Sosial Budaya
Dear Gen Z, Saingan Kerja Kalian Nanti Bukan Manusia, tapi AI
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan Artificial Intelligence (AI) begitu masif hingga ke tahap yang menakutkan. Banyak orang menyuarakan ketakutan bagaimana AI bisa menggantikan peran manusia di berbagai bidang pekerjaan.
Salah satu contohnya adalah bagaimana Writers Guild of America (WGA) dan The Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA) melakukan aksi mogok karena, salah satu alasannya, menentang adanya AI ini di tempat kerja mereka.
Jika menengok ke situs https://www.insidr.ai/, ada begitu banyak tools AI yang bisa digunakan untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan, sehingga kebutuhan manpower di sebuah perusahaan bisa dikurangi untuk memangkas biaya.
Pertanyaannya, sebagai generasi yang akan langsung berhadapan dengan AI, apakah para Gen Z sudah siap untuk bersaing?
Baru Mau Kerja, Langsung Lawan AI
Jika mengacu pada pendapat Jean Twenge, Gen Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 hingga 2012. Sedangkan menurut Pew Research Center, range tahun lahir Gen Z adalah antara tahun 1997 hingga 2012.
Berdasarkan tahun lahir tersebut, tentu Gen Z yang lahir di tahun 90-an kemungkinan besar sudah merasakan bagaimana persaingan di dunia kerja. Untuk yang lahir di tahun 2000 ke atas, mayoritas baru kerja atau baru lulus dari bangku kuliah.
Nah, apesnya, mereka masuk ke dunia kerja di saat AI sedang booming. Pekerjaan yang dulunya terlihat aman dan tak akan tergantikan oleh mesin nyatanya bisa saja digantikan. Dari bidang Penulis saja, pekerjaan menulis dan mendesain sudah bisa dikerjakan oleh AI.
Artinya, para Gen Z terutama yang lahir di tahun 2000 ke atas harus menghadapi kenyataan kalau saingan mereka di dunia kerja bukan hanya manusia, tapi juga harus melawan AI. Persaingan kerja yang aslinya sudah ketat menjadi jauh lebih ketat lagi.
Para bos perusahaan tentu mempertimbangkan untuk menggunakan AI jika memang terbukti lebih cepat dan murah. Bayangkan jika manusia membutuhkan 1 jam untuk menulis satu artikel pendek, mungkin AI hanya butuh sekian menit atau bahkan detik saja.
Untuk urusan akting saja sudah ada wacana untuk menggunakan AI, sehingga SAG-AFTRA melakukan aksi mogok yang dampaknya begitu luar biasa. Menurut World Economic Forum, tahun 2025 diprediksi akan ada 85 juta pekerjaan yang akan berpotensi diganti oleh AI.
Bahkan sebelum AI ini ramai seperti sekarang, banyak bidang pekerjaan yang telah digantikan oleh mesin. Contoh yang paling mudah adalah pegawai gerbang tol yang diganti Gardu Tol Otomatis (GTO) dan mesin order otomatis di restoran cepat saji.
Penulis belum mendalami secara menyeluruh bidang apa saja yang sangat berpotensi untuk digantikan AI. Namun, contoh yang Penulis sebutkan membuktikan kalau tidak ada bidang yang benar-benar aman untuk digantikan.
Lawan AI, Kita Harus Apa?
Pada tulisan Mario Savio dan Pidatonya akan Bahaya Mesin (AI), Penulis sudah menuliskan bahwa salah satu cara untuk bisa survive dari persaingan kerja melawan AI ini adalah dengan terus mengasah skill kita, terutama yang sekiranya tidak tergantikan oleh AI.
Bisa dibilang, hingga saat ini manusia masih unggul untuk masalah kreativitas dan imajinasi. AI masih terasa terbatas untuk kedua hal tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan beberapa tahun lagi mereka bisa menyusul kemampuan kita.
Perlu dicatat kalau AI yang ada sekarang baru permulaan saja. Di masa depan, akan terus hadir AI-AI yang lebih canggih. Bahkan, sudah ada istilah Artificial General Intellegence (AGI) yang berusaha meniru konsep berpikir manusia serealistis mungkin. Terdengar seram, bukan?
Kabar baiknya, kemunculan AI kemungkinan besar juga akan melahirkan ladang pekerjaan baru. Masih menurut World Economic Forum, diproyeksikan akan ada 93 juta lapangan pekerjaan baru yang tercipta karena kemunculan AI.
Lho, bukannya tadi katanya kita harus bersaing dengan AI? Iya, itu benar, untuk pekerjaan-pekerjaan yang bisa diotomatisasi dengan AI. Namun, jangan lupa kalau AI masih membutuhkan orang untuk mengoperasikannya.
Iya, AI Masih Butuh Manusia untuk Dioperasikan.
Secanggih-canggihnya tools AI, mereka belum bisa mengoperasikan dirinya sendiri. Bahkan, autoblogging.ai yang mampu menghasilkan artikel berkualitas saja masih butuh manusia untuk memasukkan prompt atau perintah agar bisa generate tulisan.
Secanggih-canggihnya tools untuk membuat gambar tertentu, mereka belum bisa membuat gambar berdasarkan imajinasinya sendiri. Mereka membutuhkan imajinasi manusia untuk bisa menghasilkan gambar yang telah diperintahkan.
Oleh karena itu, selain terus melakukan upgrade diri dengan mempelajari skill-skill tertentu, kita juga harus bisa beradaptasi dengan cara belajar untuk menguasai tools-tools AI tersebut. Istilah kerennya adalah AI Prompter.
Secara sederhananya, AI Prompter bertanggung jawab untuk menuliskan sebuah perintah AI agar bisa memberikan hasil terbaik secara spesifik. Untuk bisa menguasainya, dibutuhkan beberapa basic skill seperti kemampuan menulis dan analitikal.
Selain AI Prompter tentu masih banyak ladang pekerjaan di seputar AI. Hanya saja, Penulis belum benar-benar memahaminya, sehingga tidak memasukkannya di tulisan ini. Yang jelas, AI bisa menjadi ancaman sekaligus peluang untuk kita.
Penutup
Bisa menguasai AI, termasuk menjadi seorang AI Prompter, adalah bentuk adaptasi kita sebagai manusia atas perubahan zaman. Kita harus bisa menerima kenyataan untuk hidup berdampingan dengan AI.
Menolak kehadiran AI sama dengan bagaimana pedagang di Tanah Abang menolak TikTok Shop dan ojek pangkalan menolak kemunculan ojek online. Kemunculan AI adalah disrupsi di berbagai bidang industri yang tak terhindarkan.
Maka dari itu, pilihan yang kita miliki sekarang adalah menyerah dengan keberadaan AI atau justru membalikkan keadaan dengan berusaha menguasai AI. Kita harus bisa memanfaatkan AI agar tidak terlindas zaman begitu saja.
Foto Featured Image: LinkedIn
Sumber Artikel:
You must be logged in to post a comment Login