Leon dan Kenji (Buku 1)

Chapter 40 Janji dari Sebuah Dendam

Published

on

Kabar kematian Sica diceritakan oleh wali kelas kami, bu Rima. Wajahnya yang biasanya memancarkan aura ketegasan yang tiada tara, tiba-tiba sirna begitu saja, berganti dengan wajah tulus seorang ibu. Terlihat matanya berkaca-kaca menahan sedih, berusaha mempertahankan ketegarannya di hadapan kami.

“Ibu tadi pagi baru saja mendapatkan telepon dari orangtua Sica. Kalian tahu satu minggu yang lalu, Jessica baru menjalani operasi pengangkatan paru-paru.”

Ia terdiam sesaat, memandangi kami satu persatu. Aku sudah merasakan perasaan yang sangat tidak enak di dalam diriku. Aku entah bagaimana merasa sudah tahu apa yang akan disampaikan, jika melihat dari ekspresi dari bu Rima. Tidak perlu sepintar Kenji untuk mengetahui hal tersebut, yang lain juga pasti sudah bisa menduga kabar apa yang akan disampaikan.

“Operasinya berhasil…” lagi-lagi bu Rima memberi jeda pada kalimatnya, “…namun setelah itu, kondisi Sica tidak stabil, karena itu tidak ada boleh yang menjenguknya. Hingga akhirnya dini hari tadi…” air mata bu Rima akhirnya tumpah.

Aku tidak sempat memperhatikan sekitar. Aku hanya menatap kosong ke arah depan, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, terasa ada yang mengalir di wajahku. Aku, bukan, kami telah kehilangan teman kami, salah satu teman yang terbaik.

***

Kelas kami diliburkan hari ini, dalam rangka berduka cita atas meninggalnya Jessica. Bejo sang ketua kelas pun mengkoordinasi kami untuk mempersiapkan kedatangan Sica dari rumah sakit ke rumah duka. Aku sudah tidak mendengarkan kata-katanya lagi setelah itu, karena aku memutuskan untuk berlari ke rumah sakit. Ya, benar, aku memutuskan untuk berlari mulai sekolah karena aku ingin sesegera mungkin melihat Sica. Bagaimana mungkin Sica tidak bisa diselamatkan? Bukankah itu rumah sakit bagus? Bukankan dokter berwajah menyebalkan itu dengan arogannya menjanjikan keberhasilan?

Sekitar dua kilometer aku berlari, tubuhku basah oleh keringat. Namun aku tidak peduli, aku berlari menuju lobi, menghiraukan panggilan security yang berusaha menghadangku.

“Hei, resepsionis, temukan aku dengan dokter yang mengoperasi Sica. Aku butuh bicara dengannya!”

“Eh…eh…maaf adik siapa?” tanya resepsionis itu dengan ketakutan. Orang-orang yang ada di lobi mulai melihat ke arahku.

“Kau tidak perlu tahu, sekarang juga beri tahu aku di mana dokter brengsek yang tidak berhasil mengoperasi Sica. Kau mau mejamu aku obrak-abrik?” aku mulai menggebrak-gebrak meja.

Security, tolong security!” jerit resepsionis ketakutan.

Orang-orang mulai berusaha untuk menenangkanku. Di saat itulah aku melihat dokter berwajah angkuh itu, dokter Sardjono, sedang berjalan ke arah resepsionis, mungkin penasaran dengan kegaduhan yang telah kubuat seorang diri. Langsung saja aku memberontak dari kerumunan orang-orang dan berlari menuju dokter sialan itu. Ia menampakan sedikit ketakutan, sebelum memasang wajah angkuhnya kembali.

“Hei kau dokter berwajah sombong, katamu kau bisa sembuhkan Sica, mana buktinya? Ia mati ditanganmu dokter! Apanya spesialis paru-paru, kasus kecil seperti ini pun tidak becus kau lakukan!”

“Nak, saya sama sekali tidak tahu apa yang kamu maksud, siapa itu Sica? Saya tidak pernah gagal dalam mengoperasi, karena saya ahli paru-paru terbaik disini.”

Kata-katanya mungkin bertujuan untuk membuat nama baiknya terjaga di depan orang-orang yang melihat percecokan kami. Bahkan kebohongan pun diperlukan untuk memperkuat keangkuhannya tersebut.

