Leon dan Kenji (Buku 2)
Chapter 80 Awan Bercerita
Akhir pekan setelah kunjungan Malik ke rumahku, aku mendapatkan panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal. Ketika kuangkat, ternyata mama Malik yang menelepon. Ia mengatakan kalau suaminya telah siap untuk bercerita semuanya kepada kami hari ini. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan segera meluncur ke rumah Kenji setelah meninggalkan beberapa pesan untuk Gisel. Tidak sampai satu jam, aku dan Kenji telah berada di depan rumah Malik. Sama seperti sebelumnya, mama Malik yang menyambut kami berdua dengan ramah. Saat kami memasuki ruang tamu, Kenji bertanya apakah Malik ada di rumah.
“Sebenarnya setelah Malik mengetahui fakta tentang adiknya, ia memutuskan untuk keluar dari rumah. Bukan kabur, ia hanya ingin tinggal sendirian untuk sementara waktu. Untuk sementara ia numpang di kontrakan temannya, mungkin ke depannya ia akan cari kos sendiri. Kalian tunggu sini ya, tante buatkan minum dulu.”
Kami berdua pun menunggu di ruang tamu dalam diam. Aku berusaha menenangkan diri agar tidak kembali emosi seperti kemarin. Di dalam perjalanan tadi, Kenji mengingatkan aku untuk meminta maaf atas perlakuan kurang sopanku ke Awan minggu kemarin. Ia benar, mau bagaimanapun aku telah bersikap kurang ajar karena melakukan serangan fisik kepada orang yang seumuran dengan orangtuaku. Aku pantas dicap sebagai anak durhaka atas perbuatan tersebut.
Tak lama berselang, Awan muncul di hadapan kami. Wajahnya terlihat lebih tenang, sangat berbeda ketika Kenji menyebutkan asal-usul kami pada pertemuan pertama. Senyum canggung muncul di wajahnya ketika ia bertatapan mata denganku, mungkin teringat bagaimana aku mendorongnya ke tembok dengan begitu kasarnya. Kuakui kalau tindakanku pada hari itu sangat tidak dibenarkan.
“Sebenarnya om sudah tahu siapa kalian sebelum kalian memperkenalkan diri. Tante pun sudah tahu karena ia sering melihat Leon. Hanya saja, om berusaha pura-pura tidak tahu karena ingin kabur dari kenyataan. Om tidak menyangka, kalau kalian sudah mengetahui banyak fakta seputar orangtua kalian. Dari mana kalian tahu?”
“Dari ayahnya Leon, om. Beliau datang ke rumah dan menjelaskan semuanya,” jawab Kenji setelah melihatku masih berusaha menahan agar tidak kembali emosi.
“Oh, akhirnya pulang ya dia.”
“Iya om, nampaknya om sudah tahu apa yang terjadi, kan?”
“Tentu saja, Dewi sering ke rumah jika suaminya mulai berulah lagi. Untunglah nampaknya ia sudah berubah.”
“Belum,” jawabku singkat yang membuat suasana menjadi sedikit tegang.
“Begitu ya, kamu pasti sudah menjalani hidup yang berat Leon.”
“Aku tak butuh dikasihani, aku hanya butuh penjelasan sedetail mungkin tentang kelompokmu dan orang bernama Wijaya Hardikusumo ini.”
Kenji menatapku dengan pandangan yang mengisyarakat kalau aku perlu menjaga sikapku. Aku berusaha mengabaikan perintah tersebut. Awan kembali terdiam dengan mata yang memandang kosong ke arah lantai.
“Malik beberapa hari yang lalu datang ke rumah, ia bercerita tentang kematian adiknya. Kami mengucapkan bela sungkawa yang sebesar-besarnya,” kata Kenji berusaha membuka percakapan kembali.
“Ah iya, jadi dia datang ke kalian ya. Anak itu, anak yang cerdas. Selama ini om berhasil menutupi kenyataan pahit tersebut. Tidak ada kebohongan yang sempurna, suatu saat pasti akan terbongkar bagaimanapun caranya.”
“Lantas, mengapa kau masih berusaha untuk kabur dan menutupi kenyataan hingga mengusir kami?” tanyaku kembali dengan ketus.
“Karena kejadian-kejadian itu terlalu pahit, om tidak punya cukup keberanian untuk menghadapinya lagi. Sudah terlalu banyak tahun-tahun yang om lalui dengan ketakutan. Akan tetapi, om akhirnya memutuskan untuk memberitahu kalian berdua.”
