Cerpen
Seorang Wanita di Antara Kawan Pria dan Kekasihnya
Seorang pria terhadap kawan wanitanya…
Dia tak pernah percaya dengan yang namanya cinta. Katanya, cinta adalah sesuatu paling omong kosong di semesta ini. Tawa sinis selalu ia keluarkan ketika melihat pasangan sedang memadu kasih. Bahkan seandainya memungkinkan, mungkin ia akan meludah.
Dari berbagai cerita yang ia bertahukan kepadaku, tak pernah secara gamblang ia memberikan alasan mengapa tidak percaya cinta. Apakah mungkin karena ia tidak pernah merasakan cinta yang sebenarnya? Bisa jadi.
Pernah pada suatu malam kami berdiskusi secara sengit. Waktu itu, aku sedang membahas suatu adegan romantis dari sebuah film. Ketika aku menyatakan pendapatku mengenai adegan itu, ia justru menunjukkan ekspresi ingin muntah.
“Boy, itu cuma film yang penuh dengan kemunafikan. Bisa-bisanya kamu baper dengan yang kayak gitu.” katanya sambil memegang pundakku, seolah aku adalah orang yang patut dikasihani. Dia memang sering memanggil aku dengan sebutan boy.
“Tapi film itu diangkat dari kisah nyata, dan aku yakin hal tersebut lumrah bagi orang yang sedang jatuh cinta.”
“Dari mana kamu tahu itu dari kisah nyata? Percaya sama aku, adegan itu pasti didramatisir. Hidup ini sudah penuh dengan drama boy, tak perlulah kau menambahinya dengan film-film picisan seperti itu.”
Aku tak menyangkalnya lagi karena tahu bagaimana keras kepalanya kawan wanitaku yang satu ini. Hingga muntah darah pun ia tak akan mengendurkan pendapatnya. Mungkin sifatnya yang satu ini juga membuat ia belum menemukan cintanya,
Suatu hari, saat kami berdua sedang duduk di sebuah taman setelah berolahraga, lagi-lagi aku mengusik pandangannya terhadap cinta. Benar-benar dibuat penasaran aku olehnya.
“Orang tuamu bertemu dan akhirnya menikah karena cinta bukan?” tanyaku padanya sambil mengusap keringat di dahi menggunakan handuk yang menggantung di leher.
“Huh, aku tidak percaya mereka menikah karena cinta. Pasti ada motif lain yang memaksa mereka untuk menikah.”
“Apa semua pasangan di seluruh dunia seperti itu?”
“Kalaupun ada, pasti hanya sekadar cinta-cintaan. Tidak ada yang namanya cinta sejati.”
“Jadi, kamu enggak akan nikah seumur hidup nih?”
“Kalau sendiri lebih enak, ngapain harus menjalani hubungan rumit dengan orang lain.”
Aku mengurungkan niatku untuk mendesaknya lebih jauh lagi. Raut mukanya menunjukkan ketidaksukaan terhadap topik yang aku angkat. Rahangnya mengeras seperti menahan amarah yang bergejolak di dalam hatinya.
Aku hanya ingin menolongnya dan menyadarkan bahwa cinta itu memiliki sisi yang membahagiakan. Aku buktinya. Semenjak bertemu dengan Chelsea dan menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, kami berdua merasa dunia jauh lebih cerah.
Bertemu tanpa sengaja ketika ada sebuah even pameran lukisan salah satu maestro dalam dunia seni lukis, kami langsung cocok satu sama lain. Walaupun aku menyukai karya Monet dan ia lebih menyukai goresan Andy Warhol, kami bisa menghargai perbedaan satu sama lain.
Aku tidak mengetahui kapan kawan wanitaku ini mulai memandang rendah cinta. Memang sudah lama ia sering berkata bahwa ia tidak peduli dengan yang namanya cinta, tapi akhir-akhir ini ia semakin menunjukkan kebencian terhadap anugerah dari Tuhan tersebut.
