Pengembangan Diri

Terlalu Fokus Investasi Sampai Lupa Mengembangkan Diri Sendiri

Published

on

Belakangan ini, tren investasi di kalangan generasi muda semakin naik. Bukan lagi instrumen “lawas” seperti emas dan properti, melainkan berbagai instrumen yang menggunakan platform digital seperti reksadana, saham, hinggai cryptocurrency.

Di satu sisi, investasi itu menjadi hal yang sangat penting dengan banyak tujuan, entah memutar uang agar menjadi lebih banyak, tabungan masa tua, dan lain sebagainya. Penulis sendiri telah mencoba beberapa instrumen investasi.

Di sisi lain, banyak yang salah kaprah tentang investasi dan meniatkannya hanya sebagai cara untuk kaya dengan instan. Banyak orang-orang yang hanya FOMO dan ikut-ikutan tanpa benar-benar memahami instrumen yang mereka investasikan.

Pengalaman Investasi Penulis

Tren Saham META Lima Tahun Terakhir

Penulis ingin berbagi sedikit tentang investasi yang pernah dicoba, meskipun tidak banyak. Cerita ini bukan rekomendasi ataupun anjuran, hanya berbagi pengalaman saja mana yang berhasil cuan mana yang boncos.

Investasi pertama yang pernah Penulis coba adalah emas digital menggunakan platform Tokopedia. Emas adalah instrumen yang relatif aman, sehingga Penulis berhasil cuan setelah “menyimpannya” cukup lama.

Setelah itu, Penulis berusaha merambah ke investasi lain karena merasa pergerakan emas cukup lambat. Ada dua instrumen yang Penulis pilih, yakni reksadana dan saham. Untuk reksadana Penulis memilih Bibit, sedangkan saham memilih Ajaib.

Untuk yang belum tahu, secara sederhana beda dari saham dan reksadana adalah jika di saham kita memilih sendiri saham apa yang dibeli dan kapan membelinya, maka di reksadana kita akan menyerahkan dana kita ke manajer investasi untuk dikelola.

Di Bibit, ada tiga jenis reksadana, yakni Reksadana Pasar Uang, Obligasi, dan Saham. Untuk alokasinya, Penulis saat ini membaginya 38% di Pasar Uang, 47% di Obligasi, dan 15% di Saham. Selain Saham yang boncos, dua jenis lainnya berhasil mendatangkan cuan.

Untuk saham di Ajaib, Penulis memiliki empat jenis saham yang semuanya BUMN, yakni ANTM (Aneka Tambang), PTBA (Bukit Asam), TLKM (Telkom Indonesia), dan WIKA (Wijaya Karya). Keempat-empatnya minus hingga ke tahap yang bikin sakit mata.

Selain saham Indonesia, Penulis juga mencoba investasi saham perusahaan luar menggunakan platform GoTrade. Ada lima perusahaan yang Penulis miliki sahamnya, yakni Apple, Advanced Micro Devices (AMD), Google, Manchester United (MU), dan Meta (Facebook).

Hanya AMD dan MU yang minus karena Penulis membelinya tidak di waktu yang tepat, sedangkan tiga lainnya berhasil mendatangkan cuan. Bahkan, kenaikannya bisa sampai ratusan kali lipat karena Penulis membelinya ketika banyak saham teknologi turun di masa pandemi.

Penulis tidak pernah mencoba cryptocurrency karena beberapa hal alasan, seperti merasa konsep crypto yang wujud barangnya tidak jelas, kenaikan dan penurunan harganya yang tergantung demand, hingga status halal-haramnya yang masih simpang-siur.

Selain itu, Penulis juga pernah mendengar dari temannya yang mencoba Deposito (konsep menabung di bank di mana nasabah tidak boleh mengambil uangnya untuk jangka waktu tertentu), di mana akhirnya ia harus penalti karena harus mengambil uangnya sebelum waktunya.

Investasi Bukan Sarana untuk Kaya Instan

Kasus Anjloknya Nilai LUNA (CoolWallet)

Penulis mulai berinvestasi ketika mulai bekerja, tepatnya ketika masa pandemi. Saat itu, tren investasi memang mulai naik dengan narasi “persiapan masa tua” dan “membiarkan uang yang bekerja untuk kita.” Bisa dibilang, mungkin waktu itu Penulis juga FOMO.

Uang yang Penulis investasikan pun uang dingin alias tabungan, bukan uang panas. Jumlah yang Penulis investasikan pun tidak banyak karena niatnya memang bukan untuk cepat kaya, melainkan lebih untuk menabung. Kalau nabung di bank, kan, uangnya tidak bertambah.

Nah, ketika Penulis mengamati tren investasi sekarang terutama di generasi muda, kebanyakan niatnya memang ingin kaya dengan cepat dan instan. Hal ini terbukti dari banyaknya jargon bernada seperti “McLaren lu warna apa, bos?” yang menunjukkan materialisme.

