Cerpen

Lelatu

Published

on

Kobaran api menjalar ke udara di tengah pekatnya malam. Langit cerah tak berawan, memperkecil kemungkinan hujan turun untuk memadamkan kebakaran di rumah tetanggaku yang sedang dilalap api ini. Entah apa yang menjadi pemicunya.

Aku bersama beberapa warga lain bahu membahu ikut membantu memadamkan api dengan peralatan seadanya. Ember, bak mandi, selang, hingga kaleng cat kami manfaatkan untuk menimba air. Lokasi kampung kami yang cukup jauh dari pusat kota membuat mobil pemadam kebakaran tidak bisa datang lebih cepat.

Pasangan pemilik rumah hanya bisa menangis histeris, beberapa meter dari lokasi. Bukan karena rumah mereka yang terbakar, melainkan karena satu-satunya anak mereka masih terjebak di dalam rumah. Mereka tidak ada di lokasi ketika kebakaran terjadi. Api sudah terlampau besar untuk bisa diterjang warga demi menyelamatkan sang anak tersebut, yang baru duduk di bangku SMA.

Selain kedua orangtua anak tersebut, kekasih yang sekaligus tetangga anak tersebut juga sedang menangis tersedu, membayangkan tubuh pacarnya dimakan api tanpa ampun. Gadis tersebut baru duduk di bangku SMP, dan sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Sambil estafet menggiringkan ember demi ember, aku mencuri pandang kepadanya, memastikan kondisinya baik-baik saja.

***

Beberapa bulan sebelumnya, warga baru tersebut datang ke kampung kami. Mereka merupakan pasangan dari luar pulau, yang pindah ke mari karena tugas dinas sang suami. Sang anak yang baru saja lulus dari SMP turut serta diajak serta, mungkin karena mereka tidak ingin jauh-jauh dari satu-satunya buah hati mereka.

Meskipun datang dari belahan daerah yang jauh dari kami, nyatanya anak tersebut mudah sekali beradaptasi dengan kami. Ia tidak pernah merasa canggung ketika berkomunikasi dengan kami, tak segan menawarkan bantuan jika ada yang membutuhkan, terkadang melemparkan candaaan yang membuat teman-teman lain tertawa.

Ia menjadi yang tertinggi di antara remaja lainnya, mungkin hobi basketnya yang memiliki andil dalam pertumbuhannya tersebut. Selain itu, ia juga pandai memainkan gitar. Jari-jarinya tampak lihai berpindah-pindah dari satu senar ke senar lainnya. Vokal yang dihasilkan dari pita suaranya juga lumayan merdu untuk dinikmati.

Pendek kata, ia berhasil berbaur dengan sempurna dengan lingkungannya. Di antara pembauran tersebut, terselip cinta.

***

Orang yang beruntung mendapatkan cinta dari anak pindahan tersebut adalah gadis yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Pada mulanya, mereka seringkali bertikai kecil-kecilan, saling mengumpat dengan bercanda. Karena interaksi macam itulah teman-teman yang lain sering menjodohkan mereka berdua.

Siapa yang menyangka, berawal dari itulah benih-benih cinta tumbuh. Tanpa disadari oleh yang lain, mereka sering bertukar kabar melalui WA, kadang sekadar mengucapkan selamat malam. Semua mereka lakukan diam-diam, seolah ingin menyembunyikan fakta bahwa mereka saling mencintai.

Karena telah lama dekat, seringkali adikku tersebut bercerita kepadaku. Itu pun setelah kupaksa untuk berkata sejujurnya, karena meskipun bukan kakak karena kesamaan DNA, aku merasa berhak untuk mengetahui apa-apa tentang dia. Akhirnya sedikit demi sedikit ia mau membuka diri, bercerita tentang hubungan mereka.

Sebagai orang yang jauh lebih tua, aku sering memberikan nasihat-nasihat kepada gadis yang sudah kuanggap adikku sendiri tersebut. Aku tak pernah secara gamblang menyatakan setuju atau tidak setuju dengan hubungannya, aku hanya selalu mendoakan yang terbaik untuknya.

Dari cerita ke cerita, aku menyadari bahwa mereka benar-benar saling mencintai, mungkin lebih besar dari rasa sayangku kepada adikku tersebut. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan hubungan yang mereka sembunyikan tersebut.

***

Setelah upaya selama enam jam, akhirnya kebakaran berhasil dipadamkan. Sang ayah langsung menerjang masuk untuk mengecek keadaan, meskipun sempat ditahan oleh beberapa pihak kepolisian yang baru saja tiba. Selang beberapa menit, sang ayah kembali dengan tangan hampa, ekspresinya kosong.

Mungkin ia telah menemukan mayat anaknya yang pasti sudah tidak dapat diidentifikasi. Sekarang tugas pihak yang berwajib untuk mencari tahu penyebab kebakaran, yang turut membakar dua rumah di kanan-kirinya meskipun tidak sampai memakan korban jiwa.

Aku menghampiri gadis yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri untuk memberikan semangat. Kerengkuh pundaknya, seolah ingin memberikan energiku kepadanya.

“Sabar ya dek, ini ujian, semoga kekasihmu diterima di sisi-Nya.”

Ia hanya mengangguk pelan, sambil bergumam terima kasih. Aku memandang kosong bekas bangunan yang habis terbakar tersebut, sambil berharap polisi tidak menemukan kejanggalan dari aksiku semalam, ketika aku mendatangi rumah ini, membuat anak dari pemilik rumah tidak sadarkan diri, lantas membakar rumah itu dengan segala trik yang sudah kupelajari berbulan-bulan yang lalu.

Pemicu kebakaran ini sebenarnya sudah jelas, lelatu alias percikan api. Api kecemburuan. Percikan itulah yang menjadi penyebab kebakaran besar ini.

 

 

Lawang, 18 Juni 2018, terinspirasi sama apa hayo 🙂

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version