Pengalaman
Satu Minggu di Bandung (Bagian 2)
Dibutuhkan satu jam perjalanan dengan menggunakan motor untuk pergi dari Bandung ke Jatinangor menuju kos lama Bayu. Karena tidak ada helm kedua, maka penulis harus melanggar peraturan lalu lintas sepanjang perjalanan. Untunglah, kami berdua selamat sampai tujuan.
Pada malam itu, penulis berhasil menamatkan novel Saman karya Ayu Utami, di mana hal tersebut membuat penulis begadang. Bahkan setelah buku tersebut habis, penulis langsung memulai membaca buku baru tentang Anies Baswedan.
7 September 2018: Bertemu Rekan Seperjuangan di Asian Games dan Berkeliling Unpad
Keesokan harinya, penulis mulai membantu Bayu untuk beres-beres barang kosnya. Setelah selesai sebagian, kami berdua sarapan bubur ayam di dekat sana. Bayu harus meninggalkan penulis setelah sarapan karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikannya.
Seusai Jum’atan, penulis membuat janji untuk bertemu dengan dua orang rekan sesama volunteer yang memang kuliah di Universitas Padjajaran (Unpad). Mereka adalah Brenda dan Evelyne, mahasiswi jurusan Public Relations (PR).
Karena mereka memiliki agenda rapat, penulis memutuskan untuk menunggu mereka berdua di Jatinagor Town Square (Jatos). Setelah makan siang dan reparasi kacamata yang telah miring (gratis), penulis memutuskan untuk menunggu di J.Co sambil menyelesaikan novel Leon dan Kenji.
Sekitar jam tiga, barulah Brenda dan Evelyne menampakkan diri. Setelah perbincangan singkat, kami memutuskan untuk pindah tempat ke Checo Cafe Resto, yang membuat penulis menyesal telah makan siang di KFC.
Kami mendiskusikan banyak hal, terutama tentang seputar dunia PR. Penulis merasa seperti wartawan yang sedang melakukan wawancara kepada narasumber. Diskusi berlangsung hangat dan cair, sehingga tak terasa dua jam kami mengobrol.
Karena mereka akan ada rapat lagi sekitar jam enam, kami memutuskan untuk menyudahi pertemuan pada pukul lima sore. Penulis sangat berterima kasih kepada mereka yang telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan penulis.
Setelah Bayu pulang, kami berdua mencari makan malam. Setelah beberapa tempat tujuan ternyata tutup, kami berlabuh di sebuah warung Mie Aceh, di mana Bayu harus mengalami pengalaman pahit ketika digoda oleh seorang waria.
Penulis bertanya kepada Bayu, apakah ia berkenan memberikan tur keliling Unpad karena besok kami sudah harus kembali ke Bandung. Bayu mengiyakan permintaan penulis.
Maka, setelah makan malam tersebut, Penulis berkesempatan untuk menjelajah Unpad dan mengagumi betapa luasnya kampus tersebut jika dibandingkan dengan almamater penulis.
Sebelum pulang, kami mampir ke ATM untuk menarik uang. Karena selesai duluan, penulis memutuskan untuk duduk di seberang ATM sembari menikmati malam di Jatinangor. Bayu yang sempat kebingungan mencari penulis pada akhirnya ikut bergabung.
Ketika bertemu dengan Bayu, topik yang dibicarakan selalu berat. Sewaktu di Pare, kami pernah berdiskusi tentang hukum gravitasi Newton. Kali ini pun tak kalah berat. Kami berdiskusi tentang filsafat dan posisinya di ilmu eksak.
Karena hawa yang semakin dingin, kami memutuskan untuk melanjutkan diskusi di kos. Selain itu, besok pagi adalah waktunya untuk pindahan.
8 September 2018: Dari Museum Konferensi Asia Hingga Paris Van Java Mall
Dengan menggunakan GrabCar, penulis kembali ke Bandung bersama barang-barang milik Bayu. Yang bersangkutan sendiri menyusul dengan menggunakan sepeda motor. Kami cukup ngos-ngosan memindahkan barang-barang tersebut ke kamar Bayu yang terletak di lantai dua.
Penulis memutuskan untuk tidur karena tadi malam penulis insomnia sampai jam tiga pagi. Setelah Dhuhur sajalah keliling Bandungnya, begitu pikir penulis.
Seusai makan siang di Penyet Goang Bu O’om, penulis berangkat menuju Museum Konferensi Asia Afrika. Sesampainya di sana, penulis tergoda untuk membeli buku karena sedang ada even di sana.
Banyak buku-buku antik yang dijual di sana, termasuk komik Donal Bebek edisi 1 sampai 10 yang dijual dengan harga Rp 450.000. Penulis berusaha menahan keinginan tersebut, dan gagal. Pada akhirnya penulis membeli buku Kita 20 Tahun yang Lalu dan Seni untuk Bersikap Bodo Amat.
