Tentang Rasa

Padahal Sudah Berjuang

Published

on

Padahal aku sudah banyak berjuang demi dirimu. Tapi kenapa seolah kau tak bisa (atau tak mau?) menghargai perjuangan tersebut?

Kau seolah menutup mata atas apa banyak hal yang sudah kupersembahkan untukmu.

Kau seolah menutup telinga dari suara nuranimu sendiri.

Kau seolah menutup mulut untuk menahan diri agar tidak mengumpat.

Setiap pagi kukirim pesan penyemangat, semoga harimu berjalan dengan baik dan menyenangkan.

Setiap malam kudoakan agar mimpimu indah karena tubuhmu berhak istirahat setelah berpeluh seharian.

Tapi, perjuanganku jauh lebih dari sekadar ucapan manis seperti itu. 

Bagiku, itu hanya sekadar bumbu dengan harapan bisa membuatmu merasa lebih baik. Walau kutahu, kau tak pernah membutuhkannya.

Selalu kuulurkan tangan ketika kau membutuhkan bantuan. Namamu selalu ada di posisi teratas dalam daftar prioritasku.

Namun mengapa kau selalu hilang ketika aku membutuhkan hadirmu? Ke mana perginya kau saat aku sedang kesusahan?

Ribuan kilo rela kutempuh. Kudaki gunung, kuturuni lembang, kuseberangi sungai, kurenangi lautan.

Semua akan rela kulakukan hanya demi melihat senyum manis yang menghiasi wajahmu.

Namun mengapa kau justru memanglingkan wajahmu seolah sedang melihat wabah yang menular?

Mengapa kau enggan melihat wajahku seolah aku memiliki paras yang begitu buruknya hingga membuat perutmu mual?

Kutuliskan puisi terindah, kunyanyikan lagu termerdu, kulukiskan keindahanmu yang paripurna.

Apapun kulakukan demi membuatmu merasa kau lah yang paling sempurna di muka bumi ini.

Tapi apa balasannya? Kau injak-injak harga diriku sampai tak bersisa. Sambil mengumpat kau ludahi aku tepat di wajah. Sumpah serapah begitu bising di telingaku hingga rasanya tak tahan.

Semua perhatian kucurahkan kepadamu. Bahkan ke orangtuaku sendiri tak pernah aku sepeduli itu. Tak ada satu detik pun terlewat tanpa berhenti memikirkanmu.

Sayangnya, kau sudah muak dengan banyaknya perhatian yang kau dapatkan, perhatian dari orang-orang yang sama sekali tak menarik minatmu.

Kau tidak pernah memintanya, sehingga tidak pernah merasa bersalah jika tidak membalasnya.

Aku sudah banyak berjuang demi dirimu, namun kau sama sekali tidak peduli.

***

Beberapa kalimat di atas merupakan gambaran tentang perasaan seseorang yang sudah merasa banyak berjuang banyak demi orang yang ia cintai.

Jelas ada dramatisasi agar pesannya bisa lebih sampai, tapi kurang lebih seperti itulah perasaan orang yang merasa sudah berkorban.

Penulis selalu mengingat tulisan Sujiwo Tejo di bukunya yang berjudul Talijiwo:

“Aaaaaah, cinta tak perlu pengorbanan!!! Saat kau mulai merasa berkorban, saat itulah cintamu mulai pudar!!!”

Perasaan cinta yang sejati tidak akan pernah merasa dirinya pernah berkorban, seperti cinta orangtua kepada anaknya.

Pada umumnya, orangtua akan tulus memberikan yang terbaik untuk anaknya tanpa berharap imbalan apa-apa. Asal anaknya bahagia, itu sudah cukup.

***

Merasa berkorban banyak demi orang yang dicintai mungkin telah dianggap hal yang manusiawi. Hanya saja, menurut Penulis, hal tersebut kurang baik bagi kedua belah pihak.

Bagi yang merasa berkorban, hal ini menunjukkan bahwa tingkat cintanya masih, maaf, ecek-ecek.

Tingkat cintanya masih rendah karena berharap balasan dan merasa sudah melakukan banyak hal.

Bahkan cintanya patut untuk dipertanyakan, jangan-jangan hanya nafsu atau obsesi belaka.

Bagi yang pihak satunya, bisa saja menimbulkan perasaan tidak enak atau bersalah.

Kalau mereka bisa cuek sih enak, tak peduli dengan perasaan orang lain walau akan membuat mereka dilabeli sebagai orang yang tidak berperasaan.

Kalau yang enggak enakan? Pasti jadi beban pikiran.

***

Cinta tak akan pernah bisa dipaksakan. Mau ada orang yang berjuang sambil salto dan kayang, kalau tidak ada perasaan dan keinginan untuk membalas perasaan itu, ya tidak bisa walau ada yang bilang cinta datang karena terbiasa.

Bagi Penulis, tingkat cinta yang paling tinggi adalah ketika kita bisa mencintai tanpa berharap apa-apa.

Hanya memberi, tak harap kembali, karena cinta memang tidak harus memiliki (walaupun alhamdulillah kalau sampai bisa memiliki).

Melihat ia bahagia, kita ikut bahagia. Melihat ia tersenyum, kita ikut tersenyum. Meskipun ia begitu karena orang lain, tidak apa-apa, tidak masalah.

Kita bisa menguasai diri karena tingkat cinta kita sudah level dewa. Memang utopis dan nampaknya sudah dilakukan karena kita semua hanya manusia biasa.

Jika pun memang tidak bisa mencapai tingkat tersebut, setidaknya janganlah merasa diri ini yang sudah paling berkorban demi dirinya.

Merasa seperti itu hanya akan menambah luka di dalam hati. Cukup lakukan yang terbaik dan lupakan, tak perlu diungkit-ungkit lagi di masa depan.

Kalau memang sudah memutuskan untuk jatuh cinta, bersiaplah untuk jatuhnya saja jika cintanya tak berbalas. Seperti kata Cut Pat Kai:

Begitulah cinta, deritanya tiada pernah berakhir…

 

NB: Sumpah ini bukan curhatan, cuma random saja kepikiran topik ini

 

 

Lawang, 15 Februari 2020, tidak terinspirasi apa-apa, karena ingin mengisi kategori ini saja

Foto: Priscilla Du Preez

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version