“Baguslah, sekarang silakan bercerita,” desakku dengan tidak sabaran karena merasa Awan sudah mengulur-ngulur waktu.
“Sebelumnya om mau tanya, di mana kalian menemukan pesan Dewi?”
“Melalui novel-novel Agatha Christie milik ibunya Leon, ada beberapa novel yang diberi nomor. Setelah diurutkan, huruf depan masing-masing novel membentuk sebuah pesan,” jawab Kenji sambil memegang tanganku sebagai kode kalau aku sebaiknya diam dan bersabar.
“Ah begitu ya, dasar si maniak Poirot itu. Meninggalkan petunjuk yang sulit ditemukan.”
Setelah menarik napas panjang, Awan memulai ceritanya. Aku memutuskan untuk diam dan menyerahkan ke Kenji untuk melontarkan pertanyaan.
“Kalian sudah tahu kalau kematian anak om, Udin, bukan karena kecelakaan biasa. Ia ditabrak lari oleh orang-orang suruhan Wijaya. Orang itu, meskipun sekarang tinggal di luar negeri, masih saja mengintai nama-nama yang dari dulu melawannya. Betapa besar ketakutannya kalau dosa-dosanya terbongkar.”
“Sebelumnya, om pernah dapat ancaman?” tanya Kenji.
“Sering, ada yang melalui telepon, surat, bahkan sampai datang ke rumah. Intinya, mereka meminta om untuk bungkam atas kejadian-kejadian yang melibatkan Wijaya.”
“Tapi bukankah setelah reformasi, banyak perusahaan Wijaya yang bangkrut?”
“Tidak. Memang usahanya banyak yang tutup, namun tidak cukup untuk membuatnya bangkrut. Setelah reformasi, ia lebih sering bergerak di belakang layar tanpa menunjukkan identitas dirinya. Ia memasangn orang lain untuk memimpin perusahaan-perusahaannya. Namanya sangat jarang disebutkan. Tidak cuma itu, ia juga menyisipkan beberapa orang di pemerintahan untuk memuluskan bisnisnya.”
“Bisnis apa saja yang ia miliki?”
“Sebutkan semua sektor, kemungkinan besar ia memilikinya. Yang terbesar adalah properti. Sebagian besar perumahan dan apartemen di Malang adalah miliknya. Wahana bermain juga banyak yang menjadi miliknya. Kebanyakan bisnis tersebut dirintis sebelum reformasi, dan pada saat itulah banyak teman-teman om yang hilang, antara periode 1990 hingga 1998.”
“Berarti setelah tahun 1998, tidak ada lagi aktivis yang hilang atau diburu?”
“Hampir tidak ada. Pertama, mereka sudah tidak memiliki backing aparat yang selama ini melindungi mereka. Kejatuhan rezim membuat kuasa mereka seolah tidak berbekas. Aparat yang selama ini kongkalikong dengan Wijaya menarik diri agar tidak dicurigai. Kedua, jumlah aktivis yang ada tinggal sedikit. Kebanyakan yang masih hidup memutuskan untuk benar-benar berhenti dan menjalani hidup normal. Ketiga, media dan lembaga HAM yang selama ini tertidur telah bangkit. Jika ada sebuah peristiwa ganjil, keberadaan mereka bisa terancam.”
“Lantas, kenapa om kembali diincar setelah belasan tahun?”
“Karena kami mulai menyusun rencana untuk kembali menuntut segala bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Wijaya dan kroninya. Sengaja kami menanti waktu yang cukup panjang agar bisa merasa aman, begitu pikir kami. Sekitar tahun 2004 kami memulainya, tak lama setelah pemilihan presiden secara langsung yang pertama. Ternyata, rencana tersebut tercium oleh mereka sehingga semuanya menjadi kacau.”
“Maksudnya, om dan teman-teman punya bukti yang bisa dibawa ke ranah hukum begitu?”
“Iya, kurang lebih seperti itu. Om diminta untuk menyerahkan bukti-bukti yang dimiliki agar bisa dimusnahkan. Awalnya om tidak mengaku kalau punya bukti yang diminta, lantas mereka pun memberi peringatan pertama dengan membunuh anak om yang tidak bersalah pada tahun 2007.”