“Bedebah, kau tidak mau mengakui operasi itu dipimpin olehmu hah? Di mana semua kesombongan yang telah kau keluarkan di Sakura 2 minggu kemarin hah? Orang-orang sepertimu harusnya tidak pernah menjadi seorang dokter!”

Tiba-tiba tanganku sudah diseret oleh pihak keamanan rumah sakit. Semakin aku meronta, semakin aku merasa eratnya pegangan mereka. Aku terus mengeluarkan berbagai sumpah serapah yang aku ketahui. Lihatlah, mendengar semua perkataan kasarku ia justru tersenyum sinis. Ia malah berkata kepada orang-orang mungkin aku sedikit kurang waras karena ada musibah yang menimpaku. Di saat seperti ini, ia malah berusaha mendapatkan simpati dari orang-orang ini. Sialan, aku tidak bisa diam saja melihat ketidakadilan seperti ini di depan mataku. Aku mulai memberontak lagi dari kedua satpam yang nampak tak terlalu peduli dengan apa yang terjadi. Mereka hanya peduli dengan pihak yang menggaji mereka.

“Tenanglah Leon.”

Dua kata, diucapkan dengan tenang, membuat emosiku tiba-tiba terangkat dari diriku. Suara ini, suara Kenji. Aku menoleh ke belakang, benar, Kenji bersama Andra telah berada disini. Mungkin karena merasa khawatir denganku yang tiba-tiba berlari begitu saja, mereka menyusulku dengan sepeda motor.

“Bapak-ibu yang terhormat, saya minta maaf apabila teman saya ini sudah membuat keributan. Tapi kami satu kelas baru saja mengalami hal yang buruk, hingga bukan hanya teman kami ini, melainkan kami semua sedang berada dalam kondisi emosi yang labil. Jadi sekali lagi kami memohon maaf atas semua kejadian ini.” Kenji berkata disertai dengan membungkuk 90 derajat. Andra yang dibelakangnya pun tahu-tahu ikut membungkuk.

Ah, lagi-lagi aku membiarkan emosi menguasai diriku. Lagi-lagi aku kalah dengannya. Padahal sudah sejauh ini aku berusaha belajar mengendalikan emosi, tahu-tahu ia muncul seperti ini. Semua gara-gara rumah sakit ini, gara-gara dokter yang kemampuannya tidak terbukti ini. Aku tersenyum, tersenyum sinis. Aku menatap dokter itu dan mengacungkan jariku kepadanya.

“Lihatlah, catat namaku, Alexander Napoleon Caesar, akan menjadi dokter spesialis paru-paru terbaik, tidak hanya di sini, tapi di seluruh dunia! Ini adalah sumpahku, akan kubuktikan padamu wahai dokter idiot, bahwa aku akan bisa lebih baik darimu!”

***

Setelah mengucap sumpah itu, aku berbalik badan, tidak mempedulikan bagaimana reaksi orang-orang kepadaku. Setelah mengeluarkan semua kemarahan yang aku punya, kesedihan kembali datang menghampiri. Aku menangis lagi. Kenji dan Andra berusaha untuk menguatkan aku dengan memegang pundakku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan orang lain, toh aku sudah kebal sejak dulu. Aku akan mengeluarkan semua emosiku, apapun bentuknya di sini.

Sebelum kembali ke sekolah bersama Kenji dan Andra, aku kembali menoleh ke arah rumah sakit. Seketika, aku teringat kembali, apa yang membuatku waktu pertama kali ke sini merasakan sensasi yang aneh. Di saat itu, aku pun meninggalkan rumah sakit ini dengan tangisan. Aku baru ingat, di sinilah ibuku diotopsi setelah ia meninggal.

***

Aku ditemani Kenji untuk naik angkot, sedangkan Andra kembali terlebih dahulu dengan sepeda motornya. Aku hanya menangis sepanjang perjalanan, membuat heran penumpang lainnya. Kudengar Kenji mengeluarkan jawaban-jawaban untuk melayani berbagi pertanyaan yang muncul. Beberapa orang menepuk pundakku, merasa punya kewajiban untuk memberiku semangat. Namun aku tidak peduli, kematian Sica ini sangat memukul diriku. Ketika cinta yang sudah lama tidak aku miliki muncul lagi, tiba-tiba ia diambil secepat ini.

