Sosial Budaya
Indonesia Tanpa Ujian Nasional (Bagian 2)
Melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini Penulis ingin sedikit berimajinasi bagaimana seandainya Indonesia menerapkan sistem pendidikan yang sama dengan negara-negara maju.
Oleh karena itu, mohon maaf apabila ada yang tak sependapat dengan bayangan Penulis yang ada di bawah ini.
Seandainya Mata Pelajaran Berkurang
Imajinasi ini akan dimulai dengan berkurangnya mata pelajaran dan jam belajar di sekolah. Kira-kira, apa yang dilakukan oleh siswa Indonesia?
Yang jelas, para siswa bisa fokus untuk memilih pelajaran yang sekiranya akan dibutuhkan ketika sudah lulus nanti, entah untuk melanjutkan studi di universitas ataupun bekerja.
Dengan banyaknya waktu luang, mungkin ada yang memanfaatkannya untuk mengikuti kegiatan ekskul secara lebih maksimal. Mereka merasa memiliki bakat di bidang di luar akademik, sehingga mereka ingin mengasahnya mumpung jam belajarnya lebih sedikit.
Mungkin ada yang memanfaatkannya untuk rebahan di rumah saja. Kalau yang satu ini tentu akan merugikan diri sendiri karena menghambur-hamburkan waktu yang dimiliki.
Pasti tak sedikit yang memanfaatkannya untuk (ehem) memadu kasih dengan pacar tercinta. Selama ini waktu untuk ngedate sangat terbatas, sehingga berkurangnya mata pelajaran bisa menambah waktu untuk melakukan hal tersebut.
Pertanyaannya, mana yang akan lebih dominan? Yang memanfaatkan waktunya untuk hal produktif atau yang hanya bermalasan sambil sesekali main game? Jawabannya Penulis serahkan kepada pembaca.
Seandainya Mengutamakan Pendidikan Karakter
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah membuat para murid berfokus pada nilai, bukan ilmu yang akan didapatnya. Tidak hanya itu, pendidikan karakter pun dirasa sangat kurang.
Penulis akan melakukan perbandingan dengan Jepang. Meskipun negara maju, Jepang tidak mengutamakan ilmu pengetahuan. Mereka lebih mengutamakan pendidikan etika dan moral.
Contoh kecilnya adalah bagaimana para siswa diajarkan untuk membersihkan ruang kelasnya sendiri. Zaman penulis sekolah dulu, masih ada yang namanya daftar piket. Entah bagaimana dengan sekarang.
Selain itu, mereka juga sangat dilatih untuk disiplin dan mencintai negara dan budayanya sendiri. Selain itu, para murid juga didorong untuk mengikuti berbagai klub untuk mengembangkan bakat mereka.
Ada satu poin yang menarik perhatian Penulis ketika menonton anime. Hampir di semua anime yang bertemakan sekolah, selalu ada yang namanya festival sekolah.
Pada ajang ini, tiap kelas bisa membuat apapun mulai dari kafe hingga rumah hantu. Kalau kebijakan ini diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia, kira-kira para siswa akan membuat apa ya?
Berbagai kombinasi tersebut membuat orang-orang Jepang terkenal disiplin, pekerja keras, hormat kepada orang yang lebih tua, walaupun menjadi sedikit kaku.
Pendidikan moral itu terkesan sepele, tapi penting. Penulis sering mengelus dada ketika melihat ada murid yang berani berbuat kurang ajar kepada gurunya. Parahnya, pihak orangtua pun membela anaknya yang jelas-jelas salah.
Bukan berarti di Jepang tidak ada murid bandel. Penulis yakin di Jepang pun masih banyak anak-anak nakal yang suka berbuat onar. Walaupun begitu, rasanya jumlahnya masih kalah dari murid-murid yang bermoral.
Dampaknya negatifnya pun ada, di mana tingkat stres yang sampai memicu bunuh diri di Jepang cukup tinggi. Tapi, kalau terlalu santuy rasanya juga kurang baik.
Penghapusan Ujian Nasional, Tepat Kah?
Salah satu hal yang tak perlu lagi berandai-andai lagi adalah penghapusan Ujian Nasional (UN). Kebijakan ini telah ditetapkan dan akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat.
Negara yang tidak menggunakan UN adalah Finlandia. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada pihak guru dan sekolah untuk melakukan evaluasi kepada muridnya. Di Indonesia, kita masih melihat bagaimana hasilnya nanti.
Ketika Penulis masih sekolah, banyak pendapat yang mengatakan rasanya tidak adil jika tiga tahun sekolah hanya ditentukan dalam tiga hari. Akan tetapi, itu membuat para muridnya termotivasi untuk belajar.
Banyak yang mengkhawatirkan penghapusan (atau pergantian) UN akan membuat siswa menjadi terlalu santai. Ibaratnya, mereka jadi kehilangan target yang selama ini membuat mereka belajar mati-matian hingga harus kursus sepulang sekolah.
Pernyataan ini telah dibantah oleh bapak menteri karena menurutnya UN tidak akan dihapus, melain hanya akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum. Artinya, para siswa akan tetap harus melakukan serangkaian ujian agar bisa lulus sekolah.
Kalau pendapat pribadi, Penulis termasuk yang mendukung hal ini. Apalagi, UN tidak benar-benar dihilangkan, melainkan hanya diganti konsep dan cara penilaiannya. Kelulusan sudah seharusnya bukan menjadi hal yang menakutkan untuk siswa.
Penutup
Memang rasanya kurang adil jika membandingkan sistem pendidikan kita dengan negara-negara maju. Mereka sudah mampu memeratakan pendidikan di negaranya, sehingga siswa bisa mendapatkan kesempatan yang sama.
Di Indonesia, pemerataan pendidikan masih sangat sulit untuk direalisasikan meskipun upaya-upayanya terus dilakukan. Belum lagi kondisi ekonomi keluarga yang juga turut berperan penting bagi kondisi siswa.
Dengan kata lain, peran semua pihak untuk memajukan sistem pendidikan kita mutlak dibutuhkan. Pemerintah harus mampu menyediakan fasilitas dan kurikulum berkualitas untuk para muridnya secara merata.
Masyarakat pun harus mampu meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Peran para aktivis pendidikan ataupun orang-orang yang memiliki privilege juga dibutuhkan agar pendidikan bisa dirasakan oleh semua kalangan.
Walaupun begitu, Penulis menyambut positif gebrakan untuk menghapus mengganti Ujian Nasional dari sang menteri. Semoga saja keputusan ini mampu menghasilkan manusia-manusia yang lebih berkualitas dan mampu ikut membangun bangsa ini.
Kebayoran Lama, 12 Januari 2020, terinspirasi setelah munculnya berita terkait penghapusan Ujian Nasional
Foto: Gogonihon