Teman Penulis ada yang mengikuti kelas investasi seharga 17 juta dari seorang influencer terkenal. Ia mengatakan kalau isi kelas tersebut memang daging dan bermanfaat untuk orang tepat. Saat Penulis tanya berapa persen orang yang tepat tersebut, ia menjawab hanya 5%.

Inilah yang Penulis khawatirkan: investasi karena FOMO dan ingin kaya secara instan. Akibatnya, bisa jadi uang yang diinvestasikan tersebut merupakan uang hasil hutang ataupun memanfaatkan pinjaman online, dengan harapan uang yang diputar akan berkembang biak secara cepat.

Mungkin Pembaca masih ingat kasus pembunuhan yang dilakukan masalah UI akibat terlilit hutang hingga 80 juta yang ia gunakan untuk berinvestasi di cryptocurrency. Contoh lain adalah ketika banyak orang kehilangan uang begitu saja ketika nilai LUNA anjlok.

Sampai sekarang, Penulis masih meyakini tidak ada cara instan yang benar untuk menjadi kaya. Kalau kita bukan anak konglomerat, butuh proses yang panjang dan terjal untuk bisa menjadi kaya. Jangan berharap bisa kaya instan dari investasi.

Investasi Itu Butuh Income

“McLaren lu warna apa, bos?” (Road & Track)

Satu hal lain yang membuat Penulis merasa miris adalah ada beberapa generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah atau kuliah merasa ingin fokus ke investasi hingga merasa pendidikan itu tidak penting sama sekali. Bahkan, tak sedikit yang sampai memutuskan untuk berhenti sekolah/kuliah.

Bukan hanya karena masalah pendidikan itu penting, tapi Penulis merasa miris betapa salahnya mindset mereka dengan menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama hidup dan seolah-olah hal lainnya (termasuk pendidikan) menjadi tidak penting.

Selain itu, banyak yang lupa kalau investasi itu butuh dana untuk diinvestasikan. Penulis tadi sudah menyinggung betapa bahayanya jika kita menggunakan uang panas untuk diinvestasikan, apalagi ke instrumen yang risikonya tinggi seperti crypto.

Kecuali kalau kita anak konglomerat yang diam saja dapat uang, mungkin masih bisa. Akan tetapi, tentu hal tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil orang. Mayoritas ya harus berjuang dan bekerja dulu untuk bisa mendapatkan dana yang bisa diinvestasikan. Tidak mungkin, kan, mengandalkan uang saku dari orang tua terus?

Oleh karena itu, kita butuh bekerja. Untuk bisa bekerja, kita butuh skill yang bisa didapatkan dari mana saja, tidak hanya dari jalur pendidikan. Nah, inilah yang sering diabaikan oleh generasi muda, di mana mereka terlalu fokus investasi hingga lupa mengembangkan diri.

Mereka ingin kaya dengan cepat sampai lupa kalau punya skill untuk meningkatkan value diri itu sangat penting. Mereka ingin kaya secara instan, tapi tidak ada pemasukan dana yang stabil untuk bisa diinvestasikan.

Skill tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah atau universitas, ada banyak sarana untuk bisa meningkatkan skill, entah dari YouTube, mengikuti kelas online, ikut orang untuk menyerap ilmunya, dan lain sebagainya. Apalagi, sekarang serba mudah dan bisa diakses setiap saat.

Kalau menurut Penulis, cara paling ideal untuk berinvestasi adalah kita fokus mengembangkan dulu diri kita agar memiliki skill dan value yang tinggi. Setelah itu, kita bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan sebagian dari gaji tersebut bisa kita investasikan.

Semua orang ingin menjadi kaya, tapi jangan sampai itu yang menjadi tujuan hidup, melainkan apa yang ingin dilakukan ketika berhasil menjadi kaya. Misal, ingin kaya karena banyak ingin bersedekah dan bermanfaat untuk sekitarnya, bukan untuk pamer McLaren.

Penutup

Sebagai disclaimer, Penulis tidak melarang siapapun untuk melakukan investasi. Silakan saja, toh uang yang dipakai bukan uang Penulis. Di sini, Penulis hanya ingin saling mengingatkan kalau jangan sampai kita terlalu fokus investasi sampai lupa mengembangkan diri sendiri.

Penulis sendiri sebenarnya belum rutin melakukan investasi setiap bulan karena uangnya kepakai untuk keperluan lain (seperti membeli board game, ehem). Berinvestasi dalam hidup Penulis hanya sebagai compliment saja, bukan menjadi aktivitas utama.

Berinvestasi itu penting, dan Penulis bersyukur di era digital seperti sekarang sangat mudah untuk melakukan investasi. Hanya saja, jangan sampai kita terlalu fokus investasi sampai lupa mengembangkan aset terbesar kita, yaitu diri kita sendiri.


Lawang, 18 Juni 2024, terinspirasi setelah melihat fenomena di mana banyak orang FOMO investasi sampai lupa mengembangkan skill diri

Foto Featured Image: Prosper Wealth Management

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Batalkan balasan

Fanandi's Choice

Exit mobile version