Kenji mengantarku ke rumah. Tangisku mulai reda, diganti dengan tatapan hampa, tatapan yang seolah melukiskan bahwa aku sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi di dunia ini. Namun aku masih bisa melihat Gisel menyambutku, memelukku, disertai tangisan pula. Kenji bercerita bahwa sebelum menjemputku, ia mampir ke rumah untuk memberi kabar ke Gisel. Ia sempat kewalahan untuk menahan tangisan Gisel, untung teman-teman yang lain mau kemari terlebih dahulu. Aku baru sadar, di ruang tamuku sudah penuh dengan mereka semua, baik laki-laki maupun perempuan. Nampaknya mereka sadar bahwa aku baru saja membuat kekacauan. Aku pandangi mereka satu persatu, mencari salah seorang diantara mereka.

“Di mana perempuan itu?”

“Siapa yang kamu maksud Le?” tanya Kenji dengan wajah pura-pura tidak tahunya yang sangat kentara itu.

“Kau tahu siapa yang kumaksud Kenji.” aku menatapnya dengan sorot mata yang selama ini sudah berangsur-angsur hilang dariku. Kenji dengan jelas menunjukkan ketakutannya.

“Jika yang kamu maksud Sarah, ia tidak ada di sini Le. Aku tidak tahu kenapa, tapi ia menyarankan Sarah jangan kerumahmu terlebih dahulu.” Bejo menjawab pertanyaanku.

“Aku tidak bertanya padamu Bejo, aku bertanya pada Kenji.” aku memindahkan tatapanku ke Bejo, yang sudah berdiri dari kursinya. Mungkin ia sudah merasakan aku akan melakukan sesuatu yang buruk.

“Se…selain kamu Leon yang paling terpukul adalah Sarah. Jadi aku menyuruhnya untuk, eh, untuk menenangkan diri dulu.” Kenji dengan takut-takut berusaha menjawab.

“Di mana dia Kenji?” aku sudah menggenggam pergelangan tanganku.

“Eh, aku tidak tahu Le.”

Sebuah pukulan langsung mendarat di wajahnya. Aku paling benci dibohongi, apalagi dalam kondisi seperti ini. Aku tarik kerah Kenji yang sudah jatuh tersungkur. Suara ramai dibelakangku menandakan semua terkejut dengan tindakanku.

“Beri tahu aku di mana perempuan itu, aku mau membunuhnya. Gara-gara ia Sica bisa meninggal.” aku tahu ini perbuatan salah, namun aku tidak bisa menahan segala gejolak emosi ini.

“Jangan Le, istighfar Le.” Kenji berusaha menenangkanku.

Beberapa orang mulai meleraiku, tentu aku memberontak sedemikian kuatnya. Orang yang sedang emosi kekuatannya bertambah beberapa kali lipat. Karena itu, meskipun yang menarikku sekuat Bejo, aku masih bisa mengimbanginya. Apalagi jika hanya sekelas Pierre dan Juna.

Tiba-tiba, sebuah tamparan keras mengenai wajahku. Ini bukan tamparan laki-laki, ini tamparan perempuan. Aku melihat arah penampar, terlihat Rena olehku.

“Kamu ini punya Tuhan apa enggak Le! Sica mati itu bukan karena salah dokter, bukan karena salah Sarah, ini semua takdirnya! Kalau kamu menyalahkan orang lain, itu sama artinya kamu enggak percaya sama Tuhan!”

Entah mengapa, kata-katanya terasa lebih sakit dari tamparannya. Astaga, hanya dalam selang beberapa menit, aku melakukan kesalahan yang sama. Aku menjatuhkan diri dengan lutut sebagai tumpuan, memandang semua teman-temanku yang sudah memasang wajah khawatir. Sehina inikah diriku, hingga melupakan peran Tuhan? Sebobrok inikah, hingga aku melupakan adanya takdir? Sebodoh inikah, hingga aku melukai teman-teman terdekatku?

Kenji merengkuh tanganku, berusaha mengangkat diriku. Ia tetap saja seperti itu, mau aku lukai seperti apapun, ia akan tetap baik kepadaku. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya.

“Ayo Le, tidak enak di sini, kita ngobrol di dalam saja. Beberapa warga nampaknya mulai menyadari keributan yang telah kita buat.”

Aku pun menuruti begitu saja perkataan Kenji.

