Politik & Negara

Pemerintah Selalu Benar, yang Salah Selalu Rakyat

Published

on

Raja Ampat di Papua tengah menjadi sorotan. Pasalnya, ada isu yang menyebut kalau aktivitas pertambangan nikel di sana berpotensi merusak ekosistem alam yang ada di sana, baik di darat maupun laut. Tagar #saverajaampat pun viral di media sosial.

Nah, salah satu kebiasaan di negara kita tercinta adalah sebuah isu akan diseriusi atau ditindaklanjuti ketika sudah menjadi viral. Bahkan, sampai muncul istilah no viral no justice. Itu juga terjadi di kasus Raja Ampat ini.

Setelah ramai, pihak pemerintah bergerak cepat untuk melakukan klarifikasi atau meluruskan isu ini. Melansir dari berbagai sumber, aktivitas pertambangan di seputar Raja Ampat telah dibekukan untuk sementara waktu.

Namun, Penulis ingin membahas hal lain pada tulisan kali ini. Bukan fokus ke masalah Raja Ampat-nya, melainkan melihat bagaimana pemerintah memberikan respons saat ada kritik yang ditujukan kepada mereka.

Ucapan Bahlil yang Bikin Garuk-Garuk Kepala

Orang “terdepan” yang sering muncul terkait kasus ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Bahkan, beliau sampai langsung menuju Raja Ampat untuk meninjau langsung lokasi pertambangan.

Ada beberapa pernyataan beliau yang sudah muncul di publik, yang rasanya perlu kita soroti, tapi ini yang paling bikin garuk-garuk kepala:

“Ada pihak-pihak asing yang tidak senang atau kurang berkenan dengan proyek hilirisasi ini,” ungkap Bahlil sebagaimana dilansir dari Antara.

Menurut Penulis, secara tidak langsung Bahlil seolah menuduh masyarakat yang mendengungkan tagar #saverajaampat merupakan antek asing yang tidak suka Indonesia menjadi negara hebat dengan proyek-proyek hilirisasi yang dicanangkan.

Paling halus, Bahlil seolah menuduh kalau kita yang menentang aktivitas pertambangan di Raja Ampat mudah digiring oleh kekuatan-kekuatan asing untuk menghambat kemajuan bangsa melalui hilirisasi.

Kasarnya, kita itu tidak tahu apa-apa, mau saja termakan propaganda asing tanpa bukti yang benar. Apalagi, Bahlil telah turun ke sana dan mendapatkan sambutan dan dukungan yang (katanya) masyarakat sana (walau ia juga sempat disoraki ‘penipu’ di bandara).

Pemerintah Tidak Pernah Salah, yang Salah Rakyat

Pernyataan Bahlil tersebut membuat Penulis merasa dejavu karena rasanya pola seperti ini bukan pertama kali terjadi di era pemerintahan Prabowo Subianto. Setiap ada yang “oposisi” terhadap pemerintah dan kebijakannya, tuduhan-tuduhan tak berdasar langsung disematkan.

Tidak percaya? Coba baca pernyataan Presiden Prabowo berikut ini:

“Coba perhatikan secara obyektif dan jujur. Apakah demo-demo itu murni atau ada yang bayar? Harus obyektif, dong.”

Pernyataan tersebut muncul saat ramai-rama demo yang menentang pengesahan RUU TNI, yang dikhawatirkan akan membangkitkan dwifungsi ABRI yang telah dimatikan sejak masa reformasi. Ia seolah menuduh bahwa semua orang yang demo itu ditunggangi oleh pihak lain.

Itu masih dalam topik antek asing. Masih banyak sekali pernyataan dari pemerintah yang terkesan menyudutkan masyarakat. Masih ingat bagaimana respons pejabat publik saat tagar #indonesia gelap dan #kaburajadulu muncul di internet? Benar-benar bikin kita menarik napas panjang.

Contoh lain, saat program Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan kritik dari seorang profesor, bagaimana respons Presiden Prabowo?

“Sampai sekarang ada profesor-profesor yang pintar-pintar kok nggak setuju. Heran saya. Profesor pintar atau bodoh? Saya nggak tahu itu.”

Ancaman Nyata untuk Demokrasi

Dalam iklim demokrasi, tentu hal-hal semacam ini berbahaya karena bisa mematikan kebebasan berbicara masyarakat. Setiap yang berbeda dan tidak sejalan oleh pemerintah langsung dimatikan. Tidak ada ruang untuk oposisi.

Apalagi, saat ini Presiden Prabowo praktis bisa dibilang tidak memiliki oposisi resmi di kursi, mengingat hampir semuanya mendukung beliau. Jika rakyat pun dilarang menjadi oposisi, lantas siapa yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah?

Penulis jadi berpikir, apakah memang pemerintah saat ini selalu merasa dirinya benar, sehingga rakyat yang selalu disalahkan? Pemerintah kita menolak disebut otoriter, tapi mengapa lagaknya seperti berusaha membungkam setiap suara yang berbeda?

Idealnya, ketika ada kritik atau ketidaksetujuan dari masyarakat, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harusnya bisa menanggapinya dengan bijak. Beri respons yang menghadirkan solusi, atau minimal bisa menenangkan publik.

Entah mengapa Penulis merasa komunikasi publik pemerintah sekarang ini terasa sangat kurang, bahkan kadang terasa terlalu angkuh. Apa karena mereka merasa punya posisi yang sangat kuat, sehingga bisa begitu percaya diri dengan pernyataan-pernyataan kontroversial? Entahlah.


Lawang, 9 Juni 2025, terinspirasi dari ramainya isu pertambangan Nikel di wilayah Raja Ampat

Sumber Artikel:

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version