Awan menarik napas panjang lagi, memberi jeda untuk kalimat selanjutnya. Ia menatap mataku lurus, memancarkan perasaan simpati yang dalam.
“Kematian Dewi merupakan peringatan kedua.”
Darahku langsung mendidih mendengarkan kalimat tersebut. Aku segera berdiri dari posisi dudukku dan berjalan keluar. Di teras, aku berusaha untuk menenangkan diri sekuat mungkin. Bagaimanapun, kenyataan ini adalah sebuah tamparan keras untukku. Ibuku, wanita yang kusayangi, ternyata dibunuh oleh sekelompok penjahat. Ternyata dugaan Rika tepat, pesan ibu di alam mimpi pun terbukti.
Kenji menyusul kemudian dan menanyakan apakah aku masih mau meneruskan tanya jawab ini atau menundanya. Aku mengeraskan rahangku dan memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Saat aku masuk, terlihat mama Malik telah duduk di sebelah suaminya. Ia melihat kami berdua dengan tatapan penuh kasih sayang seolah kami adalah anaknya sendiri.
“Tante ikut minta maaf ya karena selama ini menutupi kenyataan ini ke kalian. Awalnya kami menanti waktu yang tepat untuk memberitahu kalian, namun niat itu selalu tertunda karena kami tidak tahu harus memulai dari mana,” kata istri Awan kepada kamu. Aku hanya menganggukkan kepala secara singkat.
“Maaf, silakan dilanjutkan,” kataku singkat kepada Awan. Entah mengapa tatapan istrinya bisa mengurangi kadar emosiku.
“Kalian pasti sudah menyadarinya, kasus tabrak lari dan seorang ibu rumah tangga yang bunuh diri tidak akan menjadi berita heboh di media. Cara-cara seperti inilah yang mereka lakukan sekarang.”
“Lantas, gimana kelanjutannya, om?” Kenji kembali memosisikan diri sebagai penanya.
“Akhirnya, om memutuskan untuk menyerahkan bukti-bukti yang sudah kami kumpulkan selama bertahun-tahun. Setelah itu, mereka bilang akan terus mengawasi om. Karena merasa terancam, om memutuskan untuk pindah rumah agar bisa lepas dari teror mereka. Banyak yang mengira kepindahan kami dikarenakan kematian Udin. Hal tersebut ada benarnya, namun ada alasan lain yang lebih kuat.”
“Berarti, kita tidak memiliki bukti tersisa yang bisa membuat mereka dipenjara?” tanyaku dengan nada yang keputusasaan.”
Awan tidak langsung menjawab. Ia meminta istrinya untuk menutup pintu dan melihat apakah ada orang yang mengawasi mereka. Sang istri melakukan perintahnya dan mengintip di balik tirai jendela. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar rumah mereka, Awan melanjutkan ceritanya.
“Seharusnya, Dewi menyimpan salinan bukti-buktinya. Om juga tidak tahu di mana ia menyimpan, tapi kemungkinan besar ada di rumahnya.”
Kenji menoleh ke arahku. Aku tahu apa maksudnya, brankas rahasia yang sampai hari ini belum terbongkar. Kemungkinan besar, di sana lah terletak salinan bukti-bukti yang bisa meringkus kelompok Wijaya.
“Di rumah Leon ada semacam brankas, mungkinkah om tahu kode sandinya?”
“Tidak, om tidak tahu. Om memercayai sepenuhnya salinan tersebut dan tidak bertanya di mana ia menyimpannya. Apakah ada semacam petunjuk yang ditemukan di sekitar brankas itu?”
“Hanya ada semacam dongeng fabel om, hingga kini kami belum berhasil memahami maksud dari ceritanya.”
“Ya begitulah Dewi, kesukaannya akan dunia detektif membuat ia suka membuat permainan kode seperti itu. Makanya dulu waktu masih di organisasi, ia kerap dipercaya untuk membuat kode rahasia antar anggota.”
“Ngomong-ngomong soal organisasi, bisakah om bercerita mengenai kegiatan yang dilakukan dan aktivitas apa saja yang dicap berbahaya oleh Wijaya?”
Awan menyeruput kopi hitam yang disajikan oleh istrinya. Sekali lagi ia menarik napas dalam-dalam.
“Ayo ikut ke ruang kerja om. Di sana, om akan ceritakan semuanya ke kalian.”