***

Di rumah duka, kami satu kelas duduk berjejer di kursi yang telah disiapkan keluarga Sica di depan rumah. Sebelumnya, kami telah melihat jenazah Sica di dalam. Lihatlah, meskipun dalam keadaan tidak bernyawa, kecantikannya masih terlihat, bahkan ia terlihat mengulum senyum dalam matinya. Aku masih terngiang kata-kata terakhir yang ia ucapkan di pertemuan terakhir kami.

“Terima kasih, Alexander Napoleon Caesar.”

Aku tidak bisa meresponnya waktu itu, menganggap itu hanya sekedar ucapan terima kasih biasa. Jika aku renungkan kembali, mungkin ia berterimakasih atas segala yang aku lakukan kepadanya. Seharusnya, aku juga mengucapkan terima kasih kepada Sica karena telah hadir di kehidupanku. Sekarang semua terlambat, ia telah tiada.

Ketika selesai, aku melihat Sarah telah duduk di kursi kedua paling belakang. Nampak dengan jelas, seolah terukir di wajahnya, penyesalan yang demikian dalamnya. Aku jadi bisa memahami mengapa Kenji menyarankan Sarah tidak ikut ke rumahku. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika aku bertemu dengan dirinya pada saat aku kalut. Untunglah, aku sudah lebih tenang, karena itu, aku memutuskan untuk duduk di sebelahnya.

Awalnya, ketika ia melihatku, ia seperti hendak pindah ke kursi lain karena takut. Namun, aku bisa merasakannya, ia berusaha menguatkan diri untuk tetap berada di posisinya. Mungkin ada banyak hal yang ia ingin sampaikan kepadaku, termasuk penyesalan dan permintaan maafnya.

“Kamu dekat dengan Sica kan ya Leon?” Sarah membuka percakapan, setelah cukup lama kami berdiam diri.

“Iya.”

“Kamu pasti marah denganku kan Leon?”

“Iya.”

Sarah menggenggam erat roknya, kurasa untuk mencegahnya menangis. Aku masih memandang ke arah rumah Sica, menanti kalimat berikutnya yang akan meluncur dari Sarah.

“Aku minta maaf Leon, aku yakin kamu menyalahkan aku karena aku yang memaksakan hukuman itu, aku…” perempuan ini tak kuat lagi menahan tangisnya. Di suasana duka ini, tentu menangis bukan hal yang terlihat mencolok.

“Awalnya aku ingin menghajarmu perempuan.” kataku sedingin es.

“Jika itu membuatmu bisa memaafkanku, silahkan Leon.” jawabnya pasrah.

“Aku sudah menghajar Kenji karena ia tidak memberitahu dimana kau berada.”

Sarah nampak terkejut mendengar perkataanku barusan. Yang kulakukan ini hanyalah menabur garam di luka yang terbuka.

“Tetapi aku telah disadarkan oleh Rena, bahwa kematian tidak terjadi karena ulah manusia, tapi karena telah ditentukan oleh takdir. Jadi aku tidak perlu memaafkan apa-apa.”

“Tapi tetap saja Leon, aku yang membuat Sica lari, aku…”

“Kau cerewet sekali perempuan,” potongku terhadap omongan Sarah, “tidak ada yang salah dalam kejadian ini. Bahkan Sica sendiri pun tidak menyalahkanmu, ia lebih memilih untuk menyalahkan dirinya sendiri. Berhentilah merutuk diri sendiri dan jadilah orang yang lebih berguna untuk teman-teman kelasmu yang sudah mau menerima segala keburukanmu.”

Menurutku kalimat barusan adalah kalimat yang cukup bagus untuk menghibur seorang perempuan. Namun sayang, Sarah justru kembali menangis. Ve yang duduk di sebelahnya, yang dari tadi hanya diam melihat kami bercakap, berusaha menenangkan Sarah.

“Kamu itu jadi orang tidak bisa sedikit lembut ya Leon. Cobalah mengerti perasaan Sarah, jangan kamu tambah lagi lukanya dengan kata-katamu yang tidak berperasaan itu.”

Aku jadi merasa sedikit bersalah, namun enggan mengakui hal tersebut, hingga aku memutuskan untuk diam saja. Sarah memegang tangan Ve, seolah memberi kode bahwa ia baik-baik saja.

“Bukan begitu Ve, aku merasa terharu dengan yang diucapkan Leon barusan. Meskipun kata-katanya memang kasar, namun terdapat kebaikan di balik itu. Aku jadi tersadar, bahwa tidak ada gunanya terjebak dalam penyesalan. Memang benar aku telah melakukan kesalahan, namun tidak artinya jika aku tidak berusaha melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku. Terima kasih Leon atas semua yang sudah kamu ucapkan.”