Bicara tentang Museum KAA-nya sendiri, ya namanya museum ya begitu. Banyak informasi sejarah yang dapat kita serap melalui pameran visual yang ada di dalamnya. Penulis juga beruntung dapat masuk ke dalam aula yang digunakan konferensi.
Museum ini ternyata tidak seluas yang ada di bayangan penulis, sehingga penulis memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke museum yang lain. Ketika menelusuri Maps, penulis menemukan Museum Inggit Ganarsih, istri kedua bung Karno setelah Oetari dan sebelum Fatmawati.
Meskipun cukup jauh, penulis memutuskan untuk berjalan kaki menuju tempat tersebut. Hitung-hitung sebagai “jalan-jalan” yang sebenarnya sembari menikmati panorama kota Bandung bagian selatan.
Museum Inggit Ganarsih ternyata merupakan rumah beliau yang dijadikan sebagai museum. Tidak begitu luas, dan isinya hanya berupa foto-foto beliau dan sedikit barang peninggalannya.
Setelah selesai, penulis memutuskan untuk melanjutkan berjalan kaki ke Monumen Bandung Lautan Api, yang sialnya ternyata sedang direnovasi sehingga tutup. Akhirnya, penulis memesan Grab dan meluncur menuju destinasi berikutnya, Paris Van Java Mall.
Sebagai sebuah mal, penulis memilih PVJ sebagai mal terbaik yang pernah penulis kunjungi seumur hidup. Dengan konsepnya yang memadukan indoor dan outdoor, penulis dibuat betah untuk berlama-lama di sana.
Belum pernah penulis mengunjungi mal seperti ini, bahkan Grand Indonesia dan Plaza Indonesia pun kalah dalam persepsi penulis. Bahkan parkirannya saja terlihat indah dengan lampion-lampion yang bergelantungan.
Setelah puas keliling PVJ selama kurang lebih satu setengah jam, penulis ingin karaoke sendirian. Namun setelah ditinjau ulang, penulis mengurungkan niat tersebut dan menundanya besok. Sekarang, waktuya pulang untuk berisitirahat.
9 September 2018: Karaoke dan Tur Keliling Bandung
Hari ini adalah hari terakhir penulis di Bandung sebelum besok kembali ke Jakarta. Penulis mengajak Bayu untuk karaoke di Diva milik Rossa. Kami berdua pun saling gila-gilaan selama satu jam hingga suara habis.
Setelah itu, Bayu mengajak penulis untuk berkeliling Bandung dengan menggunakan motornya, mulai Braga hingga Dago. Setelah itu, penulis menemani Bayu untuk membeli beberapa perkakas kamar di Ace Hardware dan Pasar Dago.
Malamnya, kami makan di tempat rekomendasi Brenda, yakni Se’i Sapi. Ternyata benar rekomendasinya. Daging asapnya begitu lezat dengan harga yang tidak terlalu mencekik. Jika pembaca ke Bandung, mampirlah ke tempat ini di Jl. Bagusrangin No.24A, Lebakgede, Coblong, Kota Bandung.
10 September 2018: Kembali ke Jakarta
Pada akhirnya petualangan di Bandung harus diakhiri karena sungkan jika harus terus-menerus merepotkan Bayu. Sebenarnya masih banyak destinasi wisata yang belum penulis kunjungi, seperti Museum Pendidikan UPI dan Museum Geologi. Tak apa, biar penulis ada alasan untuk kembali ke Bandung.
Sepanjang hari penulis hanya di kos untuk menulis beberapa artikel untuk blog ini. Alasan lainnya adalah penulis sedikit flu, jadi butuh sedikit istirahat.
Penulis di antar Bayu menuju stasiun. Sebelum itu, kami berdua makan siang terakhir di Bandung di Ayam Goreng SPG yang tidak memiliki satu orang SPG pun. Kata Bayu, tempat itu merupakan salah satu favoritnya.
Maka begitulah satu minggu penulis di Bandung. Menjelajahi berbagai tempat baru yang menarik, bertemu dengan kawan, menikmati nuansa kota yang asing. Semua itu membentuk sebuah kenangan yang susah untuk dilupakan.
Bandung terasa sebagai kota yang romantis, meskipun penulis tidak memiliki kisah percintaan di sana. Kota tersebut seolah membuka tangannya lebar-lebar untuk menerima tamu dari jauh seperti penulis.
Suatu saat, penulis pasti akan kembali ke Bandung, menjelajah lebih banyak tempat baru.
Kebayoran Lama, 9 November 2018, terinspirasi dari petualangan ke Bandung selama satu minggu di bulan September
You must be logged in to post a comment Login