Chelsea tahu kedekatanku dengan kawan wanitaku ini, dan ia sama sekali tidak mempermasalahkan. Toh, aku kenal dengan kawanku terlebih dahulu sebelum bertemu Chelsea, jadi ia tidak ingin hubungan kami rusak hanya karena kehadirannya.
Aku selalu meminta ijin ke Chelsea apabila ingin bertemu dengan kawanku dan ia sama sekali tak keberatan karena percaya denganku. Aku benar-benar mencintai Chelsea karena kebaikannya, dan aku berharap kawan wanitaku akan menemui seorang pria sebaik Chelsea.
Aku ingin kawan wanitaku percaya dengan cinta, seperti aku mempercayainya…
Seorang wanita terhadap kekasih dan kawan wanitanya…
Namaku Chelsea, dan aku memiliki seorang kekasih yang sangat baik hatinya. Kami bertemu tanpa sengaja di sebuah acara pameran lukisan, ketika kami sama-sama sedang memandangi sebuah lukisan abstrak yang menggambarkan pertarungan antara dua ekor elang.
“Lukisan ini memang layak untuk dijadikan masterpiece.” ujarnya yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri, hanya saja aku tertarik untuk menyahutinya.
“Kenapa mas berpendapat seperti itu? Menurut saya lebih pantas lukisannya yang berjudul Kereta di Ufuk.”
Ia nampak terkejut gumamannya direspon oleh orang lain. Butuh beberapa detik agar ia bisa menjawab pertanyaanku. Kami berdiskusi ringan mengenai lukisan yang ada di hadapan kami, lantas memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan kami di sebuah kafe.
Kami langsung cocok satu sama lain. Sebelum berpisah, ia meminta nomor teleponku yang dengan senang hati kuberikan. Walaupun ia berkata bahwa tujuannya meminta nomor untuk berdiskusi tentang lukisan lagi, aku yakin ia punya maksud lain.
Setelah itu, semua mengalir begitu saja. Hingga suatu hari, ia menyatakan perasaannya dan aku menyambutnya dengan senang hati. Kami resmi menjadi sepasang kekasih.
Ia pernah bercerita bahwa dirinya memiliki kawan sejak kecil yang tak pernah percaya dengan yang namanya cinta. Meskipun kami berstatus sebagai pasangan, aku tak pernah menyuruhnya menjauhi kawannya tersebut.
Bukannya karena aku tidak peduli dengan kekasihku. Aku menyadari bahwa aku hadir sebagai orang baru, dan aku tidak ingin merusak hubungan perkawanan yang sudah lama terjalin tersebut.
Suatu hari, aku dikenalkan oleh kawan wanitanya tersebut. Dilihat sekilas, ia terlihat jutek dan sering memasang wajah cemberut. Ia tak pernah ramah kepadaku meskipun aku sudah berusaha baik kepadanya.
Bisa jadi, ia merasa cemburu terhadap hubunganku dengan kawan prianya…
Seorang wanita terhadap kawan pria dan kekasihnya…
Dia yang terlalu percaya dengan cinta, terlihat begitu menjijikkan bagiku. Semenjak bertemu dengan wanita sok baik bernama Chelsea, kawan priaku itu seolah-olah hidup di alam lain yang tak memiliki kepahitan hidup.
Kawan priaku itu selalu berusaha memberiku pertanyaan-pertanyaan seputar cinta, dan kami akan berdebat panjang mengenai hal tersebut. Kami tidak akan menemukan kesepakatan apapun pada debat tersebut.
Bertahun-tahun aku hidup dalam zona nyaman kesendirianku dengan membawa teman-teman yang aku percaya ke dalam lingkaran, termasuk kawan priaku tersebut. Harus kuakui, dia adalah pria yang baik.
Ia adalah tipe orang yang tidak bisa membiarkan orang lain kesusahan. Tangannya selalu ia ulurkan untuk menolong orang lain. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain terlebih dahulu daripada dirinya sendiri.