Ia tersenyum kepadaku dengan mata yang sembab. Aku merasa sangat susah untuk membalas senyumannya, jadi aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. Pasti ia akan mengerti alasanku melakukan ini. Untunglah, aku dan Sarah sudah berhasil mengalahkan berbagai pikiran buruk yang ada di pikiran kami.

***

“Kau serius Kenji?” tanyaku ketika Kenji mampir ke rumah seusai pemakaman Sica.

“Benar Le, untung saja Bejo mempunyai kekuatan yang cukup untuk menjebol pintu.”

Kenji bercerita kepadaku, bahwa setelah bu Rima menceritakan hal tersebut, ia langsung menoleh ke arah Sarah. Bukan berarti ia tidak merasa sedih akan kabar itu, namun ia bisa menguasai emosi sedemikian baik demi memperhatikan teman-temannya yang tidak memiliki kestabilan emosi, terutama Sarah, yang masih dihantui perasaan bersalah.

“Aku bisa menganalisanya Le, dari ekspresi, ditambah lagi tindakan yang ia lakukan selanjutnya, apa yang akan ia perbuat. Sarah hampir saja bunuh diri Le, di kamar mandi sekolah. Begitu kamu keluar kelas, Sarah langsung mengambil sesuatu dari kotak pensilnya dan ikut lari keluar kelas. Aku dihadapkan dua pilihan sulit, antara mengejarmu atau Sarah. Setelah melakukan kalkulasi apa yang akan terjadi jika aku membiarkan salah satu diantara kalian, aku memutuskan untuk mengejar Sarah terlebih dahulu karena ia berpotensi untuk mengakhiri hidupnya sendiri Le. Resiko terbesarmu adalah mengamuk di rumah sakit, yang ternyata benar adanya.

“Maka aku langsung mengajak Bejo dan Ve untuk ikut denganku. Bejo kuperlukan untuk berjaga-jaga apabila ia mengunci dirinya di kamar mandi, sedangkan Ve kubutuhkan untuk bernegosiasi dengan Sarah. Kamu tahu kan, semenjak kejadian itu, Ve yang paling terlihat usahanya untuk dekat dengan Sarah. Lalu aku meminta Andra untuk menyiapkan motornya untuk menyusulmu.

“Benar saja, dengan mengetuk pintu anak kamar mandi perempuan satu persatu, Ve berhasil menemukan Sarah di kamar mandi paling pojok. Ve dan aku berusaha untuk mempengaruhi Sarah agar mengurungkan niat buruknya. Ia menjerit-jerit di dalam, mengatakan berbagai hal tentang perasaan bersalahnya, bahkan ia mengatakan akan menebus kesalahannya dengan kematiannya sendiri. Aku berpikir bahwa susah untuk bernegosiasi dengan kondisi seperti ini, maka aku memutuskan untuk memaksa Sarah keluar dan merebut cutter darinya, meskipun ini juga baru berupa asumsi. Aku meminta Bejo untuk melakukan rencana kami. Maka dengan sekali dorongan, pintu terbuka dan terlihat Sarah dengan cutter di tangan kanannya. Begitu melihat benda itu, Bejo langsung merebut secara paksa alat itu dan melemparkannya keluar kamar mandi.

“Ve berusaha untuk menenangkan Sarah yang sudah semakin histeris, dan tentu siswa-siswa lainnya juga semakin penasaran apa yang terjadi. Kehebohan memuncak ketika salah satu guru datang, aku belum hafal semua guru. Ia bertanya kepadaku apa yang terjadi, aku pun berusaha menjelaskan dengan sebisa mungkin tidak mengungkit percobaan bunuh diri Sarah. Maka, beliau pun membawa Sarah ke ruang konseling. Aku meminta Ve untuk menemaninya, ia pasti butuh teman dalam situasi seperti ini. Setelah selesai, aku pun ke tempat parkiran motor untuk menemui Andra dan berangkat ke rumah sakit.

“Begitulah Leon ceritanya, aku tidak tahu apa yang terjadi di ruang konseling. Tapi aku pesan kepada Ve, tolong jangan biarkan Sarah ikut kami ke rumahmu. Biarkan ia tetap di sekolah, karena aku mempertimbangkan faktor emosionalmu. Kamu yang mencintai Sica, pasti akan segera menyalahkan orang lain atas kejadian ini. Pertama pasti kamu menyalahkan pihak rumah sakit, dan yang kedua kepada orang yang telah menyebabkan Sica masuk rumah sakit.”

