Mumpung hujan sudah sedikit reda, aku mohon izin terlebih dahulu.”
Tanpa menunggu persetujuan, Kia bangkit dari kursi dan melangkah ke luar balai. Panggilan dari Yoga tak ia hiraukan sama sekali. Di bawah rintik-rintik hujan, Kia berjalan dengan perasaan terluka. Ia tak pernah menyangka bahwa niat baiknya selama ini bisa mengakibatkan keributan antar anggota. Kejadian ini membuatnya sedikit merindukan dunianya, di mana ia sangat jarang berinteraksi dengan orang lain dan mengurung diri di kamar.
“Memang lebih baik aku selalu di rumah seperti biasanya.” kata Kia dalam hatinya.
Sementara itu di Balai RW, tidak ada yang berani bersuara setelah Kia pergi. Yoga dibuat pusing setengah mati oleh kejadian-kejadian ini. Merasa tidak bisa melakukan apa-apa, pada akhirnya Yoga membubarkan rapat dadakan malam itu. Satu per satu meninggalkan balai hingga akhirnya ia sendirian.
“Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan.”
Ia menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya. Semenjak berdirinya Karang Taruna beberapa tahun yang lalu, baru kali ini terjadi masalah seperti ini. Ia merasa telah salah mengambil keputusan. Seharusnya, ia bisa mengatasi masalah ini dengan cara yang lebih bijak, bukan grusa-grusu seperti tadi. Kini, tinggal penyesalan yang tersisa di dalam dirinya. Ia menjadi ragu, Karang Taruna yang ia pimpin bisa kembali seperti sedia kala.
“Mas, enggak pulang?”
Yoga terkejut mendengar suara seorang wanita memanggil dirinya. Entah sudah berapa kali hari ini ia terkejut. Ternyata sekretarisnya, Lala, yang memanggilnya dari pintu.
“Enggak, kamu duluan aja. Aku butuh waktu sendiri.”
“Udah malam loh mas. Lagipula, mas pasti capek karena udah marah-marah terus.”
“Iya, makasi La. Eh, aku boleh minta tolong?”
“Apa mas?”
“Pertama, aku minta tolong kamu untuk pegang Karang Taruna untuk sementara. Beberapa hari ke depan, aku enggak akan muncul di hadapan kalian untuk menetralisir suasana. Toh kamu selain sebagai sekretaris juga merangkap jabatan sebagai wakil.”
“Baik mas.”
“Lalu yang kedua, kalau memungkinkan, ajak bicara Kia ya. Aku tidak ingin masalah ini berlarut-larut. Ajak bicara juga Rei dan Kaka ataupun yang lainnya. Buat mereka bertemu dan saling memaafkan.”
“Mendamaikan mereka?”
“Iya, lagipula kamu dibandingkan dengan yang lain termasuk dekat dengan Kia, kan? Kamu kan sering bantu Kia mengajar, jadi aku yakin dia mau mendengarmu.”
Lala merasa tugas kedua terlalu berat untuk dirinya. Namun karena melihat kondisi Yoga yang sedang luluh lantak, Lala tak kuasa untuk menolak permintaan tersebut. Maka, ia pun mengiyakan permintaan Yoga sembari berpikir bagaimana cara melaksanakan perintah tersebut.
***
“Pesanan saya sudah siap ya?” tanya bu Dewo kepada seseorang di telepon.
“Sudah bu, walaupun carinya lumayan susah. Tapi untuk apa ya ibu butuh barang seperti ini?”
“Untuk penelitian kok. Segera kirimkan ya, saya butuh cepat soalnya.”
“Baik bu, enggak masalah. Apalagi, bu Dewo sudah bayar mahal ke kita, enggak mungkin kita mengecewakan ibu.”
“Bagus, senang berbisnis dengan Anda.”
Bu Dewo menutup telepon dan tersenyum puas. Tidak lama lagi rencananya yang kedua akan ia laksanakan, rencana untuk mengusir Kia selamanya dari kampung ini. Memang berisiko, tapi ia anggap sepadan dengan hasil yang akan ia dapatkan. Bahkan kalau perlu, ia akan mengusir keluarga Kusno juga yang selama ini dibencinya. Sayangnya, pak Kusno termasuk warga yang sudah lama tinggal di sini sehingga tidak mudah untuk membuatnya pergi. Ia sadar tidak bisa melakukan semuanya sekaligus, hingga akhirnya memutuskan untuk melaksanakan rencananya secara bertahap.
“Kasihan kamu anak manis, sebentar lagi kamu akan jadi wanita hina yang tak punya apa-apa. Rasakan akibatnya jika berani main-main denganku.” ucap bu Dewo di depan meja riasnya.