Musik

Saya dan Linkin Park (Tentang Kematian Chester dan Perjumpaan Pertama)

Published

on

Beberapa bulan yang lalu, vokalis dari Linkin Park, Chester Bennington, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menggantung lehernya.

Tentu ini membuat semua fans sedih, termasuk saya. Bukan sedih sebenarnya, lebih ke arah kecewa, mengapa ia begitu pendek pikiran, walaupun saya meyakini keputusannya tersebut diambil ketika ia di dalam pengaruh alkohol.

Keluarga dan kawannya menyatakan bahwa Chester depresi, hingga membuat hastag #fuckdepression ketika menggelar konser Tribute to Life Honour of Chester Bennington yang dihadiri banyak artis lainnya.

Perjumpaan dengan Linkin Park

Saya mulai mendengarkan Linkin Park mulai SMP kelas satu, melalui tiga lagu yakni What I’ve Done, Somewhere I Belong, dan Faint.

Ditambah lagu kolaborasinya dengan rapper Jay-Z, Numb-Encore (saya lama mengira bahwa ini adalah versi asli dari bandnya, hingga melihat konser Live in Texas yang saya pinjam CDnya dari teman saya).

Saya lebih banyak mengetahui lagu Linkin Park melalui kakak sepupu saya, hingga akhirnya saya memutuskan ini adalan band favorit saya.

Mengapa? Karena band ini BERBEDA dengan band-band yang pernah saya dengarkan.

Baru kali ini saya mengetahui bahwa genre Rock, Rap, dan Elektronik bisa digabung dalam satu kesatuan. Belum lagi scream yang dilakukan oleh sang vokalis, salah satu hal yang menjadi ciri khasnya.

Saya pun mulai mengenal personilnya satu-persatu. Vokalis mereka bernama Chester Bennington. Lalu di bagian rap, piano, dan gitaris ada Mike Shinoda (yang mempunyai side-project bernama Fort Minor).

Brad Delson sang gitaris utama, Dave “Phoniex” Farrel sang bassis, Rob Bourdon sang Drummer, hingga Joe Hahn sang DJ.

Album Linkin Park

Setelah itu, saya mencari sendiri lagu-lagu Linkin Park. Saya lengkapi mulai album pertama (Hybrid Theory, 2000), kedua (Meteora, 2004), dan ketiga (Minutes to Midnight, 2007).

Tidak lupa saya mencari album kolaborasi mereka dengan Jay-Z (Collition Course, 2006), dari album remix (Reanimation, 2002) serta lagu-lagu dari album EP mereka.

Tahun 2010 adalan tahun pertama saya merasakan bagaimana rasanya menanti album baru dari band favorit kita. Saya pun mendapatkan A Thousand Suns ketika hari rilis telah tiba.

Yang sedikit lucu ketika album Living Things keluar pada tahun 2012. Ketika itu saya mulai terkontaminasi dengan musik Korea, sehingga saya tidak sadar mereka meluncurkan album baru.

Saya malah diberitahu oleh tetangga yang menceritakan bahwa Linkin Park mengeluarkan single baru berjudul Burn It Down.

Awalnya saya tidak percaya, dan mengatakan itu adalah lagu dari Avenged Sevenfold. Setelah saya cek, ternyata benar, tidak seperti biasanya dimana mereka memberi jarak 3-4 tahun untuk merilis album, kali ini hanya dibutuhkan 2 tahun.

Alhasil, saya pun ditertawakan oleh tetangga tadi. Tidak ingin mengulangi “dosa” yang sama, saya pun tidak pernah lupa untuk update berita tentang kapan Linkin Park akan merilis album baru.

The Hunting Party (2014) dan One More Light (2017) saya dapatkan tepat waktu, bahkan sudah mengantisipasinya sejak setahun sebelumnya.

Tidak ketinggalan album Recharge (2013), album Remix dari Living Things dimana salah satu lagunya merupakan kolaborasi dari Steve Aoki, DJ favorit saya setelah Mr. Hahn tentunya.

Saya akan menjelaskan opini saya mengenai album dan lagu mereka di tulisan berikutnya. Saya ingin kembali membahas mengenai apa yang telah saya sampaikan di paragraf pertama, tentang kematian Chester Bennington.

Cerianya Seorang Chester

Saya merupakan tipe orang yang jika sudah menyukai sesuatu, maka saya akan mencari tahu hingga sedetail mungkin. Selain melihat video klip dan konser, saya juga melihat Behind the Scene bagaimana proses pembuatan lagu tersebut.

Disana, selain membuat saya menggemari Linkin Park, saya jadi mengetahui bagaimana seorang Chester. Meskipun tubuhnya dibalut oleh tato disana-sini, ia adalah orang yang ceria, yang humoris, yang selalu bersemangat.

Ia juga termasuk ramah ke fans, seperti yang terlihat ketika iTunes Festival di London pada tahun 2011, terlebih ketika tur pada tahun 2017 ini.

Namun ternyata itu semua hanya topeng. Dibalik topengnya, tersimpan depresi yang sangat dalam, dari berbagai sumber. Ia simpan luka yang menganga lebar, hingga ia memutuskan kematian adalah satu-satunya obat.

Ia salurkan penderitaannya melalui obat-obatan dan alkohol. Betapa sedih melihat ia terlihat begitu sendiri, padahal ia memiliki keluarga (istri dan enam anak), teman, dan fans.

Bukti Manusia Membutuhkan Tuhan

Kawan, itulah bahayanya jika kita tidak merasa ada Tuhan di sekitar kita. Ketika  diberi ujian, kita tidak tahun harus bersandar kemana. Ketika diberi musibah, kita tidak tahu harus bertumpu pada siapa.

Ketika diberi nikmat, kita tidak tahu bagaimana cara menyalurkan syukur kita. Kematian Chester, bagi saya merupakan suatu pengingat, bagaimana menderitanya kehidupan tanpa merasa ada hadirnya Tuhan.

Kematiannya, membuat saya InsyaAllah akan lebih mengingat Tuhan lagi di setiap aktivitas saya. Jika kita bisa selalu merasakan kehadiran Tuhan, niscaya depresi tidak akan pernah mengetuk pintu kehidupan kita, karena kita percaya Tuhan bersama kita.

 

Pare, 15 November 2017, setelah kemarin melihat video konser Linkin Park di Belgia

Sumber Foto: Rolling Stone

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version