Di luar pembahasan cinta, banyak hal yang sering kami diskusikan hingga larut. Agama, filsafat, semesta, sebut sama semua bidang yang diajarkan di bangku kuliah, aku berani bertaruh semua sudah pernah kami bahas.
Pernah ketika kami sedang ngobrol di beranda rumahku, tiba-tiba ia diam memandangku. Merasa tak nyaman, aku segera mendorong dirinya.
“Apaan sih ngelihatin kayak gitu.”
“Heran aja, kamu itu sebenarnya manis, tapi sama sekali enggak tertarik punya hubungan sama cowok lain.”
“It’s not your business.”
“Of course it’s my business because you’re my best friend. Siapa sih yang enggak khawatir kalau kawan baiknya seapatis itu sama cinta.”
Entah apa yang kulakukan waktu itu, aku tak bisa mengingatnya. Yang jelas, tak lama setelah itu kami mendiskusikan hal lain mengenai alasan eksistensi kita di alam semesta yang luas ini.
Kami sudah berkawan sejak kecil, bahkan berangkat sekolah bersama. Ia tak pernah berubah dari dulu: polos, murah senyum, pintar, walaupun agak penakut dan sering gugup.
Bisa dibilang, aku memiliki sifat yang berlainan dengannya. Aku dikenal sebagai pribadi yang jutek, pemarah, tak peduli dengan orang lain, dan lain sebagainya. Mereka yang berpendapat seperti itu adalah mereka belum mengenalku terlalu dalam.
Buktinya, aku memiliki banyak teman yang sering berbagi cerita kepadaku. Di antara cerita-cerita tersebut, sering terselip luka yang diakibatkan oleh cinta. Bahkan, temanku pernah hampir bunuh diri karena merasa depresi ditingal oleh kekasihnya.
Melihat kawan-kawanku sering tersakiti oleh cinta, aku memutuskan untuk tidak akan pernah percaya dengan cinta. Aku menjauhkan diri dari segala tetek bengek yang absurd itu.
Hanya saja, semakin lama aku merasa bahwa aku memiliki perasaan yang berbeda kepada kawan priaku ini. Aku berusaha menjauhkan segala pikiran tersebut. Namun semakin dijauhkan, perasaan tersebut justru semakin dekat.
Aku memendam semua perasaan ini dalam-dalam, karena tidak ingin meruntuhkan ideologiku terhadap cinta. Keras kepala memang sudah menjadi salah satu sifatku yang nampaknya tidak akan pernah hilang.
Tidak mungkin aku yang sudah banyak mencaci cinta tiba-tiba menyatakan cinta kepada orang yang sudah mendengar cacianku. Apalagi, ada kekhawatiran bahwa kawan priaku tersebut akan berubah jika aku mengungkapkan perasaanku.
Sewaktu kawan priaku mengajak pergi ke sebuah acara pameran lukisan, aku tidak bisa menemaninya karena sedang demam parah. Keputusan yang kusesali karena sepulang acara tersebut, ia telah menambatkan hatinya untuk wanita lain. Ya, si Chelsea itu.
Semenjak itu, ia semakin jarang menemuiku. Setiap ingin bertemu denganku, ia akan minta ijin kepada kekasihnya walaupun tak pernah diminta. Ketidakpercayaanku kepada cinta yang mulai runtuh kembali berdiri tegak.
Aku kembali menegaskan diriku untuk tidak percaya dengan yang namanya cinta. Cinta hanya akan membawa sengsara dan derita. Ia akan melukai kita tanpa menunggu kita siap untuk dilukai.
Dan pria yang sudah membuatku tak percaya cinta lagi selalu bertanya kenapa aku tak percaya cinta. Pria memang terkadang tolol tak terkira.
Kebayoran Lama, 31 Januari 2019, terinspirasi dari seorang wanita yang katanya tak percaya dengan cinta
Foto: Tom Sodoge
You must be logged in to post a comment Login