Aku terdiam mendengar cerita Kenji. Semua langkah-langkah yang diambil begitu sistematis, begitu terukur. Dalam waktu yang sempit ia bisa memutuskan apa yang sebaiknya diambil, apa yang harus diberi prioritas lebih. Ketenangannya yang luar biasa membuat kagum, berbeda sekali dengan ketenangan yang hampir tak kumilki.

“Maaf Kenji atas kejadian tadi siang, seharusnya aku tidak melakukan itu.”

“Ah tidak apa-apa Le, toh itu bukan kejadian pertama kan, hahaha.”

Kutundukkan wajahku dalam-dalam, hilang nyaliku ketika berhadapan dengan anak hebat yang satu ini. Ia tak pernah sekalipun marah kepadaku, meskipun berulang kali aku menyakitinya.

“Entah berapa kali aku sudah memukulmu Kenji.”

“Dan berapa kali yang sama pula aku memaafkanmu Le.”

Semakin dalam wajahku menunduk mendengar jawabannya.

“Aku mendengar janjimu ketika di rumah sakit. Nampaknya kamu telah menemukan jalan hidupmu ya.”

Aku mengangkat kepalaku dan memandang Kenji, lalu pikiranku terbawa lamunan begitu saja. Benar, aku telah menyatakan “perang” kepada dokter tak berguna itu. Aku sudah mendeklarasikan diriku akan menjadi dokter spesialis paru-paru terbaik di dunia. Laki-laki tidak akan menarik ucapannya bukan?

“Iya Kenji, nampaknya begitu. Kematian Sica sangat menyedihkan bagiku, apalagi bisa dibilang Sica adalah cinta pertamaku. Aku yang seolah tidak punya perasaan ini bisa jatuh cinta kepada seorang wanita, adalah hal yang luar biasa. Karena itu, dengan kematiannya ini, aku berjanji, akan menjadi dokter spesialis paru-paru. Aku tidak akan membiarkan pasienku meninggal di depanku, kecuali Tuhan menghendaki seperti itu. Setidaknya aku tidak akan seperti si Sardjono itu, yang hanya bermodal keangkuhan, tapi tak becus dalam melakukan tindakan penyelamatan.”

“Bagus Le, tapi alangkah lebih baik jika cita-cita itu tidak disertai dengan dendam.”

“Akan kucoba Kenji. Tapi omong-omong, bukannya hal ini akan mencoreng reputasinya?”

“Menurutku, akan banyak intrik yang akan dilakukannya demi menjaga reputasi tersebut. Aku tidak tahu apa, tapi menurutku itu pasti terjadi, apalagi seorang dokter senior seperti dia.”

Itu justru membuatku menjadi semakin muak dengan dirinya Kenji, kataku dalam batin. Maaf saja Kenji, meskipun kau larang, aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini. Aku sudah berjanji, dan janji ini berdiri di atas sebuah dendam. Anggap saja aku telah mengonversi dendam ini menjadi motivasi. Bukankah itu hal yang bagus, iya kan Kenji? Sayang, ini hanya muncul di pikiranku, tidak sampai keluar dari tenggorokanku.

“Gisel juga pasti sedih sekali ya. Pasti ia lelah menangis seharian, hingga ketika kita pulang malam ini ia langsung tertidur begitu saja.”

“Iya.”

“Kalau begitu, aku pamit dulu Le, jangan lupa, minggu depan kita sudah ujian kenaikan kelas. Jangan sampai kesedihanmu mempengaruhi nilaimu di kelas lo. Ingat semua mimpi kita berawal dari kelas ini, jadi jangan sampai kita main-main di kelas ini.”

“Tenang Kenji, aku selalu serius dalam hal belajar.”

Aku pun serius dalam mengikrarkan janjiku. Kematian Sica ini akan kujadikan tolak balik dalam hidupku. Aku yang selama ini belum punya arah hidup, akhirnya telah menemukannya melalui kedukaan. Percayalah Sica, aku akan menjadi dokter spesialis paru-paru terbaik di dunia, aku janji. Aku janji, tak peduli ia berdiri diatas sebuah dendam yang menyakitkan. Aku janji.

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version